Judul ini diambil dari salah satu makna hadis yang berbunyi: “śalâśun min aṣl al-imân. Al-kaffu ‘an man qâla lâ ilâha illallâh, lâ nukaffiruhû biżanbin wa lâ nukhrijuhû min al-islâm bi ‘amalin (tiga hal termasuk prinsip keimanan: menahan diri dari orang yang mengucapkan tiada Tuhan selain Allah, tidak mengafirkannya karena satu dosa, dan tidak mengeluarkannya dari Islam karena satu perbuatan.”
Hadis ini penting dibahas mengingat masih banyak Muslim tertentu yang suka menyesatkan, memurtadkan, dan mengafirkan Muslim lain hanya karena berbeda mazhab dan memiliki pemikiran keislaman berbeda.
Sebab, sikap ini tidak hanya merampas hak-hak Muslim yang dituduh sesat, murtad, dan kafir, tetapi juga pada gilirannya akan melahirkan konflik dan bahkan perang di antara sesama Muslim.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, masyarakat Muslim Syiah Sampang kehilangan hak-haknya hanya karena dituduh sesat. Mereka hidup terusir di pengungsian sampai sekarang dan tidak bisa menikmati hidup di kampung halaman tercinta. Nasib serupa juga dialami oleh sebagian masyarakat Muslim Ahmadiah karena dianggap sesat.
Bahkan sebagian Muslim mengafirkan Muslim lain hanya karena memiliki tradisi keislaman berbeda, seperti tahlilan, maulidan, tabarrukan, tawasulan, manakiban, dan selametan.
Baiklah, dalam Sunan Abî Dâwud disebutkan bahwa hadis tersebut adalah ḍa‘îf (lemah) secara sanad (Abû Dâwud, 2015, hadis nomor 2532, hlm. 323). Namun demikian, Yûsuf al-Qaraḍâwî dan Maulânâ Muḥammad ‘Alî menggunakan hadis tersebut sebagai dasar ketidakbolehan mengafirkan orang mukmin (Gerakan Islam Antara Perbedaan Yang Dibolehkan Dan Perpecahan Yang Dilarang (Fiqhul Ikhtilaf), 1997: 165 dan The Religion of Islâm: A Comprehensive Discussion of the Sources, Principles and Practices of Islâm, 1990: 95-96).
Jumhur ulama hadis, fikih, dan uṣûl al-fiqh sepakat bahwa hadis ḍa‘îf boleh diamalkan untuk faḍâ’il a‘mâl (perbuatan-perbuatan yang utama), etika kebijaksanaan, motivasi, dan peringatan (‘Abd al-Fattâḥ al-Yâfi‘î, Ḥukm al-‘Amal bi al-Ḥadîś aḍ-Ḍa‘îf ‘Ind al-Muḥaddiśîn wa al-Fuqâhâ’: Dirâsah Ta’ṣîliyyah).
Menurut penulis, salah satu bagian dari perbuatan yang utama dan etika kebijaksanaan dalam kehidupan sosial adalah tidak suka memvonis sesat dan kafir orang yang secara nyata bersaksi tiada Tuhan selain Allah hanya karena berbeda secara pemikiran dan cara pandang keislaman.
Selain itu, kandungan (matan) hadis tersebut sejalan dengan maqâṣid asy-syarî‘ah, yaitu kemaslahatan dan menghindarkan diri dari kemudaratan dalam kehidupan sosial. Kemaslahatannya adalah menjaga kerukunan, kedamaian, dan keharmonisan di antara pemeluk mazhab yang berbeda-beda. Sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya kerusakan, seperti permusuhan, konflik, dan bahkan pertumpahan darah di antara mereka.
Kandungan hadis tersebut penting diperhatikan dan dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sosial yang multi agama, mazhab, dan pemahaman, seperti di Indonesia. Sebab, menurut Ibn Qayyim, syariat Islam sepenuhnya adalah keadilan, kasih-sayang, kemaslahatan, dan kebijaksanaan.
Oleh karena itu, apabila ada satu persoalan (seperti pemikiran, fatwa, dan perilaku keislaman) yang keluar dari keadilan kepada penindasan, atau dari kasih sayang kepada kebencian, atau dari kemaslahatan kepada kerusakan, atau dari kebijaksanaan kepada kesemberonoan, maka ia bukan syariat Islam meskipun dianggap sebagai bagian syariat Islam (I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, 1423, I: 41).
Artinya, setiap orang yang secara lahir sudah bersaksi “tiada Tuhan selain Allah” tidak boleh serta merta divonis sesat, murtad, dan kafir hanya karena tafsir dan cara pandang yang berbeda dalam beragama. Dalam hadis tersebut disebutkan secara jelas bahwa tidak boleh mengafirkan dan memurtadkan orang yang sudah bersaksi “tiada Tuhan selain Allah” hanya karena dosa atau perbuatan tertentu.
Apalagi hanya berbeda dalam masalah furû‘ (cabang), seperti tawasulan, tabarrukan, tahlilan, yasinan, maulidan, manakiban, rokat, selametan, dan lain sebagainya. Menurut ‘Abd al-Fattâḥ al-Yâfi‘î, perbedaan dalam masalah furû‘ selama-lamanya tidak bisa dijadikan landasan dan legitimasi untuk saling mengafirkan, membid‘ahkan, dan bercerai-berai di antara sesama Muslim (at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn bain al-Mujîzîn wa al-Mâni‘în (Dirâsah Muqâranah), 2010: 129).
Di sisi lain banyak dalil qaṭ‘î (hadis sahih) menyebutkan bahwa orang yang pernah bersaksi “tiada Tuhan selain Allah” tidak akan kekal dalam neraka. Dalam beberapa hadis sahih disebutkan secara jelas bahwa akan keluar dari neraka orang yang pernah mengucapkan kalimat lâ ilâha illallâh (tidak ada Tuhan selain Allah), sedang di dalam hatinya terdapat kebaikan (iman), baik hanya seberat sehelai rambut yang tipis, gandum, maupun zarah.
Oleh karena itu, berdasarkan hadis ini, Wahbah az-Zuḥailî lebih condong kepada pendapat kalangan mazhab Ḥanafî, Mâlikî, asy-Syâfi‘î, dan aẓ-Ẓâhirî bahwa Muslim yang meninggalkan salat secara sengaja adalah tetap Islam (tidak kafir) (al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû,1985, I: 502-505 dan Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid, 2005, I: 77).
Kalimat lâ ilâha illallâh tidak boleh dianggap remeh atau sepele. Sebab, dalam Ṣaḥîḥ Muslim disebutkan bahwa siapa pun yang mengucapkan lâ ilâha illallâh dan mengingkari semua yang disembah selain Allah, maka haram harta dan darahnya dan hisabnya tergantung kepada Allah (I: 30-31). Hadis sahih ini menegaskan bahwa siapa pun tidak boleh mengganggu hidup dan merampas hak-hak orang yang secara nyata bersaksi “tiada Tuhan selain Allah” dan tidak menyembah Tuhan selain Allah hanya karena berbeda mazhab dan pemikiran.
Menurut Imam Nawawî al-Jâwî, lâ ilâha illallâh merupakan kunci surga, kalimat tauhid, kalimat ikhlas, dan kalimat keselamatan. Ia disebutkan sebanyak 73 kali dalam al-Quran. Imam as-Suḥaimî menjelaskan bahwa perkara yang paling utama adalah iman yang bertempat di dalam hati. Perkataan yang paling utama adalah firman Allah dan paling utamanya firman Allah adalah al-Quran. Adapun perkataan yang paling utama setelah al-Quran adalah lâ ilâha illallâh. Ia lebih utama daripada al-ḥamdu lillâh. Sebab, kalimat lâ ilâha illallâh menghilangkan kekafiran (Syarḥ Kâsyifah as-Sajâ, hlm. 14).
Selain itu, lâ ilâha illallâh memiliki kualitas yang luar biasa dahsyat secara spiritual. Allah pernah menyatakan dalam kitab Taurat bahwa kalau seandainya di muka bumi ini tidak ada satu pun orang yang mengucapkan lâ ilâha illallâh, maka Allah pasti memerintahkan neraka membakar seluruh isi dunia. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa membaca lâ ilâha illallâh tiga kali dalam sehari, maka dosa-dosanya yang terjadi pada hari itu dihapus oleh Allah (hlm. 14).
Menurut Nabi Nuh as., seandainya langit tujuh lapis dan bumi tujuh lapis disatukan dan ditimbang dengan lâ ilâha illâ allâh, maka masih lebih berat lâ ilâha illallâh; atau seandainya langit tujuh lapis dan bumi tujuh lapis menyatu dan membentuk sebuah lingkaran yang kokoh, maka lâ ilâha illallâh bisa memutus dan menghancurkan lingkaran tersebut. Oleh karena itu, salah satu wasiat Nabi Nuh as. kepada putranya adalah (perintah agar senantiasa membaca dan berpegang teguh dengan) kalimat lâilâha illallâh (Ibn Kaśîr, Qaṣas al-Anbiyâ’, 2009: 103).
Dengan demikian, Muslim yang baik dan arif mestinya senantiasa berhati-hati dalam menghadapi perbedaan mazhab, tafsir, dan cara pandang. Dia tidak akan gegabah dan dengan seenaknya memvonis Muslim lain sesat, murtad, dan kafir hanya karena memiliki pemikiran dan tafsir berbeda.
Sebab, Rasulullah menyebutkan bahwa Muslim yang mengafirkan Muslim lain, maka kekafiran itu akan kembali kepada salah satu di antara mereka. Bisa jadi kepada tertuduh dan bisa juga kepada penuduh. Dengan kata lain, kalau Muslim “A” menuduh Muslim “B” kafir dan ternyata dia tidak kafir, maka berarti yang kafir adalah Muslim “A” sendiri (sebagai penuduh).
Hadis lain menyebutkan bahwa siapa saja yang mengafirkan orang mukmin, maka dia sama saja dengan membunuhnya. Sementara al-Mâ’idah (5): 32 menyebutkan secara jelas bahwa siapa saja membunuh satu jiwa tanpa alasan yang dibernarkan secara hukum, maka dia sama saja telah membunuh seluruh manusia (‘Alî Zainal ‘Abidin al-Jufrî, al-Insâniyyah qabl at-Tadayyun,2015: 301 & 309-310).
Di sinilah pentingnya saling mengenal, memahami, dan mengakui satu sama lain, sebagaimana diperintahkan dalam al-Ḥujurât (49): 13. Sehingga persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah basyariyyah), persaudaraan sesama Muslim (ukhuwwah islâmiyyah), dan persaudaraan sebangsa (ukhuwwah waṭaniyyah) terjalin erat dan mesra dari waktu ke waktu. Bukan sebaliknya, persaudaraan yang sangat ditekankan dalam Islam ini tercerai-berai dan hancur-lebur oleh huru-hara perpecahan dan pertikaian hanya karena berebut diri paling benar. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments