Antara kompetisi dan kempetensi (mempelajari diri sendiri), pendidikan melahirkan generasi-generasi yang kompeten adalah salah satu visi yang digagas dalam pendidikan berbasis karakter, menjadi generasi yang memiliki bekal.
Kompetensi adalah impian setiap peserta didik, walau tak dipungkiri ijazah adalah jawaban terahir dari pertanyaan mengapa anda sekolah? Disamping agar mudah mencari pekerjaan, pun juga sekarang zamannya ijazah yang berbicara, bukan kompetensi naluriah yang dimilikinya atau lebih pasnya bagi aliran pendidikan.
Behaviourisme mengatakan bahwa kemampuan yang sejak lahir dimiliki oleh peserta didik seakan diacuhkan hanya untuk meraih apa yang sejatinya menjadi kompetisi.
Entah kompetisi secara personal (peserta didik itu sendiri) atau kompetisi komunal (kelembagaan), mengapa demikian? Bukankah sah-sah saja?
Benar, siapa yang melarang, tidak ada batasan memang, namun yang menjadi penekanan adalah bagaimana seharusnya peserta didik menyadari bahwa pendidikan digunakan untuk melatih dirinya.
Mengenal dirinya secara komprehensif, mengenali kekurangan dan kelebihannya serta mengenali kemampuan naluriahnya sebagai bekal untuk menjalani kehidupannya punjuga untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya (menyadari akhsanu taqwim-nya).
Dalam kalangan empirisme, pendidikan akan menjadi multifungsi dalam menemukan kemampuannya secara saintifik, melalui pengembangan-pengembangan kemampuan yang sudah tampak ada dalam dirinya, bahkan melalui pendekatan stimulus-respon (ada pemantik) dalam menumbuhkan atau mengembangkan kompetensi diri peserta didik.
Sejatinya jika masih memegang teguh prinsip taman siswa atau lebih cenderung pada Ki Hajjar Dewantara. Maka, pendidikan adalah dasar dari pembimbingan, atau wiyata itu sendiri.
Pendekatan menyampaikan ajaran-ajaran moral serta ilmu pengetahuan melalui pendekatan-pendekatan humanistis (membimbing) menuju penyadaran kompetensi diri, tanpa ada prospektifitas industrial pendidikan, atau jika ingin kerja di bengkel maka masuk jurusan permesian, tanpa melihat betapa lemahnya kemampuan naluriahnya (mental dalam bidang itu), berhubung prospek yang dikejar apalagi dipromosikan maka itulah yang menjadi prioritas pendidikannya,
Tetapi itukan baik untuk masa depannya! Iya, namun kompetensi empirisme dan kompetensi naluriah seharusnya lebih diutamakan pemahaman kompetensi naluriahnya, dibanding kompetensi empirirsnya.
Mengapa? Karena kompetensi naluri akan benar-benar membangun mental peserta didik dalam aspek apapun berarti menjadi dasar yang sangat penting, kemudian kompetensi empiris atau saintis, menjadi kompetensi penunjang yang bersifat ke-bisaan,
Karena bisa mengerjakan apapun tapi tidak memiliki mental dalam kebisaannya maka tidak akan menyadari keprofesionalannya, pendek kata, kompetensi naluriah adalah kemampuan yang sejak lahir seperti pengendalian dirinya (sehingga menghasilkan moral).
Kemampuan memanage diri sehingga menghasilkan fokus dalam melakukan apapun serta menumbuhkan rasa keingin tahuannya akan apapun, yang kemudian ditunjang oleh kemampuan saintis, seperti kecenderungan terhadap mesin atau keilmuan yang lain,
Jika kompetensi naluriah meliputi (agama, moral dan budaya) maka kompetensi saintis adalah kemampuan ilmu pengetahuan bahasa, tekhnologi, sejarah, matematika dan lain sebagainya.
Dengan demikian maka bagaimana seharusnya mendidik? Mendahulukan pendidikan yang bersifat naluriah atau saintis? Sehingga pendidikan ada bedanya dengan perlombaan dimana pendidikan menumbuhkan kompetensi dan perlombaan selalu menghadirkan kompetisi, jawabannya ada dalam diri lembaga-lembaga pendidikan.
0 Comments