I. Kau Harus Kembali Ke Nausus
Matahari terjatuh dengan ubun-ubun terluka. Ketika kitab-kitab tua para leluhur mulai di baca. Kau berdiri melingkari altar. Mengikuti ritual sakral para tetua adat.
Mantra suci membubung ke langit, bagai asap dupa beraroma cendana. Leher seekor ayam putus tersambar pisau. Darah segar menetes membasuh altar, dan kau tiba-tiba menatapku penuh tanya: Apakah ini bertanda baik?
Di atas langit terdengar seseorang mulai menabuh gong. Bertanda para leluhur mulai menimbang dosa dan cinta. Seketika pucuk- pucuk ampupu menunduk. Udara diam sejenak. Hening.
Kau menatapku untuk kedua kali, ketika seorang tetua adat bersuara parau memecah keheningan.
Lewat hati seekor ayam, Ia membaca pesan yang dikirimkan oleh para leluhur:
Kau harus pergi untuk kembali
sebab di Nausus ada rindu
yang selalu kambuh.
Soe, Agustus 2021
II. Â Surat kecil untuk kawan-kawan di Sekolah Alam Manusak
Barangkali pandanganku kepada Manusak
adalah taman penuh tawa
anak-anak semesta
Juga cinta
yang melampaui sekat-sekat
identitas
Yang mengubah
rahim-rahim tandus desa Manusak
menjadi lukisan wajah perempuan
bermata oase.
Soe, September 2021
Baca juga:Â Menjemput Resah di Persimpangan Puisi |
III. Nausus
Di bukit ini, dalam bisikan angin yang gigil, ujilah aku. Habisi aku dengan sabetan amarahmu.
Lalu tingalkan aku sendiri. Biarkan aku mengobati luka dengan kabut-kabut serupa kapas.
Sebab aku gagal menjadi batu penjuru
seperti sabda pemuda Nazaret
yang tak hanya dibuang tukang-tukang bangunan
tapi juga ditolak dari tanah kelahiran.
Maka ditengah ladang alang-alang yang menyerupai rambutmu . Juga, di tepi danau yang tercipta dari matamu. Aku pasrah menjelma golgota bagi generasimu.
Soe, September 2021
IV. Â TKW
Maka pulanglah ia ke rahim tandus
dengan isi dada yang kosong melompong
bagai buah alpukat yang digaruk
menggunakan  sendok
Ia tak tahu apa-apa
hanya terhanyut rayuan
yang datang silih berganti
seperti  banjir yang meluber kemana-mana
Hingga kini
Ia bahkan tak sadar
bahwa matahari telah tertidur
Langit hitam. Angin mati
Dan seorang ibu sedang menantinya
dengan tangisan yang paling pilu.
Soe, September 2021
V. Mantra
Jutaan mantra
telah disabdakan leluhur
pada setiap dada yang bergemuruh
untuk para Tuan yang tuli
dan Tuhan yang membisu
Soe, September 2021
VI. Mata air
Aku masih terlelap membisu dalam selimut langit. Meski kau mencari aku pada kemarau. Padahal separuh diriku adalah air matamu. Yang setia membasuh pipimu yang jingga.
Tapi kau campakan diriku, rumahku, juga kenanganku.
Maka pada dada bocah-bocah busung
telah kutumpahkan seluruh deritaku.
Tak usah kau sesali. Cukup akui aku pada semesta dadamu. Maka aku akan kembali memelukmu. Seperti seorang ibu yang sedang menjemput anaknya.
Soe, September 2021
Baca juga:Â Assalamualaikum Rindu |
VII. Puncak
Kita berjalan menuju puncak
bukan ingin meniru para pendaki
atau sekedar mengambil gambar
Kita hanya ingin menghitung jarak
dari bibir menuju tempat paling rahasia
Dari puncak kita menatap ke segala arah
Menikmati seluruhnya:
Angin, awan, lembah, hutan, bukit batu, kabut, dan pelangi.
Dan kau bertanya: Inikah tempat para pujangga menimba inspirasi?
Angin membisu
Kita berdiri disini. Berdua saja
Dan kau menatapku sambil membaca doa, berharap ular tak bersabda kepada adam.
Dari puncak dan pusar hutan. Kita turun mengejar senja yang perlahan redup. Berharap ada celah sebelum malam
Agar kita bisa keluar dari selimut mimpi,
atau kita akan menjelma anak-anak
yang diam-diam membangun semesta kita. Sendiri.
Soe, Â September 2021
Honing, Alvianto. Bana
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang puisi di atas? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!Â
Anda juga membaca kumpulan puisi menarik lainnyadi sini!Â
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!
Comments 0