Tak diragukan lagi bahwa saat ini kita sangat akrab dengan media sosial. Tidak memandang usia, dari anak-anak, remaja hingga dewasa dapat dikatakan tidak terlepas dari media sosial.
Dalam sebuah survei menunjukkan bahwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia. Untuk sekadar menuangkan ekspresi, media sosial menawarkan fitur lengkap mulai kolom menulis caption, upload foto, video hingga siaran langsung. Melalui media sosial pula kita dapat saling bertukar pesan hingga saling bertatapan muka.
Lebih dari itu, media sosial juga merupakan media pertukaran informasi. Kita akan mengetahui segala hal yang terjadi di mana pun hanya dalam hitungan detik melalui media sosial.
Ditambah kondisi saat ini, media sosial menjadi medium yang sangat strategis untuk mengurangi interaksi secara langsung (bertatap muka). Oleh karena itu, nampaknya media sosial memiliki pengaruh besar terhadap produksi-konsumsi informasi.
Dari media sosial, kita bahkan bisa mengikuti informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Pun bagaimana beberapa RUU penting tak kunjung disahkan, malah pemerintah grasa-grusu mengesahkan RUU problematis. Semuanya dapat dilihat di media sosial.
Baca juga: Negeri itu Bernama “Media Sosial” |
Meskipun demikian, realitas di media sosial juga tidak luput dari proses-proses framing (penggambaran suatu kejadian dengan sudut pandang tertentu), sehingga media sosial menampilkan beragam opini, tergantung bagaimana penggunanya memandang informasi tersebut.
Hal ini tentu tidak salah, mengingat kebebasan berpendapat adalah salah satu hak warga negara. Namun, perlu diingat bahwa asas kebebasan berpendapat ini menjadi bumerang tersendiri apabila tidak dibekali dengan nalar kritis, sikap bertanggung jawab, tidak bermental ikut-ikutan dan bijak dalam bersikap.
Bekal diri di atas sangat penting untuk menghindari intimidasi dan diskriminasi di media sosial. Misalnya, jika terjadi perbedaan pendapat tidak lantas saling menjatuhkan satu sama lain, melainkan saling terbuka untuk berdialog dengan perspektif masing-masing.
Empat bekal itu pun sangat berguna untuk menangkal hoaks yang bertebaran di media sosial, karena sebagai bagian dari perkembangan teknologi yang menjadikan efisiensi waktu sebagai salah satu prinsipnya, tanpa disadari mengakibatkan sulitnya memfiltrasi informasi karena saling tumpang-tindih satu sama yang lain.
Bahkan terkadang banyak pula yang tidak menyadari bahwa informasi dalam media sosial tidak melewati proses semacam penyuntingan atau editorial. Padahal, kevalidan dan kelayakan informasi yang dikonsumsi publik seharusnya masih dipertanyakan. Implikasinya banyak informasi yang salah (hoaks) sering kali dianggap benar. Itulah yang sedang terjadi akhir-akhir ini.
Baca juga: Darurat Hoaks dan Pentingnya Berpikir Kritis |
Fenomena hoaks bukanlah hal sepele, ketika ia menimbulkan kegaduhan dan potensi perpecahan. Hal ini juga disebabkan terjadinya misinformasi yang bisa merugikan pihak-pihak tertentu.
Dikutip dari tirto.id, sebuah survey yang dilakukan AS menunjukkan persentase penyebar hoaks terbesar yaitu dari usia >65 tahun dengan angka 11%. Adapun penyebabnya adalah usia >65 tahun terlambat mengenal internet, literasi digital rendah, kemampuan kognitif menurun, menyamakan informasi digital dengan informasi cetak yang menempuh proses redaksional dan lain-lain.
Penyebab-penyebab inilah yang mengakibatkan kalangan usia >65 tahun tidak memiliki bekal penting bermedia sosial (nalar kritis, bertanggung jawab, tidak bermental ikut-ikutan dan bijak dalam bersikap).
Survei ini meskipun pada satu sisi cukup memprihatinkan, tapi di sisi lain cukup melegakan karena persentasi penyebar hoaks terbesar bukanlah dari generasi muda. Dengan begitu, setidaknya kita memiliki harapan bahwa generasi muda mampu mengimbangi persebaran informasi hoaks dengan wacana yang terbuka dan menyegarkan.
Ini akan menjadi tantangan bagi generasi muda, ketika ia disebut-sebut sebagai “agent of change” untuk meningkatkan produktivitas dalam berliterasi media dan menyiapkan empat bekal penting bermedia sosial agar dapat menangkal fenomena hoaks tersebut.
Meskipun tidak mudah, kita (terkhusus generasi muda) harus benar-benar ikut andil menjadi pengguna media sosial yang bijak dan mengatasi hoaks dengan mengambil tindakan yang tepat.
Adapun salah satu langkah penting dalam bermedia sosial adalah untuk mengatasi hoaks antara lain harus rajin membaca beragam sumber bacaan agar menumbuhkan nalar kritis dan universal. Nalar kritis ini akan memudahkan kita untuk mencerna framing informasi yang kita temukan di media sosial.
Baca juga: Menjadikan Media Sosial Sarana Melaksanakan ‘Sunnah’ Nabi |
Selanjutnya, langkah bijak memerangi hoaks secara sederhana adalah tidak mempercayai dan menyebar sebuah informasi tanpa mengklarifikasi kebenarannya terlebih dahulu, apalagi konten-konten yang bersifat provokatif dan berpotensi menimbulkan perpecahan.
Kita baru saja merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-75. Dengan semangat kemerdekaan tersebut, selayaknya kita juga menjadi lebih bersemangat memperhatikan kembali media sosial kita.
Euforia kemerdekaan ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk kita melakukan introspeksi diri dalam bermedia sosial. masihkan kita melakukan ujaran kebencian? Jika kita pernah berujar kebencian, menyebar hoaks dan berbagai tindakan tidak bijak lainnya sebaiknya tidak mengulanginya.
Bulan kemerdekaan tidak hanya sebatas selebrasi kemenangan, melainkan sebagai pengingat untuk melangkah ke depan. Peran kita sebagai warga negara yang ditunggu-tunggu kontribusinya ini sangat menentukan arah langkah bangsa.
Peduli dengan isu hoaks hari ini berarti menuntut kita untuk jujur, menghentikannya dan mengampanyekan bahaya hoaks, peduli dengan isu kemanusiaan menuntut kita menjadi aktivis sosial, peduli dengan isu pendidikan menuntut kita giat berliterasi dan begitulah seterusnya.
Pada akhirnya, jika selama ini kita selalu dibuat resah oleh menjamurnya hoaks dan antek-anteknya, maka momentum peringatan kemerdekaan ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk bergerak.
Jika tidak kita, siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika dulu para pahlawan bangsa ini berhasil mengusir para penjajah menggunakan bambu runcing dengan modal semangat yang tinggi, maka dengan semangat yang sama pula kita bisa melakukan aksi positif dengan jemari kita agar hoks dan kompeninya tidak menjajah media sosial kita. Mari beraksi positif dimulai dengan jari!
Editor: Andika S
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
2 Comments