Kemerdekaan artinya independensi, kebebasan, kedaulatan, kemandirian, dan otonomi. Dalam konteks hubungan internasional, merdeka ialah bebas dari penjajahan, penguasaan, pengaruh, dan pengendalian oleh negara-negara lain.
Setiap orang lahir di dunia dalam keadaan merdeka. Di saat yang bersamaan, kemerdekaan adalah hak setiap bangsa sebagai himpunan individu-individu yang merdeka. Artinya, setiap bangsa bebas menentukan haluan dan tujuan yang dicita-citakan. Dengan kata lain, seseorang yang tertawan, terpenjara atau diperbudak, termasuk diperbudak oleh hawa nafsu, adalah tidak merdeka.
Lantas pertanyaannya, bagaimanakah kemerdekaan dalam perspektif Al-Qur’an?
Berbicara mengenai kemerdekaan dalam perspektif Al-Qur’an bearti di saat yang sama juga membahas kemerdekaan dalam Islam. Di antara misi Islam ialah memerdekakan manusia dari perbudakan dan membebaskan mereka dari kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan, serta kesengsaraan hidup.
Umar bin Khaththab pernah berkata, “Anak manusia itu terlahir merdeka, dari mana engkau mendapat hak untuk memperbudaknya?”
Baca juga: Perlindungan Sosial Untuk Indinesia Berkemajuan |
Perkataan yang pernah disampaikan oleh Umar kepada para sahabatnya tersebut sejalan dengan firman Allah swt dalam QS. Al-Balad (90): 11-16:
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ○ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ○ فَكُّ رَقَبَةٍ○ أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ○ يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ○ أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
Tetapi dia tidak menempuh jalan yang terjal. Tahukah kamu apakah jalan yang terjal itu? Yaitu membebas perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan). Anak yatim yang dalam pertalian kerabat. Atau orang miskin yang bergelimang di atas debu. (QS. Al-Balad (90): 11-16)
Terkait kemerdekaan dalam Al-Qur’an, Allah swt terkadang tidak mengatakannya secara tersurat, sebagaimana firmanNya dalam surat yang lain,
Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang salat. Yang lalai dari salatnya. Yang hanya ingin dilihat orang. Dan menolak memberi pertolongan dengan barang berguna.(QS 107:1-7).
Kemerdekaan dalam perspektif Al-Qur’an juga bearti berbicara mengenai para Nabi dan Rasul yang mengemban misi memerdekakan manusia dari kegelapan hidup. Allah swt menurunkan wahyu dari waktu ke waktu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Yang demikian itu mencapai setiap bangsa menurut bahasa dan lingkungannya sendiri masing-masing.
Begitu juga halnya dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad saw. dan para nabi dan rasul yang lain, selalu terdapat pertentangan antara yang jahat dengan yang baik di mana saja manusia berada.
Alif Lam Ra`. Kitab yang Kami wahyukan kepadamu supaya kau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dengan izin Tuhan menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji.
Allah-lah yang memiliki segala yang di langit dan segala yang di bumi. Celakalah orang-orang kafir karena azab yang mengerikan.
Mereka yang mencintai kehidupan dunia melebihi akhirat dan merintangi manusia dari jalan Allah serta menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itulah yang telah jauh tersesat.
Kami tidak mengutus seorang rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya, supaya dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah membiarkan sesat siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. Ibrahim [14]: 1-4).
Abdullah Yusuf Ali bernah pernah menulis mengenai kemerdekaan dalam perspektif Al-Qur’an dan hubungannya dengan wahyu yang disampaikan kepada para nabi dan rasul di atas sebagai berikut:
Wahyu membimbing manusia
Dari kedalaman gelap menuju ke tempat terang.
Ia datang ke setiap zaman dan bangsa dalam bahasanya sendiri-sendiri
Itu terjadi dahulu; dan sampai kini pun bagitu
Para rasul diragukan, dihina, diancam, dan diburu-buru
Namun kepercayaan mereka jelas kepada Allah
Yang terhempas adalah selalu yang batil
Kebenaran Allah adalah sebatang pohon yang bagus, yang kokoh berakar
Mengembangkan ranting dan dahannya tinggi-tinggi dan lebar-lebar
Dan bermuatan buahan yang segar sepanjang masa.
(Abdullah Yusuf Ali)
Tantangan Sebuah Kemerdekaan
Salah satu karakter yang dicela oleh Al-Qur’an adalah orang-orang yang lebih mencintai kehidupan dunia yang fana daripada kehidupan yang sebenarnya di akhirat. Mereka tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga menjerumuskan orang lain.
Pikiran mereka yang tidak lurus mencari sesuatu yang tidak lurus di dalam jalan Allah yang lurus. Mereka menyimpang jauh dari agama. Betapa menyedihkan keadaan orang-orang kafir. Mereka menimpakan segala akibat yang mengerikan atas mereka sendiri, yakni datangnya hukuman Tuhan.
Berbicara kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari persoalan penindasan karena penindasan demi penindasan atas anak manusia berlangsung di berbagai belahan bumi. Tidak terkecuali di Mesir pada era kekuasaan Fir’aun pada masa hidup Nabi Musa as. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an,
Sungguh Kami telah mengutus Musa dengan ayat-ayat Kami (dengan perintah), “Keluarkanlah kaummu dari lembah kegelapan kepada cahaya dan ingatkan mereka akan hari-hari Allah.” Sesunguhnya itu adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang selalu sabar dan banyak bersyukur.
Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika Dia menyelamatkan kamu dari orang-orang Fir’aun; mereka menimpakan siksaan yang berat kepadamu, membunuh anak-anak laki-lakimu, dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; dalam hal itu suatu cobaan besar dari Tuhanmu.”
Ingatlah juga tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sungguh, jika kamu bersyukur, Aku pasti memberi tambahan (nikmat dan karunia) kepadamu, tetapi jika kamu tidak bersyukur, sungguh azab-Ku sangat dahsyat.”
Musa berkata, “Jika kamu tidak bersyukur, kamu dan semua orang yang ada di muka bumi ini, sungguh Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (QS 14:5-8).
KH Imam Zarkasyi suatu kali pernah berkata bahwa “hanya orang-orang yang pernah mengalami penjajahan yang dapat merasakan arti kemerdekaan.”
Kalimat tersebut menyiratkan kepedihan dan kegetiran hidup di bawah kekuasaan penjajah. Konon kesengsaraan hidup bangsa Indonesia di bawah penjajahan Jepang yang hanya berlangsung tiga setengah tahun itu lebih pedih daripada hidup di bawah penjajahan Belanda selama tiga setengah abad.
Baca juga: Quo Vadis Kemerdekaan? |
Saat ini bangsa Indonesia memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-75*. Untuk ukuran kehidupan manusia, umur 75 tahun adalah usia senja.
Bersama dengan perjalanan waktu orang yang berusia 70 tahun ke atas itu tentu telah mengenyam banyak pengalaman hidup dan merasakan asam, manis, asin, dan pahitnya kehidupan. Bukankah Rasulullah saw diwafatkan Allah swt dalam usia 63 tahun saja? Akan tetapi, dalam ukuran perjalanan hidup sebuah Negara usia 75 tahun tentu masih demikian belia.
Bung Karno, Sang Proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah berkata bahwa perjuangan merebut kemerdekaan itu amat berat, tetapi lebih berat lagi mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Merebut kemerdekaan itu musuhnya jelas, yakni kaum penjajah, sedangkan mengisi kemerdekaan yang harus dihadapi adalah bangsa sendiri.
Setelah menilik sedikit mengenai kemerdekaan dalam perspektif Al-Qur’an di atas, pertanyaanya untuk kita sekarang adalah: apakah bangsa Indonesia kini telah benar-benar merdeka? [DK]
*Diperbaharui pada 14/7/2020
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment