Indonesia adalah suatu masyarakat yang bersifat plural. Pluralitas ini sebagai warisan sejarah jauh sebelum kemerdekaan yakni zaman Hindia Belanda, hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa, bahasa, lokal, agama, adat dan budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Menurut Geertz (1963) definisi masyarakat plural itu sendiri adalah masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing terikat ke dalam ikatan primordial. Suatu masyarakat bersifat plural atau majemuk apabila struktur memiliki sub-sub yang diversi.
Pluralitas masyarakat Indonesia dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa, bahasa lokal, agama, adat dan budaya yang ada. Setiap suku memiliki tradisi, bahasa, kepercayaan dan budaya masing-masing. Secara goegrafis negara Indonesia merupakan negara kepulauan, dan ini menjadi salah satu faktor pendukung pluralitas masyarakat Indonesia. Setiap pulau terdapat berbagai macam suku bangsa, sebagai contoh Pulau Sumatra didiami oleh suku Batak, Nias, Mentawai, Suku Anak Dalam, di Pulau Jawa didiami oleh suku Jawa, Betawi, Badui, dan masih banyak yang lainnya.
Setiap masing-masing suku memiliki adat, tradisi, bahasa, kepercayaan dan budaya yang berbeda-beda. Pluralitas suku bangsa, kepercayaan, adat budaya dan tradisi menjadi karakteristik yang khas dari masyarakat bangsa Indonesia.
Bagi suatu masyarakat pluralistik seperti Indonesia, potensi konflik sangat dimungkinkan terjadi. Ragam konflik yang terjadi bisa berasal dari berbagai hal, seperti halnya: konflik antar agama, konflik antar etnis, konflik antar budaya, konflik antar suku ataupun konflik kepentingan antar masyarakat dari daerah atau propinsi yang berbeda. Konflik antar pengikut agama yang berbeda, biasanya terjadi manakala norma dan nilai-nilai agama yang dianutnya dicampakkan atau dilecehkan oleh penganut agama lainnya.
Baca juga: Kesadaran Multikulturalisme dalam Membangun Negara |
Konflik akan sangat mungkin terjadi manakala tingkat toleransi antar agama tak terpelihara dengan baik. Kesepakatan antar pemuka agama untuk hidup berdampingan secara harmonis dalam menjalankan agamanya masing- masing serta saling menghormati dan saling memahami satu sama lain merupakan suatu hal yang mendasar bagi terhindarnya konflik antar agama yang berkepanjangan (Pahrudin, 2009).
Adalah sebuah keniscayaan dalam suasana pluralitas agama, ditambah adanya klaim kebenaran (truth claim), setiap agama menyatakan ajarannya sebagai totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan, baik individual maupun sosial dan watak missioner dari setiap agama berpeluang terjadinya benturan-benturan dalam kehidupan beragama serta adanya salah pengertian antar penganut agama menjadi terbuka lebar (Komarudin, 1993).
Terminologi Agama; antara Obyektifitas dan Subyektifitas
Mukti Ali berpendapat bahwa agama selalu diterima dan dialami secara subyektif, oleh karenanya orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalaman dan penghayatannya pada agama yang dianutnya. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat (Rahmat, 2004).
Lain halnya dengan Harun Nasution yang menerjemahkan agama sebagai bentuk pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang bisa dipatuhi, pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia, dan suatu bentuk ikatan diri yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia (Jalaluddin, 2009). Agama sebagai unsur, bagian dari hidup dan kehidupan manusia yang sudah seharusnya dijadikan pedoman dan arah hidup manusia itu sendiri.
Kata agama berasal dari bahasa Sanksekerta yang mempunyai beberapa arti. Kelompok pertama mengatakan bahwa agama berasal dari a (tidak) dan gam (kacau), agama berarti tidak kacau. Pandangan kedua mengatakan bahwa a (tidak) dan gam (pergi), agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Yang lainnya mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, hal ini dikarenakan agama biasanya memiliki kitab suci. Jalaluddin (2009) menyebutkan bahwa pengertian agama berdasar asal kata ad-din (relegare, religare) dan agama. Al-din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan, kebiasaan (Jalaluddin, 2009).
Giddens (2005) mengatakan bahwa agama merupakan media pengorganisasian bagi kepercayaan yang tidak hanya sekadar satu arah, bukan hanya iman dan kekuatan religius yang menyediakan dukungan yang secara takdir dapat dijadikan sandaran, demikian juga para fungsionaris keagamaan. Yang terpenting adalah kepercayaan biasanya menginjeksikan reliabilitas ke dalam pengalaman pelbagai peristiwa dan situasi dan dari suatu kerangka. Agama yang disinonimkan dengan religion berasal dari bahasa Latin religio, berarti tie-up dalam bahasa Inggris, religion dapat diartikan having engaged God atau the sacred power.
Di antara penulis Romawi Cicero yang berpendapat bahwa religion berasal dari kata legare yang berarti mengambil (menjemput), mengumpulkan, menghitung atau memperhatikan sebagaimana contoh memperhatikan tanda-tanda suatu hubungan dengan ketuhanan atau membaca alamat (Bouquet, 1973).
Bertolak dari konsep literer itu, Emile Durkheim dari Perancis memberikan definisi agama sebagai berikut: Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites (faith and practices) related to sacred things, unites adherents in single community known as achurch (Rasyidi, 1974).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada empat komponen agama, yaitu: 1) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius, 2) sistem kepercayan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat- sifat Tuhan, serta wujud dari alam ghaib (supranatural), 3) sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewi atau makhluk halus yang mendiami alam ghaib, dan 4) kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dan yang melakukan sistem upacara-upacara.
Baca juga: Agama dan Simbol Keagamaan Perspektif Al-Qur’an |
Secara umum di Indonesia agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang disalingtukarkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi. Penegasan yang ingin ditekankan pada pemahaman keagamaan di sini adalah bahwa konsekuensi pemahaman keagamaan yang kaku, tidak bersifat scientific justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negatif terhadap peran penting agama dalam relasi kemanusiaan. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity dan gender bias, excessive self-blaming, fatalistik dan status quo serta dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian di dunia.
Agama dalam proses perjalanan pemahaman dan penghayatan pemeluknya bisa jadi menimbulkan perubahan yang positif bagi lingkungannya dengan wacana-wacana konstruktif akan tetapi perlu diingat agama dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya juga bisa menimbulkan konflik, perdebatan panjang yang cenderung eksklusif, anarkis dan destruktif, maka diperlukan sebuah pemahaman dan penghayatan yang objektif dari agama itu sendiri.
Agama dari sudut pandang normatif senantiasa mengajarkan harmoni, kasih-sayang dan kerukunan antara sesama umat beragama, secara internal maupun eksternal. Secara internal terwujud dalam kerukunan dan toleransi di antara sesama pemeluknya dan secara eksternal adanya hubungan yang harmonis di antara pemeluk-pemeluk agama lain.
Malinowski seperti yang dikutip Steenbrink (1988) mengatakan bahwa agama adalah sebagai “wishfull-thinking” walaupun keyakinan kebenaran agama dianggap nihil, namun masih bersifat positif yang mampu menolong rasa frustasi dan masih berpotensi dalam mewujudkan persatuan sosial. Dan peran pendidikan yang egaliter, inklusif dalam menumbuh-kembangkan kepribadian yang berpikiran positif, obyektif dan humanis dalam pengajarannya, maka bukan hal yang mustahil apabila perbedaan- perbedaan yang terjadi di masyarakat dapat disikapi dengan arif dan bijaksana.
Berbicara tentang bagaimana cara beragama, psikolog Gordon W. Allport mengulas tentang apa yang dimaksud beragama, ia menguraikan ada 2 macam beragama (cara manusia beragama, memeluk agama), yaitu cara beragama secara ekstrinsik dan cara beragama secara intrinsik.
Beragama secara ekstrinsik adalah cara beragama yang memandang agama hanya sebagai sesuatu yang dimanfaatkan, direkayasa dan dimalipulasi, bukan untuk kemaslahatan kehidupan, something to use but not to live. Orang beragama dengan cara ini berpaling dari Tuhan, tetapi juga tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama dipeluk hanya sebagai alat untuk menunjang motif-motif lain dalam kehidupan seperti; kebutuhan akan status, rasa aman dan harga diri. Ia akan senantiasa mengerjakan amalan-amalan ibadah agamanya tetapi dengan maksud dan tujuan lain.
Dalam analisanya Allport mengatakan bahwa cara beragama secara ekstrinsik tidak akan melahirkan pribadi-pribadi yang penuh kasih sayang, kehidupan yang harmonis tetapi hanya akan melahirkan pribadi yang ekslusif, penuh dengan kebencian, iri hati dan anarkis.
Selanjutnya Allport menyimpulkan bahwa –hanya dengan- cara beragama intrinsik yang mampu menciptakan dan mengkondisikan kedamaian, ketenangan pada jiwa manusia. Hal ini dikarenakan beragama secara intrinsik ini memandang agama sebagai comprehensive commitment, dan driving integrative motive, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Agama diyakini sebagai faktor pemandu (unifying factor). Agama bagi pemeluk cara beragama secara intrinsik merupakan totalitas penyerahan hamba kepada Tuhannya, dalam setiap aspek kehidupannya (Rahmat, 2004). []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikanreaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkannaskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id.Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info danartikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage FacebookArtikula.id di sini!
0 Comments