Pesan Bennedict Anderson untuk Jokowi: EYD dan Penghapusan Sedjarah

Melihat hal ini, Jokowi harus berikhtiar demi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Om Ben sudah berpidato lewat tulisan, bahwa bahasa telah menaklukkan fakta sejarah3 min


Sumber foto: mekongreview.com

Otoritariansime Orde Baru dalam catatan sejarah mungkin telah berakhir. Tapi bagaimana bisa Jokowi disebut–oleh banyak kalangan–masih memberdayakan gaya-gaya subversif, korup, dan totaliter dalam menerjemahkan kesejahteraan rakyat sipil.

Pada periode dua setelah kembali terpilih dengan pasangan Wakil Presiden (baru) bernama KH. Ma’ruf Amin, lajur kesejahteraan masih terombang-ambing. Ada banyak kebijakan yang tidak pro-rakyat–tanpa mengingat penanganan pandemi yang sangat ambruk–sebut saja misalnya, pengesahan UU Minerba, dan pembakuan UU Cipta Kerja bergaya Omnibus Law.

Saya melihat, periode satu dan dua Jokowi masih bertekuk lutut di bawah kuasa pasar dan pemodal. Lalu, maksud Bennedict Anderson hadir menyatakan kritik setelah ia wafat, di mana?

Bennedict Anderson asing, tapi Nasionalis 

Pada 07 November 2020, saya membeli buku tulisan Joss Wibisono Maksud Politik Jahat (Bennedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa) yang dicetak pada Maret 2020 oleh penerbit Tanda Baca. Oleh karena itu untuk pertama kalinya–tanpa sok kenal dan lama bersinggungan dengan Bennedict Anderson–saya tertarik untuk mengambil simpul kritiknya tentang bahasa.

Bennedict Richard O’gorman Anderson (1936-2015) kita kenal sebagai seorang Indonesianis (pakar sejarah politik Indonesia) pertama yang–dalam apa yang disebut Cornell Paper–mempertanyakan sejarah versi Orde Baru Soeharto tentang pembunuhan para jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965, kemudian dikenal sebagai peristiwa Gerakan 30 September (G30S) [Joss Wibisono, 2020:2].

Baca juga: Pelarangan Buku di Negara Demokrasi

Ketambahan, Om Ben juga berminat pada tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer yang sarat akan pesan-pesan mengerikan atas ketertindasan rakyat, segregasi, konfrontasi, dan semua ketimpangan sosial sejak Orde Baru. Saya pun juga menaruh minat setelah Om Ben dikenal sebagai pemikir politik bahasa yang berbeda dari kebanyakan orang. Inilah yang mengilhami saya untuk mendiagnosis gaya Jokowi pada periode dua dari segi politik bahasa.

Pidato (buatan) untuk Jokowi

Secara sadar, kemenangan Jokowi di periode dua (mungkin) dipengaruhi oleh janjinya pada pidato pertama untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu–meski saya sendiri golput–membuat banyak orang antri dan memesan kepercayaan pada Jokowi agar melanjutkan amanah memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Ada beberapa yang bisa kita jadikan sandaran untuk menengok, bagaimana pelanggaran HAM masa lalu bisa bertumpuk-tumpuk tanpa penyelesaian sama sekali. Soal G30S, misalnya, salah seorang algoco orde baru bahkan berani bersumbar dengan mengatakan, bahwa jumlah orang komunis yang diganyaang habis mencapai tiga juta orang, separuh korban fasisme Jerman (Joos Wibisono, 2020:31).

Lalu apa yang sebenarnya Jokowi lakukan setelah tahu, bahwa Orba adalah dalang di balik semua kasus berdarah masa lalu?

Sebanyak teks yang kita terima sejak Sekolah Dasar, bahwa PKI itu bengis dan sangat berbahaya untuk Indonesia, ternyata terkampanyekan berkat kemahiran rezim Suharto dengan pengendalian bahasa.

Seperti di sadur dalam obituari orang kuat orde baru, Ben Anderson [2008: 52-53] lebih landjut mendjelaskan apa jang dimaksudkannja dengan penghapusan sedjarah. Siapa sadja jang berminat pada buku-buku jang ditulis dalam edjaan lama langsung ditjurigai–alih bahasa–JW (Joss Wibisono, 2020:29). Maraknya perampasan buku-buku kiri era Jokowi dapat didiagnosis, bahwa rezim ini tidak ingin mengungkap–atau diungkap secara publik–kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mengerikan itu. Om Ben jelas melihat, bahwa dengan semakin banyak teks edjaan lama beredar, maka kemunafikan Orba akan makin terang, dan Jokowi enggan meladeni dialog Orba. Mengapa?

Mengungkap Otoritarianisme lewat Bahasa

Masih dalam obituari Ben Anderson [2008: 52-53], jang pertama dan paling penting adalah pemaksaan sistem edjaan baru bagi bahasa nasional mulai tahun 1972-1973 (Joss Wibisono, 2020:29). Diam-diam Orba memasung daya kritis masyarakat sipil dengan bahasa. Lewat alasan membuka pasar cetak dengan Malaysia, Orba menunjukkan kebijakan diktator dengan membuka batas dan memberi identitas khas Orba agar selalu dikenang.

Baca juga: Takwil ala Orde Baru

Kalau bukan karena alasan menutup sejarah gelap pra-reformasi, apa dalil rasional yang bisa diajukan Jokowi untuk menoleransi perampasan buku kiri? Bila sekadar berjaga-jaga takut PKI bangkit, apa dengan dirampasnya buku kiri, PKI akan tidur lelap?

Melihat hal ini, Jokowi harus mengingat ikhtiar baiknya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Om Ben sudah berpidato lewat tulisan, bahwa bahasa telah menaklukkan fakta sejarah. Maka bila Jokowi benar-benar jujur mengusut tuntas dalang di balik pelanggaran HAM masa lalu, seyogyanya perampasan buku kiri bukan hal penting dilakukan–untuk tidak mengatakan sebuah kebodohan yang dilegitimasi oleh aturan TAP MPRS yang melarang ideologi kiri–itu.

Di sini, pengajuan Om Ben bukan sekadar menginterupsi gaya totaliter Jokowi yang mereduksi kepekaan sipil terhadap budaya-budaya otoritarian negara. Lebih dari itu, politik bahasa milik Om Ben sebenar-benarnya harus menjadi kartu kuning lagi atas semua kebijakan hari-hari ini yang tidak pro-rakyat.

Om Ben wafat pada 2015, tapi pikirannya masih segar untuk menengok sejenak praktik kebijakan Jokowi yang sangat timpang. Bila kemerdekaan adalah hak semua bangsa, maka Jokowi tidak boleh mengembangbiakkan kolonialisme bahasa yang telah lama dipakai Orde Baru. Kita memang kehilangan oposisi partai politik, tapi mahasiswa, petani, buruh, dan semua elemen rakyat masih siap menjadi oposisi abadi sampai cita-cita UUD 1945 merata ke seluruh pelosok Negeri. Wallahualam bisawab.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi 
[email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals