Membincang Islamisme dan Keberagamaan Kaum Muda

Dalam bahasa yang lebih luas, doktrin agama menjadi alat untuk melawan ketidakmampuan umat beragama dalam menjawab tantangan modernitas.4 min


ilustrasi: patung Ibn Rusyd (sumber: google.com)

“Kita rupanya sebagai bangsa harus belajar dari sejarah, supaya lebih arif, dan tidak terperosok dalam lubang yang sama.”

–Kuntowijoyo (Identitas Politik Umat Islam, 1997)

Peristiwa-peristiwa penting di tahun-tahun berlalu (hampir) selalu bisa menjadi pijakan dalam memahami konteks sosial yang berkembang belakangan.

Orde Baru bangkit dengan membantai komunis dan menindas politik Islam. Dalam banyak hal kesatuan Indonesia tercapai lewat sejumlah kompromi dari berbagai pihak dengan menahan diri untuk tidak menyatakan atau membesar-besarkan perbedaan identitas golongan. Persatuan rapuh semacam itu berkali-kali retak ketika sebagian kelompok merasa tidak puas dengan proses pembangunan yang dianggap tidak adil.

Kelahirannya merupakan tuntutan Perang Dingin dengan tugas utama menghabisi komunis dan melancarkan perluasan jaringan industri kapitalisme global. Berbagai unsur yang dulu terkubur hidup-hidup di bawah sepatu laras Orde Baru kembali bangkit dan memperebutkan definisi ulang Indonesia, menuntut kepentingan masing-masing. Misalnya, politik identitas berkedok ‘agama’.

Setidaknya sejak reformasi bergulir, awal tahun 2000-an menjadi pintu gerbang dalam melihat wajah baru kelompok eksoterisme beragama. Simbol-simbol agama yang tidak begitu tampak di masa-masa sebelumnya berubah menjadi begitu meriah dan emosional. Membicarakan agama kini, seolah urusan antara hidup dan mati.

Meski demikian, fenomena tersebut—ditandai dengan tumbangnya Soeharto, bukan satu-satunya awal dari yang seringkali orang sebut ‘perubahan sosial signifikan di Indonesia’, tumbangnya Orde Baru tidak lebih dari (bagian kecil) akumulasi proses perubahan yang lebih besar. Mengutip Ariel Heryanto, berakhirnya perang dingin dan kapitalisme global sebagai dua arus besar pemicunya.

Di belahan dunia lain, di mana wacana Islam bergulir begitu keras—sebuah wilayah dekat jazirah Arab, Persia dulu, kemenangan Iran dalam revolusi yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada 1980 awal membawa angin segar bentuk keberagamaan bagi sekelompok orang yang akan kita lihat 20 tahun setelahnya. Misalnya, penggunaan hijab/jilbab (dulu muslimah Indonesia memakai kerudung) ditengarai mulai banyak dipakai setelah peristiwa ini. Orang-orang di wilayah muslim lain, termasuk di Indonesia mulai menisbatkan kebangkitan Islam terhadap keberhasilan revolusi Iran ini.

Baca juga: Milenialisme dan Gerak Pendidikan Kita

Philip Vermonte (2007) misalnya, menunjukkan wacana kebangkitan Islam di negara-negara Timur Tengah dan Iran mempengaruhi kalangan muda muslim Indonesia sejak 1980-an. Melalui karya-karya Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Qutb, Sayyid Hawwa, Ali Syariati, dan Yusuf Qaradawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Membangun obsesi tentang pendirian negara Islam dan masyarakat tanpa kelas (bukan masyarakat tanpa kelas-nya Marx).

Mula-mula  landasan berpikir mereka berangkat dari kegelisahan terhadap pemecahan problem internal bangsa. Namun, sebab model keberislaman berpijak pada pemahaman akidah yang kaku (baca: teologis), membuat perumusan solusi dari masalah menjadi tidak terbuka. Sebuah keberagamaan yang terjebak pada truth claim—atau personal commitment dalam bahasa Ian G. Barbour.

Dalam konteks sosial kini, gerakan-gerakan islamisme (inspirator wajah keberagamaan anak muda kini) yang dirintis di luar Indonesia tidak lepas dari perkembangan media sosial, digital dan internet. Wacana yang dulunya hanya ditransfer melalui buku-buku kini bisa disebarluaskan melalui sepatah dua patah kata di media sosial, dengan video singkat terpotong-potong dan dakwah-dakwah singkat yang cenderung reduksionis. Masing-masing berurutan, kelompok pendakwah-selebritis mengambil inspirasi dari Ikhwanul Muslimin (1928), Jamaati Islami (1941), dan Hizbut Tahrir (1953). Agak belakangan sebenarnya gerakan ini muncul, jauh setelah gerakan nasionalisme Indonesia mencapai titik akhir proses perjuangan kemerdekaan.

Berdiri sebagai bentuk jawaban dari kalangan agamawan di Timur Tengah untuk modernitas dan keterbelakngan Islam, masing-masing mirip dalam gerakan, sama-sama memperjuangkan tatanan negara Islam yang dengannya (diharapkan) kaum muslim dapat membebaskan diri dari pengaruh buruk penjajahan politik dan budaya Barat.

Bagaimana di Indonesia? Wajahnya bisa dilihat dari masifnya dakwah yang dilakukan oleh orang-orang HTI (meski sudah dibubarkan pada tahun 2017 oleh pemerintah). Wacana Timur Tengah tersebut menjelma literatur salafi sekaligus gerakan-gerakan hijrah yang menekankan mula-mula pada aspek moralitas dan keberislaman–yang sempit. Paradigmanya berupa pemberian garis demarkasi tegas antara dunia modern (penuh dengan dosa, syirik, bid’ah dan kekafiran), dan dunia ideal (islam).

Secara epistemologis, nalar dalam pengambilan kesimpulan—sebagai acuan berdakwah berupa nalar bayani (meminjam Abid al-Jabiri). Jenis nalar yang tidak mampu keluar dari konteks harfiah sebuah teks. Terpaku. Konsekuensinya, modernitas atau realitas (temuan-temuan) kini haruslah tunduk terhadap teks. Hal ini tentu tidak cocok dengan karakter Indonesia yang terbuka dan tidak membatasi nilai-nilai.

Dalam bahasa yang lebih luas, doktrin agama menjadi alat untuk melawan ketidakmampuan umat beragama dalam menjawab tantangan modernitas (Arkoun, 1994). Isu moralitas dan komitmen terhadap akidah hanya jalan awal untuk memuluskan penerimaan orang-orang (baca: kaum muda) terhadap asumsi mendesaknya kebutuhan akan pendirian sistem islam, syariat, atau negara Islam. Di tahap yang paling ekstrim, penerimaan terhadap asumsi ini bisa saja terjadi.

Baca juga: Menakar Kembali Kejernihan Media Massa

Media sosial–sebagai bagian dari produk teknologi informasi, mengubah pola produksi pengetahuan dan fitur epistemologis anak muda dalam mengambil sumber otoritas ilmiah–dalam hal ini pemikiran keagamaan. Sebuah studi yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Studi Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah mencatat, 84,94% siswa memperoleh pengetahuan agama melalui internet dan sekitar 15,06% sebaliknya–tidak melalui internet. Penelitian ini menambahkan mereka yang tidak mendapatkan pengetahuan agama melalui internet terlihat lebih moderat–dibanding mereka yang mendapat akses.

Fenomena dua mahasiswi bercadar yang ditangkap oleh Detasemen Khusus Anti-Terorisme atas dugaan (usaha) penyerangan terhadap polisi di Markas Komando Brigade Mobil di Depok, Jawa Barat pada 2018 lalu mengaku belajar Islam di media sosial (baca: telegram). Mereka bersetuju dengan pembentukan negara Islam dan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Ini memperkuat tesis di atas.

Di samping itu, gerakan ‘hijrah’, anti pacaran, nikah muda, dll dengan visualisasi perempuan bercadar dan laki-laki memakai gamis, celana jingkrang dan berjenggot dianggap sebagai simbol yang islami. Contoh terakhir ini, termasuk pada fenomena terkini tentang keberagamaan anak muda Indonesia—di tengah kehausan akan identitas. Lari pada ajaran agama yang populis dan instan menjadi pilihan menggiurkan. Seorang pendakwah sudah punya obat dan para audien tinggal pakai. Pembacaan kritis (demonstrative thinking) terhadap satu pembahasan atau isu jarang sekali dilakukan—untuk tidak mengatakan tidak sama sekali.

Data di atas tentu tidak ingin memaksakan kesimpulan bahwa anak muda (mahasiswa dan remaja) seluruhnya demikian—berada dalam ahistoris-isme. Namun, satu dari sekian banyak hal genting dan menuntut untuk dijabarkan adalah fenomena keberagamaan ini (doktrin dan pemahaman). Demikian, fakta tersebut menjadi penting dilihat—sebagai acuan bagaimana memetakan keberagamaan anak muda Indonesia ke depan.

Mengingat, membicarakan fakta sosial—yang di dalamnya didiami anak muda sebagai tonggak penting, juga berarti membicarakan doktrin agama. Fenomena keberagamaan (persepsi, struktur dan wacana) sebagai ‘wajah’ yang tampak di permukaan sebenarnya bermula dari bangunan dasar, yakni doktrin dan ajaran-ajaran agama yang telah lama mengendap. Dalam kenyataan, sekarang mode berpikir itu beralih ke media sosial dan banyak dipelopori oleh ustad-ustad baru yang mengajarkan Islam secara reduktif—jauh dari nalar holistik-historis.

Corak berpikir menjadi tampak dangkal dan tergesa-gesa. Dalam istilah Fazlur Rahman, gerakan (baca: fenomena) ini barangkali termasuk pada apa yang disebut sebagai neo-fundamentalisme. Keberadaannya tidak memberikan tawaran baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Mengidap penyakit cukup berbahaya; pandangan tekstual tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khazanah keislaman klasik yang kaya.

Lebih-lebih, kelompok ini pada umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual. Alih-alih wajah islam plural bisa dilihat dari produk berpikir ini, yang terjadi bahkan tidak lebih dari arabisasi—menjauhkan anak muda dari identitas keindonesiaan yang multi dan tidak mono-perspektif.

Demikian, melihat fenomena islamisme dan kecenderungan keberagamaan simbolik kaum muda kini, barangkali, kita membutuhkan sebuah perspektif baru—‘bahasa’ baru—meminjam Wittgenstein medium ini sebagai penjelmaan alam pikiran, yang tidak terlepas dari konteks dan kebudayaan Indonesia sendiri. Sehingga corak keberislaman yang tumbuh tidak sekadar semacam arabisasi—atau salafi-wahabi-sasi. Begitu. (SJ)

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
5
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
15
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
11
Wooow
Keren Keren
14
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Syukron Jazila
Sedang menanam-mencangkul di Wahib Institute dan ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) UIN Sunan Kalijaga

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Satu kata untuk tulisan ini; Keren Bung! Penjelasannya juga sistematis, berpijak pada batu pijakan yang kokoh.
    Saya setuju dengan penegasan; “dokrin agama menjadi alat untuk melawan ketidakmampuan umat beragama dalam menjawab tantangan modernitas”. Ruju’ Ilal Qur’an wa sunah itu tidak lain adalah dalil-dalil ampuh untuk mengesampingkan sikap kritis, kemauan untuk menalar keberagamaan nya secara epistemologis. Pendek kata, redukionis itu sebenarnya lebih nampak saling melengkapi pola pikir instan yang dicetak dan melulu jadi jamuan yang dipersembahkan oleh media sosial.

    Kalau saya meminjam istilahnya prof. Sumanto Al-Qurtuby dalam status FB beliau, keadaan itu tidak lain menunjukkan betapa ‘gampangan’ umat muslim dalam menerima solusi yang belum final. Alih-alih berupaya mencapai titik ideal dalam beragama namun menjadi nalar dan cara pandang yang akan menjadi bumerang bagi diri sendiri.

    Ah, saya jadi teringat dengan pandangannya Paul Stange yang memotret maraknya kemunculan kalangan spiritual di Jawa tatkala masa perjuangan menuju kemerdekaan tidak lain adalah wujud ketidakmampuan menerima kenyataan akan ketertindasan dan penjajahan Belanda-Jepang. Makanya mistisme yang berkembang tatkala itu tidak lain hanyalah bentuk eksapisme belaka.

    Oh, iya, saya juga berjenggot Lo mas Aziel tapi bukan simbol yang hendak menegaskan islami, melainkan fashion semata-mata.

    Saya juga anti pacaran, tapi bukan karena saya terpapar radikalisme agama, melainkan karena ada kontruksi kesadaran diri bahwa akibat hubungan pacaran yang tidak sesuai harapan ideal (red; kandas) bisa merusak relasi sosial, hablum minannas, hablum minal ‘alam dan hablum minalllah.. heuheuheu…
    😅

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals