Kenapa Orang Lebih Percaya Diri Punya Pacar Tatakala Menjadi Mahasiswa?

Bagaimana mungkin coba? Kita akan memalingkan cinta dari nafas-nafas kehidupan. Sementara kita semua senantiasa hidup karena nafas panjang curahan cinta-Nya. 7 min


Kenapa Orang Lebih Percaya Diri Punya Pacar Tatakala Menjadi Mahasiswa?
Gambar diambil dari rancauwan.blogspot.com

Pasca kelulusan kuliah ada banyak teman saya yang memutuskan untuk menempuh hidup berkeluarga. Satu-persatu di antara mereka, ternyata diam-diam telah merencanakan cita-cita kehidupan versi mode personal yang disebut dengan “kebahagiaan”.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi mengapa mereka begitu kekeh melanjutkan hidup dengan mode personal. Baik itu atas dasar melekatnya hasrat bawaan (red; given) yang bersifat internal maupun eksternal.

Sugesti dan kehendak untuk meningkatkan kualitas hidup sekaligus memperbaiki keturunan, adalah salah satu faktor internalnya. Tentu ini bukan menyoal tradisi perjodohan ataupun temaram belenggu pendiktean hidup yang menjadi hukum kenapa seorang anak harus menikah dan membina keluarga.

Melainkan atas lambar kesepakatan dua belah pihak yang kemudian menjelma sebagai komitmen akut untuk menjalin suatu hubungan. Sebutkan saja hal itu dengan pacaran. Ya, relasi interpersonal yang kemudian melenggang ke arah hubungan yang lebih serius dan intim.

(Apakah pacaran itu suatu permainan yang bisa membuat kita bahagia terus-menerus? Mau dong kalau begitu. Si aku yang sedang pura-pura lupa, persis seperti lagunya Mahen).

Oiii, kalau demikian, kemungkinan besar selama ini mereka (red; yang berpacaran) menapaki hingar-bingar kehidupan dengan bergandengan tangan??? Hemmm.. bisa jadi. May be yes, may be no. “Bisa jadi iya, bisa jadi enggak”.

Termasuk di dalamnya menumpahkan keluh-kesah, gejolak nafsu di dada dan ekspresi kehidupan satu sama lain. Dalam kekalutan urusan ini, setidaknya ada  si do’i yang disanjung. Ada pundak siaga untuk bersandar.

Lah dalah, sampai di sini kok saya malah teringat tentang bagaimana realita kehidupan kampus di masa remaja menuju masa dewasa awal. Ups, kok malah nyerocos (bawel) keceplosan curhat masalah pribadi ya. Heuh, hapunten pisannya ka balarea! salembur akur, sabaraya sadulur. “Mohon dimaklumi saja ya! Bagaimanapun kita sama-sama berpijak di bumi yang sama, berarti kita keluarga”.

Tidak ketinggalan, tatkala bejibun tugas kuliah menyapa, sudah barang tentu dong dia curhat sama si do’i. “Sebentar ya, mau ngerjain tugas kuliah dulu, ya beb”, demikian mungkin gambaran pungkas chatting-nya.

Ah, Syukur-syukur kalau si do’i ternyata lebih peka dan bercita-cita untuk turut berpartisipasi aktif mengerjakan tugasnya. Belum lagi nanti kalau butuh apa-apa diturutin. Dan kalau jalan ini-itu dibeliin, ditraktir.

Wah, top markotop pokoknya.

Calon imam seperti itu tuh yang diidam-idamkan. Eh, masa iya si??? May be. Bagi yang lebih paham dan sudah berpengalaman bolehlah panjang kali lebar ngasih usulan, kritik dan saran.

Asalkan jangan keterlaluan, hingga sampai hati memberi bocoran kisi-kisi pacaran baik dan benar. Loh kok  makin akut saja kambuh status kejombloannya. Igfirlanaa “maafkan kami”.

Eits, kita skip dulu cerita tentang si virus “merah jambu”.

Mari beranjak pada topik yang lebih penting lagi. Sebenarnya, saya melihat ada banyak alasan kenapa orang-orang lebih merasa percaya diri tatkala mereka memiliki calon pasangan hidup, (red; pacaran).

Utamanya tatkala seorang anak menginjak remaja hingga dewasa, lebih tepatnya tatkala menjadi pelajar SMA ataupun mahasiswa/i di salah satu kampus. Enggak percaya ya???

Oke kita mulai dari yang sederhana dulu. Kenapa si tatakala seorang pelajar pergi ke sekolah harus dandan berjam-jam. Pakai parfumnya sebotol?. Kalau ia seorang mahasiswi kenapa si harus memakai pakaian serba trendy??? “mode banjir pun aktif” dan “bahkan bajunya yang sudah sempit masih saja dipakai” (red; fashionable tapi kekurangan bahan).

Pun pakai gincu (red; lipstik) yang merona, make up yang ternama dan parfum yang harganya selangit hanya untuk masuk kampus?. Sudah barang tentu tanpa ikut kelas kecantikan yang diselenggarakan oleh salah satu organisasi yang ada di kampus pun, secara pasti sudah buka tutorial di YouTube sendiri. Enggak percaya kan? Coba tanyakan saja sendiri.

Nah, sementara kalau mahasiswa, kenapa kalau berangkat ke kampus rambutnya harus kelimis??? baju dan celananya harus necis dan bermerk, jam tangan dan sepatunya branded serta yang terpenting tunggangannya, ya harus nampak ‘cowok bangetlah’. Alamaaak macam mana pula kali aku ini, kok malah buka-bukaan aib, eh.

Dalam pandangan dan penilaian yang sepintas; setiap orang seakan-akan sedang berlomba-lomba menjadi ambasador brand tertentu. Bahkan akan sangat kentara lebih spesifik lagi tatkala kita membicarakan masalah gawai dan laptop yang mereka koleksi.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa bagi sebagian orang, memang penampilan dan polesan luar itu nomor satu, soal “isian mudah dikondisikan”, (red; fleksibelitas). Nanti kalau punya pacar pintar kan bisa diandalkan.

Ah, ngapain ngoceh sana-sini sampai mulut berbusa-busa membual di kerumunan orang, (red;diskusi). Ngapain pula macak sok penting wira-wira ikut organisasi yang tidak menghasilkan uang. Apa iya ikut organisasi bisa bikin cepat kaya???

Ah, ini loh mendingan berpikir simpel seperti saya. Mahasiswa/i itu yang penting berangkat, macak apik ben ditaksir , dandan cantik biar ditaksir”. “Kan enak kalau punya pacar keman-mana ada yang nemenin”, gerutu dalam hati.

Kalau jam kuliah kosong, mendingan pulang ke kos langsung tidur. Atau kalau enggak, menyibukkan diri dengan pekerjaan, setidaknya akan memberi keasyikan tersendiri. Toh hasilnya nanti pas malam minggu bisa kencan sama si do’i.

Terus kalau sudah lulus langsung nikah. Gitu aja kok repot. Enggak usaha khawatir, takut dan kelabakan kalau ditanya kapan nikah sama orang-orang. Apalagi tatkala lebaran tiba, alamat jadi bahan cibiran. Iya gak?

Terlebih lagi, kalau lingkungan hidupnya termasuk wilayah kekuasaan golongan pragmatis. Semua gerak-geriknya harus sesuai kelaziman khalayak yang terjadi di sana. Sebutkan saja mereka sebagai eventful man (manusia peristiwa) yang digadang-gadang oleh Sidney Hook. Seorang filsuf Pragmatisme– Amerika, yang bernasabiah (red; ikatan hubungan muasal) langsung dengan  John Dewey.

Dalam Mahakarya-nya, “The Hero in History“, (cetakan pertama, 1943), Hook menegaskan; tatkala manusia dihadapkan dengan kontinuitas kehidupan, sejatinya manusia akan berhubungan erat dengan carut-marut ruang lingkup sejarah. Dalam konteks hal ini, ada dua jenis manusia, yaitu evenful man (manusia peristiwa) dan event-making man (manusia pencipta peristiwa).

Manusia peristiwa ini merupakan sosok yang sangat kental dengan kelaziman manusia pada umumnya. Mereka larut dalam setiap peristiwa yang disodorkan dunia apa adanya.

Mereka bekerja dalam upaya menyukupi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya.

Mereka mengerjakan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya sesuai dengan kapasitas kemampuan masing-masing. Tidak ada upaya nyungsang balik bawana (red; berganti haluan; istilah orang Jawa menyebutkan).

Mereka pemilik kasab yang sama rata seperti pada umumnya, biasa saja. Berperan ganda sebagai operator sejarah sekaligus sang eksekutor rancangan sejarah yang dicetuskan oleh event-making man.

Sementara jenis manusia pencipta peristiwa (event-making man), adalah orang-orang yang menciptakan sejarah. Golongan mereka  dipandang sebagai pahlawan. Orang-orang yang dianugerahi kemampuan lebih dalam melakukan kasab terhadap segenap urusan serta memiliki derajat yang lebih dari umumnya, tinggi.

Pemilik derajat kemampuan dan kebebasan yang luar biasa, sehingga mampu mengendalikan setiap kejadian dan peristiwa. Dalam hal ini, semua tindakannya tidak dikuasai peristiwa. Justru ia memiliki kemampuan membelokan kemana muara sejarah itu berjalan seharusnya. Bending the course of History, menciptakan sejarah dengan warna yang baru.

Dalam menyikapi teori Hook, Ulil Abshar Abdalla berpandangan bahwa pengkategorian itu dapat disamakan dengan istilah Kasab yang berlaku dalam akidah As’ariyyah. Suatu teori yang lazimnya dianut oleh golongan Sunni.

Istilah yang diciptakan untuk menggambarkan segala kemampuan yang terbenam dalam benak manusia, begitu teolog As’ariyyah menegaskan. Istilah kasab ini kemudian disepadankan oleh Ulil Abshar dengan makna istilah agency.

Meski demikian, baginya dalam setiap peristiwa kehidupan tidak ada sekat yang bias di antara keduanya. Sebab, bagaimanapun peran eventful man dan event-making man adalah penjelmaan hukum alam (sunnatulallah) yang saling melengkapi dan berkebutuhan dalam proses panjang keberlangsungan hidup.

Dalam hal ini, saya setuju dengan pandangan beliau. Bukankah Tuhan menciptakan perbedaan di atas muka bumi untuk menampilkan keindahan? Bukankah Tuhan menyisipkan pengetahuan akan kekuasaan-Nya melalui perbedaan?

Bukankah Tuhan menyeru manusia untuk merenungkan apa-apa yang ada di muka bumi sebagai pembelajaran? Keagungan samudera pengetahuan-Nya akan tersingkap bagi mereka yang mau berpikir.

Representasi dua jenis pengkategorian Hook tersebut dapat dianalogikan pada para penikmat kopi pahit kehidupan ala kadarnya yang suka survive (red; anak rantau). Bagi anak rantau tatanan modelitas sesaat itu enggak penting sama sekali. Sebab bagaimanapun urusan luar mudah diatur tatakala sudah saatnya tiba.

Justru yang menjadi tugas kita hanya sepantasnya saja mematutkan diri. Layaknya sebagai pencari ilmu yang berusaha mengagungkan ilmu melalui kehormatan penampilan lahir-batinnya. Berpakaian bersih, suci dan serapi mungkin sudah cukup.

Menenggelamkan diri dalam samudera ilmu dengan sungguh-sungguh itu yang terpenting; gemar berdiskusi dengan sesama teman yang lain, mengkaji ilmu, banyak membaca dan aktif bergerak di organisasi yang diminati itu penting.

Dalam konteks ini mereka yang suka survive akan hidup dapat dikatakan sebagai penganut madzhab event-making man. Berusaha keras meng-upgrade (memperbaharui) keadaan diri. Kasabnya adalah upaya menembus titik maksimum kemampuan diri.

Tolong dicatat ya. Ah, meski demikian, sejauh ini saya merasa hanya sedang menyambung lidah guna menukil kembali paparan isi kitab Ta’alim Muta’alim  karya Syaikh Ibrahim Bin Ismaill bagian pembahasan abadul muta’alim, “adab pencari ilmu”.

Toh, tatkala telah lulus nanti apa Anda yakin akan langsung mendapat pekerjaan di kantoran?. Duduk manis dengan mengenakan dasi sembari tertawa lepas terbahak-bahak, menyilangkan kaki sekemauan.

Mungkin iya kalau Anda anak penjabat, pandai menunggang jejaring kemenakan atau memang Anda punya sanak famili yang dapat diandalkan. Dapat disebut wujud kolusi, mungkin.

Hello…??? Mungkin iya Anda lulusan dari kampus terakreditasi A sekaligus memiliki transkrip nilai selama menapaki kuliah bagus-bagus, A+ tanpa cacat adanya nilai B-. That’s great.

Tapi apa iya itu bisa menjadi modal yang cukup untuk menjamin kehidupan Anda menjadi lebih baik? Apalagi tanpa dibekali modal soft skill apapun sama sekali. Tanpa memiliki relasi-jejaring yang baik dan luas di antara sesama yang lain. Serta tanpa berbekal pengalaman yang berkesan di lapangan.

Lah, kalau begitu enak dong ya yang sudah punya calon pasangan hidup. Terlebih lagi kalau ternyata si do’i-nya berasal dari keluarga “yang berada” (red; mapan). Lulus kuliah langsung dipaksa nikah, terus dikasih pekerjaan sama mertuanya. Eh, kebablasan kalau halusinasi. Maafkan saya yang terlanjur halu.

Itu kasus untuk mereka ya bernasib mujur bin bejo (beruntung) lo ya. Bukan secara keseluruhan dan keumumannya yang berlaku. Ah, apa daya, bagi Anda yang sudah panggil Ayah-Bunda, Papa-Mama, Abi-Umi, dilalah ditinggal rabi ambi wong liyo, “nikah sama orang lain”. Ambiyar tenan uripe, “kacau balau sungguh kehidupannya”.

Sudah jangan galau, mari kita berjalan berdampingan. Kini selayaknya kita bersama-sama menerapkan pola hidup survive dan berani menentukan agenda-agenda penting untuk move on, move, move, move and change your life as agency. Make a way yourself to be event-making man. “Dalam kehidupan ini harus terus bergerak, ubahlah alur hidupmu dengan pengendalian. Jalan kehidupanmu dalam genggaman tangan”.

(Eh, antum-antum yang ahli bahasa Inggris tolong ya itu kalimat sitiran di atas diedit, kalau perlu luruskan ke arah kiblat).

Nah, dari gambaran di atas, mungkin kita sendiri sudah bisa menerka-nerka dan mendapat sinyalmen terkait lambar alasan kenapa orang lebih percaya diri punya pacar tatakala menjadi mahasiswa/i, bukan? Selanjutnya keputusan hendak menjadi apa dan mengambil pilihan mana berada di tangan Anda.

Ups, maaf saya tidak bermaksud untuk menilai dan membanding-bandingkan secara bias satu sama lain. Utamanya tidak hendak menghakimi kehidupan orang lain. Ini hanya sebatas kejahilan jemari mempersunting gubahan ide yang sempat terlintas di benak saya semata.

Adapun apabila ada kesamaan alur kisah dengan pengalaman hidup Anda, itu hanya kebetulan saja. Nah, inilah contoh kalimat penutup yang biasanya digunakan dalam sinetron-sinetron ataupun dalam FTV. Heuheuhu.

Ah, berceloteh tentang cinta itu tidak akan ada habisnya. Bagaimana mungkin coba? Kita akan memalingkan cinta dari nafas-nafas kehidupan. Sementara kita semua senantiasa hidup karena nafas panjang curahan cinta-Nya.

Kalau kita meminjam istilahnya Michel Foucault, sebutkan saja memaknai cinta dalam realitas kehidupan itu diibaratkan Panopticon, “menara pengintai”.

Ah, sudahlah, mendingan saya membedah souvernir hasil kondangan dulu, barangkali saja itu bisa membuat hidup saya lebih happy. Ya, yang enak itu membedahnya sambil nyeruput kopi. Nah jadi ngiler kan?.

Kata-kata mutiara cinta: “Dulu waktu saya kecil lihat orang dewasa pacaran, tatkala saya dewasa lihat anak kecil pacaran”. [RR]

_ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bismengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Roni Ramlan, M.Ag
Tim Redaksi Artikula.id

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals