Obrolan Seputar Istilah Kafir, Imam, dan Wasit

menjadi lazim bila salah satu hasil Munas NU menyatakan bahwa dalam konteks berbangsa semua kita adalah warga negara yang tak patut dilabeli kafir.4 min


kompasiana.com

Obrolan di Grup WA PSPBN SUNAN (Pusat Studi Pancasila dan Bela Negara UIN Sunan Kalijaga) ini bermula dari share opini Dr. Fathurrohman Ghufron di Kompas Sabtu 2/3/2019 h 7, “Munas NU dan Amanah Kebangsaan” dengan catatan tambahan, menjadi lazim bila salah satu hasil Munas NU menyatakan bahwa dalam konteks berbangsa semua kita adalah warga negara yang tak patut dilabeli kafir.

Prof. Syihabuddin Qalyubi lalu mengunggah buku Fahmi Huwaidi, Muwathinun la Dzimmiyyun dan buku lain Huququl Muwathanah.

Lalu saya respons keduanya dengan tulisan Prof. Dr. Syahrin Harahap MA tentang istilah kafir yg dishare di GWA PROFESOR PTKIN berikut:
Analisis KeberagamaanProf. Dr. Syahrin Harahap, MA:
TERM KAFIR

Selain karena beda bahasa, maka maksud term kafir dan non muslim tidaklah terlalu jauh bedanya. Kafir dimaksudkan untuk menyebut orang yang mengingkari Islam, dan itu telah dikagorikan pada tiga. (sudah ada istilah teknis dalam Islam). Tetapi kafir tidak dimaksudkan untuk menyudutkan apalagi memisahkan.

Semua Manusia Bersyahadat  

Sebenanya al-Qur’an tidak mengenal konteks non muslim, karena menurut al-Qur’an pada hakekatnya semua manusia bersyahadat, minimal sewaktu janin (QS. al-A’raf: 172). Tetapi mengingatkan tentang peringkaran terhadap syahadat itu, maka digunakan kata orang yang inkar (kâfir). Sangat berbeda konteksnya dengan the Other Crishtianity, misalnya. Sebab istilah yang disebut terakhir mengandaikan adanya orang lain di luar Kristiani.

Titik masalah peristilahan kafir adalah penggunaannya yang sering menuduh dan menyudutkan.     

Untuk itu diskursus sepatutnya dilakukan  tentang pelurusan penggunaan istilah kafir; jangan digunakan untuk takfîrî, saling mengkafirkan. Sekali lagi bukan untuk menuduh dan menyudutkan. Tapi untuk kategorisasi pengingkaran manusia terhadap pesan Islam. Takfîrî tidak dibenarkan dijadikan alat menuduh dan menyudutkan sesama Muslim, dan juga untuk orang lain. 

Ulama NU Menyarankan

Musyawarah bahs al-Masâ’il ulama NU, sepanjang yang dipublish, adalah ‘menganjurkan’. Tampaknya yang dimaksud adalah untuk tidak menggunakan term kafir untuk menuduh dan menyudutkan. Tentu tidak dapat dipahami sebagai amandemen terhadap al-Qur’ân, sesuatu yang tidak patut dilakukan ulama.

Bernegara Untuk Selamat     

Para pendiri bangsa tampak berusaha membentuk negara agar bangsa Indonesia merdeka dan selamat. Maka kehidupan berbangsa perlu terus kita kelola agar menyelamatkan. 
Dilihat secara demikian, maka negara tidak perlu terlalu ikut campur dalam wilayah ajaran agama. Pada saat yang sama kerukunan yang hendak kita bangun sepatutnyalah yang menyelamatkan, jauh dari menyesatkan. Wa Allâhu A’lamu bi al-Shawâb.

Selanjutnya saya unggah ceramah Kyai Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA., al-Hafizh di Youtube: Non-Muslim bukan Kafir: https://youtu.be/C_TLuiRz_Oc

Berikutnya Prof. Dr. Muhammad Machasin merespons:

Dalam sidang Bahtsul Masail Komisi Maudlu’iyah tgl 28-2-2019 dibahas dua perkara: (1) negara bangsa, dan (2) Islam Nusantara. Mengenai yang pertama, dibahas tiga pertanyaan:

1. Bagaimana pandangan Islam menyikapi bentuk negara bangsa?
2. Bagaimana dengan status non-Muslim di Indonesia?
3. Bagaimana kedudukan produk perundangan yang dihasilkan negara bangsa dan sikap kaum muslim terhadapnya?

Untuk menjawab pertanyaan nomor dua di atas, yang menjadi pembicaraan di medsos, beberapa peserta meneliti pilihan-pilihan yang telah tersedia dalam fiqih, yakni: (a) kafir harbī (non muslim yang diperangi), (b) kafir dzimmi (non muslim yang dilindungi dengan imbalan pajak kepala atau jizyah), (c) kafir mu‘āhad (non muslim dengan perjanjian, tanpa keharusan bayar jizyah), kafir musta’man (non muslim bukan warga yang dijamin keamanannya). 

Pilihan-pilihan ini tidak dapat dipakai karena Indonesia dibangun bersama oleh komponen bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang keagamaan yang berbeda. Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara kesepakatan dari orang-orang yang majemuk itu.

Ini jawaban pertanyaan nomor 1. 
Konsisten dengan jawaban ini, jawaban pertanyaan nomor 2 adalah: Status non muslim di dalam NKRI sebagai negara bangsa adalah “warga negara”. Hak-hak dan kewajibannya, dalam hubungan dengan negara, tidak berbeda dengan hak-hak dan kewajiban muslim.
(Machasin, Mustasyar PBNU, peserta sidang komisi dan pleno Munas-Kombes NU di Banjar, Jawa Barat; kebetulan pada sidang komisi duduk di samping kanan ketua sidang).

Saya (Muhammad Chirzin) pun merespons tulisan Prof. Machasin tersebut dengan mengunggah pendapat Prof. Din Syamsuddin: Kafir dan Muwathin dua konsep berbeda kategori. Kafir merupakan konsep teologis dan muwathin konsep politis. Sebagai sebuah “ethico religious concept” (Izutzu) terma kafir mempunya banyak makna kontekstual (tergantung konteksnya). Tidak mungkin istilah itu dinafikan selama masih ada dalam Kitab Suci. Namun, kafir dalam Darul Harbi tidak lagi relevan karenaDarul Harbi (dan Darus Silmi) sudah tidak relevan di era modern yg sudah menjadi Darul ‘Ahdi. Maka semua rakyat warga negara adalah muwathin, yang bersama rakyat warga negara lain perlu berbagi kewarganegaraan (muwathanah musytarakah/common citizenship). Maka dalam konteks kebangsaan tidak ada orang kafir. Tapi dalam konteks keagamaan, apakah Surah Al-Kafirun mau diubah menjadi Surah Al-Muwathinun?

Fathurrahman Ghufron: analisis yg kurang tepat…ijtihad NU tidak bakal sampe merubah surat itu…

Muhammad Chirzin: Apakah muslim Indonesia boleh memilih non-muslim sebagai imam? 🙏🏻🙏🏻

Fathurrahman Ghufron: kalau itu memenuhi aturan konstitusi dan KPU mengapa tidak boleh?

Muhammad Machasin: Lho, ra sah salaté, no.

Fathurrahman Ghufron: hehehehe….

Tertarik dengan itu saya unggah meme, “Politik itu pisau bermata dua. Baik dan buruknya keadaan suatu bangsa adalah di tangan pemimpinnya.”

Fathurrahman Ghufron: kok bermata dua prof…padahal bisa seribu dan lebih.

Saya pun meresponsnya dengan sebuah meme lagi, “Permainan apa pun akan rusak jika wasit ikut bermain.”

Fathurrahman Ghufron: emang ada wasit yg bermain prof? enggak juga….tadi malam saya nonton elclasic, wasitnya hanya ngatur aja…demikian pula di semua bentuk permainan….

Muhammad Chirzin: Wasitnya tidak main di lapangan, tapi ngatur skor hasil akhir permainan, Gus Fathur?

Fathurrahman Ghufron: perasaan itu kerjaannya orang-orang yang berjudi prof., bukan wasit….wasit tidak akan sampai ke sana jangkauannya..liat aja kasus PSSI….

Muhammad Chirzin: Kasus PSSI, pengakuan beberapa anggota tim manajer pertandingan dalam sebuah wawancara tv oleh Najwa Sihab, bahwa wasit itu dipilih yang mau/bisa/mudah diajak kompromi untuk mengatur skor.

Jadi, orang yang berjudi itu berhubungan dengan manajer penyelenggara,  pelatih, pemain, wasit, atau berhubungan dengan mereka semua satu per satu; ataukah orang-orang yang berjudi itu cuma menunggu ke mana bola itu masuk gawang doang, tanpa usaha dan upaya apa pun? Jika demikian itu penjudi amatiran atau penjudi kelas kampung atau penjudi kampungan, Gus Fathur…

Fathurrahman Ghufron: itu satu versi prof…versi liputan TV one ada sekelompok yang berjudi…adapun wasit ditekan oleh penjudi.

Lalu siapa penjudinya? itu hanya Rhoma Irama yg tahu prof…

Muhammad Chirzin: Nah, kalau wasit itu ditekan sedemikian rupa oleh penjudi, apakah dia berinisiatif untuk menentukan skor sesuai dengan tekanan penjudi ataukah ia tetap teguh pada prinsip kebenaran dalam perwasitan dengan menetapi sumpah jabatan wasit?

Kalau iya, berarti wasit itu “ikut bermain”, kalau tidak, berarti dia “tidak ikut bermain”. Simpel kan, Gus Fathur? 🙏🏻🙏🏻

Fathurrahman Ghufron: yang nekan itu istrinya prof..bukan yg lain

End


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
3
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Muhammad Chirzin
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. adalah guru besar Tafsir Al-Qur'an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Anggota Tim Revisi Terjemah al-Qur'an (Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur'an) Badan Litbang Kementrian Agama RI.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals