Tidak banyak yang mengartikan seni lebih luas dari sekedar keindahan estetik. Beberapa bahkan ada yang menganggap seni tidak penting, tidak berguna, atau bahkan seni adalah bid’ah. Dzunnun Al-Mishry (w. 856 M) adalah sedikit di antara tokoh Muslim yang menganggap bahwa seni adalah bagian dari khazanah peradaban dan nilai yang secara tak terduga telah dimiliki Islam secara natural. Menurutnya seni adalah shouthu haqqin zuj’ijul quluba ilal khair “seni adalah suara kebenaran yang menggerakkan hati pada kebaikan”.
Seni adalah ritme dari kumpulan-kumpulan re-mi-fa-si-la-do atau mungkin fa-sol yang membentuk suara maqam-maqam bayathi, rast, hijaz, syaukah, atau bahkan maqam
rast alan nawa yang berkembang sebagai disiplin etnomusicology. Kesalahan menempatkan re-mi-fa-si-la-do tidak pada tempatnya akan berdampak pada rusaknya nilai estetika dari bentuk output seni itu baik berupa lagu, sajak puisi, maupun hymne.
Keteraturan seni tidak hanya keluar dari instrument-instrumen musik, namun juga suara yang keluar dari tenggorokan. Rebana, gitar, biola, dan lain sebagainya adalah sama dengan lidah dan pita suara yang ada di rongga tenggorokan yang berfungsi menghasilkan suara-suara keindahan yang dapat diukur berdasarkan re-mi-fa-si-la-do atau juga fa-sol. Jika rebana, gitar, biola, dan instrument lainnya haram, lantas apakah itu artinya suara kita juga haram?. Tradisi membaca Al-Qur’an dengan ilmu maqamat yang memiliki tingkatan nada tertentu juga menggunakan formulasi re-mi-fa-si-la-do.
Lalu bagaimana kerangka Dzunnun Al-Mishry ini digunakan untuk memahami kondisi Indonesia?.
Indonesia selain memiliki Sumberdaya Alam yang berlimpah juga memiliki Sumberdaya Manusia yang potensial. Di antara mereka merupakan ahli sosial, ekonomi, hukum, politik, goelogi, dan lain sebagainya. mereka membawa nadanya masing-masing entah itu sol, entah itu fa, entah itu re. ketidaktepatan dalam meramu nada itu akan membuat irama yang sedang bermain di Indonesia ini menjadi sumbang. Saat dimana bidang hukum malah diisi oleh orang-orang politikus. Saat dimana bidang perekonomian malah diisi oleh orang-orang hukum, atau saat dimana bidang agama malah diisi oleh orang-orang industri. Tumpang tindih atau yang sering diistilahkan dengan wrong man in the wrong place ini membuat Indonesia penuh dengan nyanyian-nyanyian sumbang.
Dzunnun Al-Mishri (w. 856 M) yang lahir di pesisir Timur Sungai Nil yang hidup abad ke tiga Hijriyah memberi pelajaran mengenai seni dan korelasinya terhadap perbaikan kepribadian secara kolektif dan individu. “Nun” berasal dari nama ikan yang banyak hidup di sungai Nil. “Nun” juga merupakan awal dari surah Al-Qalam (68) di mana huruf itu berbentuk tempat tinta yang darinya pena bisa berwarna. “Nun” juga merupakan nama ulama yang setara dengan kiai, ajengan, tuan guru, buya, gus dan lain sebagainya.
Filosofi “Nun”, dapat direpresentasikan untuk mengingatkan manusia selalu berusaha memberikan banyak hal dan tidak kemudian selalu berharap menjadi yang terdepan. Ia tetap berperan penting meski berada di balik layar. Seperti wadah tinta yang selalu siap untuk memberi, tidak selalu harus menjadi pena yang menulis karena jika ia tidak hati-hati bisa salah melangkah.
One Comment