Pelarangan Buku di Negara Demokrasi

"...tidak menutup kemungkinan bahwa pelarangan buku juga terjadi dalam negara demokrasi. Pelarangan tersebut dilakukan dalam rangka melindungi hak asasi.."2 min


2

Pada dasarnya buku hanyalah kumpulan teks, sementara teks selalu terikat pada konteks. Teks memang abadi namun pembaca teks punya pandangan sendiri dalam memaknai. Dari sekian banyak makna, ada yang kemudian ketakutan terhadap teks yang telah terbaca tersebut. Ketakutan menjadi aksi-aksi yang menunjukkan mentalitas pembaca. Ada yang melarang dengan menggunakan sensor dan undang-undang, ada yang memusnahkan dengan pembakaran.

Pelarangan buku adalah bentuk kekerasan yang relatif lembut dan termasuk ‘baru’ dalam sejarah kebencian terhadap buku. Sejarah kebencian terhadap buku lebih banyak berbentuk pembakaran. Yang dihancurkan bukan hanya buku tapi juga perpustakaan dan bahkan manusia pemiliknya atau pengarangnya. Dengan adanya pelarangan tersebut, pemerintah merasa berhak untuk melakukan sensor terhadap buku-buku yang akan diterbitkan.

Setelah kekuasaan orde baru yang banyak melarang buku runtuh, Indonesia memasuki kebebasan termasuk dalam dunia perbukuan. Toko-toko buku bebas menjual karya siapa saja tanpa ada rasa takut untuk diciduk dan dipenjara. Namun, ternyata kebebasan itu tidak berlangsung lama. Pada 19 April 2011, sebuah organisasi yang menamakan Aliansi Anti Komunis, menyulut api dan membakar buku karangan Franz Magnis Suseno berjudul Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, yang andai benar-benar dibaca oleh pembakar, justru merupakan kritik tajam terhadap pemikiran Marx.

Pada 19 Juni tahun 2007, Kejaksaan Tinggi Semarang, kemudian diikuti Kejaksaan Tinggi di beberapa daerah, menghancurkan ribuan buku pelajaran sejarah SMP dan SMA karena keberatan atas dihapuskannya kata PKI dari kebiasaan penyebutan G30S/PKI pada masa orde baru. Dari keputusan Kejaksaan Tinggi ini kemudian dilanjutkan dengan melarang peredaran lima judul buku: Dalih Pembunuhan Massal karya John Rooosa, Suara Gereja Umat Penderitaan: Tetesan Darah dan Cucuran Aor Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Dharmawan, Mengungkap Misteri Keragaman Agama karya Syahruddin Ahmad. Selain itu penghancuran dan kekejian paling mutakhir terhadap buku dilakukan pada September 2009 oleh kelompok yang menyebutkan diri sebagai Front Anti Komunis di Surabaya. Kelompok ini membakar buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono.

Pemusnahan terhadap buku tidak serta merta berhenti. Padahal sebuah langkah maju telah diambil oleh Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 13 Oktober 2010 MK memutuskan bahwa kewenangan pelarangan buku yang dimiliki Kejaksaan Agung sesuai pasal 1 ayat (1) UU no. 44/PNPS/1963 bertentangan dengan konstitusi. Dengan keputusan MK ini, Kejaksaan Agun tidak bisa lagi secara sewenang-wenang memberangus buku, namun harus terlebih dahulu dibuktikan di pengadilan.

Demokrasi mensyaratkan penerimaan akan pluralitas gagasan dan ideologi. Di Indonesia, demokrasi dapat ditawar dengan suatu praktik pengecualian yang membahayakan. Belakangan ini, pengecualian tersebut diberlakukan kepada ‘buku kiri’. Oleh karenanya, praktik pemberangusan dan pemusnahan buku tetap berjalan melalui tekanan ormas-ormas bahkan melalui ketakutan terpendam jaringan toko buku sendiri. Pada Juni 2012, penerbit besar di Indonesia melakukan pembakaran buku yang telah diterbitkannya karena mendapatkan tekanan dari ormas.

Kebencian terhadap buku sudah ada sejak lama. Fernando Baes memakarkan bahwa praktek penghancuran buku sudah terjadi di Sumeria Kuno (4100-3300 SM) sebagaimana temuan para arkeolog di sebuah kuil di kota Uruk. Temuan tersebut mengungkap sisi paradoksal peradaban Barat. Sedangkan kekejian terhadap buku paling mutakhir di Indonesia terjadi beberapa waktu terakhir. Aparat melakukan sweeping buku-buku berbau komunis di beberapa daerah.

Dalam kasus terakhir ini, terjadi bibliokasme yakni kebencian terhadap buku disponsori oleh negara/pemerintah dalam situasi negara yang sedang normal. Argumen pelarangan buku adalah alasan ortodoks dengan tuduhan suatu buku memuat ide-ide ‘murtad’ atau berdasarkan atas argumen penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu.

Masyarakat yang demokratis dengan tambahan pancasilais dan religius, mestinya lebih santai dan percaya diri dalam menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan yang terdapat dalam sebuah buku. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa pelarangan buku juga terjadi dalam negara demokrasi. Pelarangan tersebut dilakukan dalam rangka melindungi hak asasi. Sehingga palarangan buku sah dilakukan jika, pertama, setiap pelarangan buku mesti diuji dengan pertanyaan apakah buku yang dimaksud memang berisi ancaman terhadap hak asasi (misalnya: menganjurkan penyiksaan, pembunuhan sektarian, kebencian ras). Kedua, pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, ia harus diputuskan di hadapan pengadilan. Ketiga, penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di muka pengadilan.


Like it? Share with your friends!

2
Rizal Mubit

Rizal Mubit, S.HI., M.Ag. adalah Peneliti Farabi Institute dan dosen di Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik. Ia telah menulis sejumlah buku bertema keislaman.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals