Sekitar kurang lebih 8 tahun yang lalu, tepatnya saat haflah akhir tahun Pondok Pesantren Tarbiyatunnasyi`in, Paculgoang, Jombang, al-Marhum al-Maghfurlah K.H. Maimoen Zubair di sela-sela ceramahnya bercerita tentang sosok ulama yang dikagumi di bumi Nusantara, bukan karena keilmuannya, tapi juga karena keunikannya.
Sosok ini tak lain adalah Kiai Ihsan bin Dahlan Jampes atau lebih dikenal dengan Mbah Ihsan Jampes, pengarang kitab Sirojutthalibin syarh Minhajul Abidin. Sewaktu kecil Mbah Moen diajak sowan pertama kali oleh abahnya Kiai Zubair kepada Kiai Ihsan Jampes, “pertama kali kulo dijak sowan ke Mbah Kiai Ihsan Jampes, tak iling-iling sampai kiamat, kulo kali bapakku sowan ke Kiai Ihsan bin Dahlan (pertama kali saya diajak sowan ke Mbah Kiai Ihsan Jampes, tak ingat-ingat sampai kiamat, saya sama abah saya sowan ke Kiai Ihsan bin Dahlan)”, dauhnya.
Tentulah beliau juga seorang Kiai yang sangat mahir berbahasa Arab, sampai di kediaman Mbah Ihsan Jampes, tanpa sungkan-sungkan Kiai Zubair langsung memulai perbincangan dengan bahasa Arab, tapi Mbah Ihsan selalu membalasnya dengan bahasa Jawa, Nggeh, Nggeh yai (iya, iya Kiai).
Setelah lewat beberapa obrolan panjang, barulah Mbah Ihsan Jampes dawuh “Ngapunten yai, ngagem boso Jawi mawon, kulo niku saget mahami kitab-kitab, nanging kulo mboten saget ngendikan boso Arab (maaf kiai, pakai bahasa Jawa saja, saya itu bisa memahami bahasa Arab yang ada di dalam kitab-kitab, tapi saya tidak mahir bahasa Arab)”, tuturnya.
Tentulah hal itu membuat Mbah Moen terheran-heran, lalu membatin “loh Kiai pintere ngono, kok gak iso toro Arab, kok pinter Najih (loh, kiai pintarnya kayak gitu, kok gak bisa bahasa arab, kok lebih pinter Najih (putra Mbah Moen)”, batinnya. Unik memang pengakuan Mbah Ihsan itu, sesuatu yang tidak lazim untuk seorang ulama kelas atas dan memiliki karangan yang sangat monumental, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa pengakuan itu hanya sikap tawadhu seorang kiai di hadapan sesama kiai.
Keheranan Mbah Moen berlanjut hingga ingat bahwa tidak ada satu orang pun yang mensyarahi (membuat penjelasan lebih rinci) kitabnya Hujjatul Islam Imam Ghazali, tapi mengapa kitab Minhajul Abidin disyarahi oleh orang Jawa yang tidak bisa bahasa Arab, “Duwe karangan kitab Sirojutthalibin Fi Syarh Minhajil Abidin, Imam Ghazali iku duwe karangan seng ora tau disyarahi, seng nyarahi kok wong jowo seng ora iso toro Arab (punya karangan kitab Sirojutthalibin Fi Syarh Minhajil Abidin, Imam Ghazali itu punya karangan yang gak pernah disyarahi, yang mensyarahi kok orang Jawa yang tidak bisa bahasa Arab)”, pengakuannya.
Kemudian Mbah Moen melanjutkan ceritanya perihal kepergian dirinya dengan sang ayah untuk sowan ke bebrapa kiai sepuh, tentu hal ini hanya semata-mata ngalap (mencari) berkah. Sebagai seorang ayah, Kiai Zubair ingin memperkenalkan Kiai-Kiai Jawa yang memiliki kapabilitas keilmuan yang mumpuni, “Kulo dijak sowan kali bapakku, didudhokno kali bapakku ‘delok moen’, iku kulo iling-iling sampek kiamat. Dadi kulo kadang-kadang bedho karo Kiai liyo-liyo iku diajari bapakku, diajari ke Kiai Ihsan Jampes, diajari ke Mbah Kiai Manaf, kulo iling, iling, iling ila yaumil kiyamah (saya diajak sowan ke bapakku, ditunjukkan sama bapakku ‘lihat Moen’ itu saya ingat-ingat sampai kiamat. Jadi saya kadang-kadang berbeda dengan Kiai lainnya itu diajari bapakku, diajari ke Kiai Ihsan Jampes, diajari berkunjung ke Mbah Kiai Manaf, saya ingat, ingat, ingat, sampai hari kiamat)”, pungkasnya.
0 Comments