Dalam sejarahnya, hadis sebagai ajaran Islam selalu dipahami dengan baik generasi-generasi setelah Rasulullah saw. Hal ini dikarenakan setiap persoalan yang butuh diselesaikan masih ada sosok panutan yaitu Rasulullah saw. Demikian juga masa sesudahnya, masa tabi’in, masih banyak shabat nabi yang sapat menjelaskan persoalan yang ada. Cara seperti ini menjadi sebuah kebiasaan sampai akhirnya Islam tersebar luas dan problem sosial meluas.
Hadis Nabi saw. Sebagaimana tergambar di atas adalah untuk sebagai solusi terhadap problematika kehidupan masyarakat. Hal ini merupakan implikasi perintah Allah swt. untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahwan wujud dari hadis sendiri adalah bagian dari tafsir kehidupan. Dengan demikian sebagai ummat yang beriman maka selalu taat dengan menjadikan hadis dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar. Banyak masyarakat ingin melaksanakan apa yang ada dalam teks hadis sebagaimana adanya. Padahal, kenyataan yang dihadapi sudah berbeda jauh. Dengan demikian seringkali terjadi perbedaan antara hadis dan pelaksanaannya.
Problem terbesar dalam agama Islam adalah pemahaman atas Ajaran Islam dalam memahami Hadis (Amin, 2011, hlm. 256–257). Hal ini dikarenakan rujukan yang diambil adalah rujukan yang berasal dari literatur klasik. Sebagaimana penelitian Agusni Yahya menunjukkan bahwa sejak era Nabi saw. sampai era Ibn Hajar al-Asqalany (penulis Fath al-Bary) menunjukkan hal yang sama atau dengan kata lain tidak ada perbedaan.(Yahya, 2014) Padahal kehidupan manusia terus berkembang pesat. Apa yang terjadi sekarang tidaklah mudah untu dibawa belakang yakni ke masa Nabi Muhammad saw. Oleh karenanya diperlukan penyesuaian dalam konteks sekarang dalam memahaminya.
Hadis Nabi Muhammad saw. sebagai ajaran Islam harus dipahami dengan baik ummatnya. Hal ini terkait maraknya pemahaman yang tekstualis yang berkembang di masyarakat tanpa melihat kontreks historis serta hal lainnya. Apalagi pemahaman tersebut dibungkus dengan aroma politik dan kepentingan sesaat. Hal inilah akan mengesankan Islam itu sebagai agama yang tidak membawa kemaslahatan ummat manusia.
Setidaknya terdapat beragam pemahaman atas ajaran Islam termasuk di dalamya adalah pemahaman atas Hadis Nabi saw. Hal ini tergantung dengan metode yang dipakainya. Bagi yang tekstualis memahami hadis sesuai teksnya tanpa memperhatikan konteksnya. Adanya pemahaman atas amar makruf nahi munkar misalnya oleh kelompok FPI.(Faiz, 2014; Ma’arif, 2017; Nasir, 2008) Setidaknya, pemahaman secara teks menunjukkan akan perlunya seseorang untuk melalukannya sendiri. Hal ini perlu pemahaman yang komprehensif dan kontekstual. Konteks masa lalu di mana hadis diturunkan belum ada keterkaitan dengan hukum positif dan hak asasi manusia (HAM). Sehingga secara individual masyarakat muslim memiliki tanggung jawab terrsebut.
Situasi sosial dan budaya terus berubah sampai sekarang. Termasuk di dalamnya adalah terkait dengan tatanan dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya.(Suryadilaga, 2017) Hal ini menjadi bahan untuk memahami ajaran Islam agar salih likulli zaman wa makan (diterima dengan baik di manapun dan kapan pun). Melalui inilah, maka Islam akan dapat diterima dalam kondisi apapun dan di manapun dalam konteks sekarang.
Dalam konteks masjid sebagai tempat ibadah shalat mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dalam masa Nabi saw. terkait adanya rukhsyah (dispensasi) atas tidak sholat Jum’at di saat bersamaan dengan hari raya id (baik fitri maupun adha). Atau ketika dalam keadaan hujan dan dingin, maka Nabi saw. agar shalat di rumah atau di kendaraannya masing-masing. Masjid pada masa itu adalah lapangan luas dengan tanpa adanya atap. Tentu saja, dengan bentuk seperti ini memungkinkan banyak hal terkait hadis terjait masjid dan persoalan terkait dengannya. Dengan demikian maka perlu memahami hadis sesuai konteksnya.
Terkait erat di atas, bukan berarti Nabi Muhammad saw. tidak pro kepada perempuan. Hal ini dikarenakan adanya hadis yang terkesan misoginis (mengandung kebencian kepada prempuan). Perempuan lebih utama sholat di rumah dari pada di masjid. Jika shalat di masjid, maka shaf perempuan adalah di belakang laki-laki. Kenyataan ini adalah merupakan konsekwensi dari bangunan masjid dan kondisi geografis Jazirah Arab pada waktu itu. (Suryadilaga, 2018)
Pemahaman atas hadis ini menjadi sebuah keharusan. Banyak hal hadis terkait kondisi sosial masyarakat pada masanya. Selain itu adanya tuntutan zaman dengan memahami berdasarkan keilmuan sains dan ilmu kemanusiaan menjadikan hadis akan hadir terus menerus di era kekinian. Dengan demikian, pemahaman secara tekstual akan mengakibatkan memahami ajaran Islam akan menjadi kaku dan bahkan cenderung kembali ke masa lampau dan hal inilah menjadikan ummat Islam susah berubah dna berkembang dengan kepentingan-kepentingan keberaagamaan yang sudah berubah.
***
Bacaan:
Amin, M. (2011). Kontekstualisasi Pemahaman Ḥadîth dan Rekonstruksi Epistemologi Ikhtilâf dalam Fiqh al-Ḥadîth. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 5(2), 256–268. https://doi.org/10.15642/islamica.2011.5.2.256-268
Faiz, F. (2014). Front Pembela Islam: Antara Kekerasan Dan Kematangan Beragama. KALAM, 8(2), 347–366. https://doi.org/10.24042/klm.v8i2.226
Ma’arif, S. (2017). Pemahaman Keberagamaan dan Gerakan Kelompok FPI Surabaya. Jurnal THEOLOGIA, 23(2), 309–335. https://doi.org/10.21580/teo.2012.23.2.1671
Nasir, M. R. (2008). Live in Destiny or Die as Martyr: The Venture of Front Pembela Islam (FPI) in Contemporary Indonesia. JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM, 2(1), 217-221–221. https://doi.org/10.15642/JIIS.2008.2.1.217-221
Suryadilaga, M. A. (2017). Kontekstualisasi Hadits Dalam Kehidupan Berbangsa dan Berbudaya. KALAM, 11(1), 215–234. https://doi.org/10.24042/klm.v11i1.904
Suryadilaga, M. A. (2018). Pembacaan Hadis dalam Perspektif Antropologi. ALQALAM, 31(1), 1–22. https://doi.org/10.32678/alqalam.v31i1.1103
Yahya, A. (2014). Pendekatan Hermeneutika dalam Pemahaman Hadis: Kajian Kitab Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-Asqalany. Ar-Raniry International Journal of Islamic Studies, 365–386.
0 Comments