Pelarangan Buku di Negara Demokrasi

"...tidak menutup kemungkinan bahwa pelarangan buku juga terjadi dalam negara demokrasi. Pelarangan tersebut dilakukan dalam rangka melindungi hak asasi.."3 min


2
10 shares, 2 points

Pelarangan buku adalah bentuk kekerasan yang relatif lembut dan termasuk “baru” dalam sejarah kebencian terhadap buku. Sejarah kebencian terhadap buku lebih banyak berbentuk pembakaran, Atau dalam bentuk yang lebih ekstrem dihancurkan bukan hanya buku, tetapi juga perpustakaan, toko, pemilik atau pengarangnya. Dengan adanya kuasa untuk melarang, pemerintah merasa berhak untuk melakukan sensor terhadap buku-buku yang akan diterbitkan.

Buku hakikatnya hanyalah kumpulan teks, sementara teks selalu terikat pada konteks. Teks memang abadi namun pembaca teks terkadang punya pandangan sendiri dalam memaknai. Sehingga tiap orang tentu punya pemaknaan tersendiri terhadap teks. Maka akan tampak janggal jika sekelompok orang yang takut dengan pemaknaannya sendiri kemudian melakukan tindakan yang tidak dibenarkan. Apalagi jika ketakutan tersebut diekspresikan dengan melakukan sensor, pembuatan undang-undang yang diskriminatif, represif hingga pembakaran.

Baca juga: Nasib Menyajikan Anak-Anak Ruhani Pram ke Meja Makan Malam tanpa Tusuk Gigi

Pelarangan Buku dan Nilai Demokrasi

Tindakan-tindakan tersebut tentu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Namun, nyatanya setelah kekuasaan orde baru yang otoriter dan banyak melarang buku itu runtuh. Indonesia hanya mencicip era kebebasan termasuk pada dunia perbukuan dalam masa yang singkat. Euforia toko-toko buku bebas menjual karya siapa saja tanpa ada rasa takut untuk direpresi, diciduk dan dipenjara hanya terjadi sesaat.

Pada 19 Juni tahun 2007, Kejaksaan Tinggi Semarang, kemudian diikuti Kejaksaan Tinggi di beberapa daerah, menghancurkan ribuan buku pelajaran sejarah SMP dan SMA karena keberatan atas dihapuskannya kata PKI pada penyebutan G30S/PKI.

Dari keputusan Kejaksaan Tinggi ini kemudian dilanjutkan dengan melarang peredaran lima judul buku: Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa, Suara Gereja Umat Penderitaan: Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M. Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Dharmawan, Mengungkap Misteri Keragaman Agama karya Syahruddin Ahmad.

Selain itu penghancuran dan kekejian terhadap buku berlanjut pada September 2009 oleh kelompok yang menyebutkan diri sebagai Front Anti Komunis di Surabaya. Kelompok ini membakar buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono.

MK dan Upaya Penegakan Konstitusi

Bak jamur di musim hujan, serangkaian peristiwa pelarangan buku terjadi di banyak tempat. Oleh karenanya, Pada tanggal 13 Oktober 2010, MK memutuskan bahwa kewenangan pelarangan buku yang dimiliki Kejaksaan Agung sesuai pasal 1 ayat (1) UU no. 44/PNPS/1963 bertentangan dengan konstitusi. Berdasar putusan MK ini, Kejaksaan Agung tidak bisa lagi secara sewenang-wenang memberangus buku, namun harus terlebih dahulu dibuktikan di pengadilan. Melalui putusan ini, MK meneguhkan lagi spirit Demokrasi yang mensyaratkan penerimaan akan pluralitas gagasan dan ideologi.

Sayangnya putusan itu tidak sepenuhnya ditaati. Demokrasi terus-menerus ditawar dengan praktik kekerasan. Pada 19 April 2011, sebuah organisasi yang menamakan Aliansi Anti Komunis, menyulut api dan membakar buku karangan Franz Magnis Suseno berjudul Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, yang andai benar-benar dibaca oleh pembakar, justru merupakan kritik tajam terhadap pemikiran Marx.

Tindakan serupa juga terjadi pada “buku kiri”. Pada Juni 2012, penerbit besar di Indonesia melakukan pembakaran buku yang telah diterbitkannya karena mendapatkan tekanan dari ormas. Di sisi lain, pemberitaan tentang “aparat melakukan sweeping buku-buku berbau komunis di beberapa daerah” muncul di berbagai media massa.

Baca juga: Jalan Terjal Pengusutan Kasus Munir

Pelarangan Buku dan Aktor Negara

Dalam beberapa kasus di atas, terjadi bibliokasme yakni ‘kebencian terhadap buku’ kerap disponsori oleh negara/pemerintah. Templat argumen pelarangan buku sering merujuk pada alasan ortodoks, yakni tuduhan suatu buku memuat ide-ide anti Pancasila atau “murtad” atas fatwa dari suatu otoritas moral tertentu.

Fenomena kebencian terhadap buku sebagaimana dijelaskan di atas dapat dirunut dari sudut pandang akademis-historis. Fernando Baes memaparkan bahwa praktik penghancuran buku sudah terjadi di Sumeria Kuno (4100-3300 SM) sebagaimana temuan para arkeolog di sebuah kuil di kota Uruk. Temuan tersebut mengungkap sisi paradoksal peradaban Barat.

Walaupun tindakan serupa sudah terjadi sejak dulu, bukan berarti tindakan tersebut dapat dibenarkan. Kembali pada spirit masyarakat Indonesia yang demokratis, pancasilais dan religious. Masyarakat mestinya lebih santai dan percaya diri dalam menghadapi serta berdialog dengan setiap tawaran gagasan dari sebuah buku.

Lantas apakah pelarangan buku sama sekali tidak dibenarkan?. Jawabannya tentu tidak, Pelarangan buku masih dapat dilakukan asal dalam kerangka melindungi hak asasi. Oleh karena itu pelarangan buku harus berdasar pada, pertama, setiap pelarangan buku mesti diuji dengan pertanyaan apakah buku yang dimaksud memang berisi ancaman terhadap hak asasi (misalnya: plagiasi, menganjurkan penyiksaan, pembunuhan sektarian, kebencian ras). Kedua, pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, ia harus diputuskan di hadapan pengadilan. Ketiga, penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di muka pengadilan.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _

Tulisan ini pertama kali diterbitkan Artikula pada: 1 Desember 2017

Disunting ulang untuk dilakukan beberapa penyempurnaan namun tidak mengubah substansi tulisan.

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

2
10 shares, 2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Rizal Mubit

Master

Rizal Mubit, S.HI., M.Ag. adalah Peneliti Farabi Institute dan dosen di Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik. Ia telah menulis sejumlah buku bertema keislaman.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals
situs toto toto 4d toto 4d toto 4d idnslot slot88 toto 4d toto 4d togel viral dana toto scatter hitam