Tuyul
“Aku suka uang, biarpun satu nyawa hilang”, katanya
“Yang tak suka aku, kemiskinan menghantuimu”
Lalu ia pun berlari
Bersembunyi di balik sunyi
Supaya aman mencuci tangan
Dari operasi tangkap tangan
Gang Mawar
Dari segala jalan
Belok ke kiri, lalu ke kiri
Jika pun kau menemukan belok kanan
Pasti kau akan ke kiri lagi
Di sanalah ada rumah
Mengasuh banyak tuan rumah
Dari segala arah
Mantan
Dulu yang kerap merajuk mesra
Kini enggan menyapa
Semoga engkau bahagia dan baik-baik saja
Serupa Angin
untuk Alfi Arifatullaili
Setelah hari meninggalnya bapak, Manisku
Sunyi dan kesedihan kawin
Untuk merawat kehampaanmu
Di sela-sela waktu yang kosong tanpa senyumnya
Engkau bisa melihat senyum itu, yang manis berbalut kumis
Lewat mataku yang ikut meringis
Dengan begitu, senyum itu masih ada
Seiring menggigilnya duka yang kau biarkan
Pergi dan terluka
Baca juga: Puisi Untuk S |
Kesaksian Lampu Kota
Lampu-lampu kota
Memandangi jalan
Yang sedang aku lewati
Di tengah keramaian hatimu
Yang sudah gelap tertutup rapat
Oleh sepi
Seandainya
Jika dia adalah aku
Apa kau pun akan menyia-nyiakan
Kedua tangan ini
Mengusap tangis itu
Dengan sapu tanganmu?
Sebenarnya
Kita tak pernag benar-benar mencintai
Hanya saja takut melawan sepi sendiri
Dalam waktu yang lama
Lalu, haruskah aku menghapus sendumu
Untuk waktu yang lama itu?
Pantang Jatuh Sebelum Sakit Tumbuh
Adakah alasan yang kuat
Untukku bahagia
Ketika cinta itu jatuh
Jika nanti hanya sakit yang tumbuh
Tak Terbalas
Jika denyut nadiku
Tak berdebar, diam mati
Di lubuk rindu
Apakah engkau masih merasakan
Cinta yang tak terbalas itu?
Hilang
Sebelum hilang
Engkaulah do’a yang kuharapkan pulang
Sebelum benar-benar hilang
Dan tak kunjung datang
Sukar Sadar
Pamit yang paling rumit
Ialah pergi tanpa ada kata
Yang dapat dimengerti,
Tanpa ada sedetikpun
Waktu yang tau,
Tanpa ada sadar
Jika kau tak lagi di sisiku
Baca juga: Puisi Otodidaktis |
Jika Tak Ada
Jika tak ada sendu
Lantas bagaimana caraku
Menikmati hidup bersamamu
Jika tak ada sedih
Lantas bagaimana engkau tau
Jika aku mencintaimu tanpa pamrih
Rindu
/1/
Bahkan rindu yang kau sebut satu persatu
Menjadi danau tanpa tepi
Menenggelamkan luka, memohon lupa
Tanpa kita sadar jika rindu
Ialah genangan tanpa dasar
/2/
Di atas rindu yang sepi
Aku terus menjadi kobaran api
Dalam genangan air mata
Korek Api
Setelah sebatang rokok
Kau menghilang pada dekap
Celana temanku
Munir
mengenang 16 Alm. Munir
Engkau ikut tertelan, hilang
Dalam segelas jus jeruk
Yang turun ke kerongkongan
Kejadian itu disaksikan
Langit kelam
Menggembala awan-awan malang.[SW]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang puisi di atas? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments