Negarawan senantiasa memandang ke seratus tahun kedepan, sedangkan politisi terbatas pada pemilihan umum berikutnya, dengan harapan bisa terpilih lagi – Mahbub Djunaidi
Barangkali tidak salah juga mengutip syair sang Pendekar Pena, Mahbub Djunaidi ini, pasalnya dengan ini mungkin sangat cukup untuk hadir menggambarkan apa yang dialami bangsa kita sekarang ini dalam melihat calon-calon imamnya nanti.
Tidak kah anda menyadari, di tahun politik yang penuh akan janji-janji ini, yang penuh akan drama-drama ini, dan yang penuh ketimpangan ini, kita kehilangan satu fokus perjuangan yang sedikit demi sedikit terkikis hilang. Kini, Bangsa ini luar bisa menariknya, betapa tidak, mereka mampu menghilangkan, menyembunyikan, dan bahkan meniadakan PR besarnya.
Hari ini, kurang lebih satu tahun menjelang pemilihan presiden diadakan. Kita semua berhadapan dengan pemandangan yang sangat kontras, nyeleneh, dan membingungkan. Betapa tidak, kita lebih memilih ribut masalah tagar ketimbang untuk menyempatkan melirik bagaimana keadaan bangsa akhir-akhir ini.
Rasanya tidak ada lagi yang lebih menarik dan lucu untuk dilihat juga disimak, kecuali kekisruhan pemerintah dan oposisinya. Saling berbalas cinta, saling berbalas benci, berbalas pantun, berbalas meme, berbalas tagar, bahkan sampai berbalas bisnis perkaosan. Menarik dan lucu bukan?
Tentu saja ini sangat lucu. Kini, tidak ada lagi orang yang mau melek headline berita kesedihan-kesedihan warga kecil yang telah kehilangan tanahnya. Tidak ada lagi yang mau melirik headline bahwa ternyata, ada orang meninggal didzalimi oleh para pebisnis pariwisata yang rakus. Sudah tidak ada lagi tuh nampaknya, yang mau merelakan waktunya untuk melirik analisa-analisa kritis kebobrokan pemerintah ala-ala zaman orde baru dulu. Di antara sekian analisa pilihan yang ada, mereka lebih memilih dan tertarik siapa yang menang, kubu yang mendukung tetap atau yang kubu yang mendukung ganti?
Banyak seharusnya yang mesti diurus oleh kita selain ribut dalam mempermasalahkan tagar dan penjualan kaos. Permasalahan agraria, konflik antar agama, kemiskinan, pemberantasan korupsi, keadilan yang menyeluruh, seharusnya menjadi prioritas di atas segala-galanya jika kita mengingikan kemakmuran dan kemajuan bagi negeri ini.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 659 konflik agraria sepanjang 2017, dengan luasan mencapai 520.491,87 hektar (ha). Jumlah ini meningkat 50 persen atau dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya 2016 (nasional.kompas.com). Jumlah seperti ini, tentunya sangat fantastis dan sangat krisis mengingat kita hidup di negeri agraris. Yang lebih miris lagi, menurut beberapa informasi yang ada, tidak jarang konflik-konflik tersebut menghasilkan korban jiwa di dalamnya.
Di samping daripada itu, konflik antar agama sudah tidak bisa kita pungkiri lagi, bahwa benih-benihnya sudah mulai muncul ke permukaan tanah kita ini. Isu-isu yang tidak sepatutnya dipermasalahkan yang lahir dari kaum-kaum radikalis dan konservatif , kini mulai muncul secara perlahan dan lembut di tubuh bangsa kita sekarang ini. Sedikit keras membentur keharmonisan antar umat beragama. Permasalahan-permasalahan yang dulu dan usang, kini dimunculkan kembali tanpa ada motif yang jelas kenapa harus ditampilkan.
Sebut saja perdebatan diskursus pemimpin muslim dan non muslim, pro kontra negara Islam, isu komunisme, pemasukan kepercayaan lokal dalam status agama di KTP dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan semacam ini, memang secara dzahir tidak nampak relasinya dengan hubungan antar umat beragama, namun jika kita telaah lebih dalam dan lebih teliti lagi, perdebatan-perdebatan isu semacam ini lah yang dikemudian memunculkan benih-benih kebencian antar umat beragama di dalamnya di kemudian hari. Dan siapa sangka, kini isu itu sangat panas sekali untuk dibicarakan.
Di samping daripada itu pula, lagi-lagi kemiskinan menjadi PR yang tidak kunjung selesai bagi kita. Data terakhir menyebutkan jumlah penduduk miskin Indonesia masih berada di jumlah yang sangat besar, yakni sejumlah 26,58 Juta orang.
Di ambang batas narasi oposisi
Rasanya tidak pas jika semisal bangsa kita ini sedang menerima permasalahan sebegitu menumpuknya, kita malah lebih meributkan perebutan kursi kekuasaan, drama pemerintah dengan oposisinya, bahkan ribut dalam hal kaos ataupun sekadar pemeran pengganti Pak Jokowi dalam aksi pembukaan Asian Games, menggelikan bukan?.
Di tahun politik ini, ada sekitar 171 pemilihan kepala daerah dilaksanakan, berlanjut ke tahun berikutnya 2019 pememilihan anggota legislatif dan presiden. Tentunya panasnya situasi bangsa menjadi hal yang wajar-wajar saja dalam momentum pesta demokrasi ini, mengingat kebebasan berpendapat memang suatu hak warga yang dilindungi negara. Namun perlu dicatat, sepanas apapun percaturan kontestasi politik, kewarasan harus tetap dijaga.
Kita sekarang ini, banyak dihadapkan pada situasi di mana jika tidak setuju dengan pemerintah, maka dianggap kubu oposisi. Dan begitupun sebaliknya, jika setuju dengan kebijakan pemerintah, maka dianggap pro pemerintah atau tangan panjang pemerintah. Disadari atau tidak, begitulah sekiranya situasi bangsa kita saat ini, tuan-tuan.
Tentunya situasi semacam itu, menjadi problem tersendiri dalam kebebasan warga dalam menyampaikan pendapatnya. Betapa kasihan sekali mereka, gagasan-gagasan mereka yang luas, solutif dan sangat besar itu harus dipersempit pada suatu keadaan di mana mereka harus berpijak di kubu mana. Kubu pro pemerintah atau oposisi? Di kubu presiden tetap atau kubu presiden ganti?.
Akhirul kalam, mari bersama-sama kita mengatakan suara-suara kita, masalah-masalah kita, kemiskinan kita kepada pemerintah, tanpa perlu memikirkan panjang harus berada di kelompok yang mana. Mari bersama kita membicarakan rumah besar kita bernama Indonesia, siapapun kepala keluarganya, rumah ini harus tetap ada meskipun harus beriringan dengan problem-problem yang terus menghantamnya. Kini, masa depan rumah ini, masih dan akan tetap berada di tangan kita, keputusan berada di tangan kita apakah akan dirawat rumah itu, atau diperindah, atau bahkan dengan tega digusur dan dijual.
0 Comments