Dahulu kala, tatkala berada di semester menjelang akhir terdapat sebuah matakuliah yang dibebankan khusus kepada mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Memang, menginjak pertengahan tahun ketiga sudah dijajaki beragam matakuliah yang tersaji dalam Matakuliah Khusus (MKK) atau ruhnya matakuliah inti pada jurusan tertentu, dalam hal ini Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir.
Beragam matakuliah inti tersebut dibebankan kepada mahasiswa, salah satunya yang paling menarik sekaligus paling disegani ialah matakuliah al-Dakhil fii al-Tafsir atau biasa dikenal dengan Kritik Tafsir Alquran.
Matakuliah al-Dakhil fii al-Tafsir (dan seterusnya disebut Dakhil), merupakan matakuliah khusus yang berupaya membuka secara terang benderang sebuah penafsiran terhadap Alquran yang misconception, penafsiran yang tidak tepat, bahkan penafsiran yang menyimpang.
Keunikan tersendiri dari matakuliah ini ialah kepakaran pengampu Dakhil yakni, Dr. Ibrahim Syu’aib. Dr. Ibrahim yang memang seorang Azhari, sebutan bagi mereka lulusan Univ. Al-Azhar, serta berguru langsung kepada Pakar Dakhil Sy. Ibrahim Muhammad Khalifa selama kurang lebih dua tahun seperti yang ia sampaikan pada perkuliahan. Jadi, ia memiliki sanad valid untuk mengajar Dakhil.
Sepanjang yang diketahui penulis, Dakhil hanya terdapat dan diajarkan di Ilmu Alquran dan Tafsir di bawah-naungan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung (dan seterusnya disebut IAT UIN Bandung). Hanya di sana. Penulis tak mengetahui mengapa hanya berada dan diajarkan di sana. Sedangkan, secara urgensi Dakhil sangat perlu diajarkan pada tiap UIN, IAIN dan STAIN se-Nusantara.
Sejenak pikiran tersebut cukup mengganggu, hingga muncul beberapa asumsi. Apakah dikarenakan pakar pengajarnya yang belum merata? Apakah dikarenakan referensinya yang minim? Atau yang lebih parah, apakah karena basis tekstualnya yang menjadi dimusuhi oleh kaum kontekstual? Tapi, semoga bukan yang disebut terakhir.
Memang, di IAT UIN Bandung sendiri untuk pengampu Dakhil hanya Dr. Ibrahim seorang. Ia mengampu seluruh kelas yang terdapat Dakhil di jadwalnya. Seperti sewaktu penulis masih berstatus mahasiswa, ia mengajar di tujuh kelas secara bergilir. Bagi penulis, memang kuantitas pakar pengajar menjadi persoalan tidak terdistribusinya Dakhil sebagai matakuliah inti pada kampus lain.
Selain itu, ketersediaan referensi menjadi persoalan tambahan. Seingat penulis, referensi mengenai Dakhil cukup langka. Itupun dengan asumsi pengkaji Alquran kesulitan mengakses buku berpengantar bahasa Arab.
Terdapat dua nama yang penulis dapat ingat mengenai referensi Dakhil. Pertama, Dr. Ibrahim sendiri selaku pengampu matakuliah dengan diktat sederhana gubahannya seorang yang, itupun disediakan terbatas dan tak dicetak penerbit.
Kedua, Dr. Muhammad Ulinnuha, seorang pengkaji Alquran serta seorang Azhari pula. Ia melahirkan dua karya dengan fokusnya pada Dakhil, yakni Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir Alquran (2015), kalau tidak salah merupakan disertasinya yang kemudian diterbitkan; dan Metode Kritik al-Dakhil fi al-Tafsir: Cara Mendeteksi Adanya Infiltrasi dan Kontaminasi dalam Penafsiran Alquran (2019), di dalamnya berupaya mengemas buah pikir Abdul Wahab Fayed selaku penggagas Dakhil.
Jikapun demikian persoalannya, menjadi suatu hal yang dimaklumkan bila memang Dakhil belum dapat disebarluaskan pada kampus-kampus Islam lain. Walaupun demikian, tetap menjadi urgensi tersendiri bagi Dakhil untuk lebih dikenal, dipelajari dan dijadikan salah satu benteng penafsiran Al-Qur’an yang ‘sehat’. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment