Resep Cinta
Tuhan yang Agung,
Ampuni hamba-Mu
Yang tersesat pada resep masakkan tadi pagi
Kutemukan lesung pipinya
Pada setiap gelembung air
Yang mendidih oleh nyanyian rindu getar-getir tubuhku
Kumelihat lekung bibirnya
Pada bawang merah
Yang kupotong dengan senda dan senduku
Di atas cobek,
Kutaruh tomat separuh, cabai sepuluh
Sedikit petis tanpa terasi
Ditambah garam secukupnya
Kuhaluskan semuanya hingga tinggal kenangan
Dan di dapur senyap nan pengap ini
Bunyi-bunyi mulai sembunyi
Segalanya sunyi
Hanya terdengar suara air yang mendidih oleh kepalsuan
Diiringi sayur-sayur kasih sayang
Tiba-tiba terbesit di kepala
“Ini masak apa?”
Maaf Tuhan, hamba tersesat pada resep masakan cinta
Baca Juga: Puisi Cinta |
Si Nelayan Malang
“Bapak, makan apa kita hari ini?”
“Ombak sedang galak-galaknya, Nak. Angin sedang tidak bersahabat”
Aku diam.
Jaring-jaring ikan ikut diam
Seperti ombak, seperti angin, seperti ikan
Bapak tak diam, ia terus bicara
“Besok ada bantuan dari negara,” kata Bapak
“Besok negara butuh bantuan,” kataku
“Selama negara memberi bantuan, PSBB berjilid-jilid pun Bapak siap” sambungnya.
“Itu Bapak, bagaimana denganku? yang harus menanggung berjilid-jilid rindu”
Kali ini Bapak diam, ia tahu ini rumit.
Masih Seperti Biasanya
Wanita itu
Masih seperti biasanya
Bedak tipis di wajah, lumrah seperti biasa
Namun satu hal yang janggal
Aku cemburu pada lipstik yang menempel di bibirnya.
Wanita itu
Masih seperti biasanya
Berkerudung anggun di setiap waktu
Senyum manis mengguyur taman rindu
Kilau mata menyinari bunga cinta
Tetap bertengger di lukisan indah yang bernama wajah
Wanita itu
Masih seperti biasanya
Harum menyerebak di sekujur tubuh
Pesona yang tak ada alasan untuk tidak terpana
Dan wanita itu, benar-benar masih seperti biasanya
Lalu aku,
Adalah skenario Tuhan
Yang dipaksa tanpa terpaksa
Oleh rasa yang hadir tak terencana
Kepada dia; wanita yang masih seperti biasanya.
Hai wanita seperti biasanya
Andai kau tahu
Jika boleh dan bisa, ingin kuhapus tiga kata di dunia ini:
Jarak, waktu, dan rindu
Baca Juga: Diri dan Sang Nabi |
Jangan Sentuh
Aku punya duniaku
Jangan kau sentuh
Secuil bayang tidakkah cukup untuk kau raba
Bukti bahwa aku benar ada
Aku punya duniaku
Jangan kau sentuh
Atau kau ingin menderita
Dalam gelap cerita
Lalu mati sebelum menyesali
Aku punya duniaku
Jangan kau sentuh!
Secangkir Rindu
Secangkir kopiku pagi ini, kasih.
Kuminum tiga tegukan
Tegukan pertama, kutemui wajahmu merona
Tegukan kedua, kulihat senyummu merekah
Tegukan ketiga, kau menjelma cinta
Dan pada tegukan terakhir itu,
Aku terkapar tak sadar
Sedetik setelah kuingat wajahmu
Meronta memanggil rindu
Tikungan Asmara
Di persimpangan jalan itu aku lewat,
Jika bukan karna ada yang jatuh
Aku tak sudi menoleh,
Menatap,
Bahkan menetap
Sekedar mengambil
Lalu pamit terkeok-keok untuk belok
Pada tikungan yang aku namakan asmara. [AR]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang puisi di atas? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga membaca kumpulan puisi menarik lainnyadi sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!
2 Comments