“…Dan aku akan lebih tidak peduli,
Aku mau hidup seribu tahun lagi…”− Penggalan puisi “Aku” yang ditulis Chairil pada bulan Maret 1943.
Sejak mengenyam bangku sekolah dasar, nama Chairil Anwar tentu tak asing lagi di telinga para siswa. Mulai dari SD, SMP, bahkan SMA, Chairil Anwar terus didengungkan namanya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Puisi-puisinya seakan menolak untuk fana, dari zaman Bung Karno sampai Jokowi; tak lusuh berdebu di kemarau dan tak kuyup terhanyut di penghujan. Ya, begitulah nama Chairil Anwar: abadi.
Penyair yang memiliki julukan “Binatang Jalang” tersebut pertama kali mendeklarasikan tangisannya pada suatu hari yang terik, tepat pada 26 Juli 1922 di kota Medan, Sumatra Utara.
Chairil dilahirkan dari puncak percintaan Pak Toeloes bin Manan dengan Ibu Siti Saleha binti Datuk Paduko Tuan, yang masih memiliki pertalian saudara dengan seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia, yaitu Sutan Syahrir.
Semasa kecil, Ninik −nama kecil Chairil− memang terkenal telah memiliki kecerdasan serta keberanian yang lebih. Oleh sebab itu pula dia sering berkelahi dengan sesama temannya di HIS (Hollandsch Inlande School), sekolah dasar bagi pribumi berkantong tebal.
Karena ayahnya yang sebagai controlleur, pegawai tinggi di era pemerintahan Hindia Belanda, tak heran jika kesusahan tak terdapat dalam sejarah belia Chairil Anwar.
Kebahagiaan serta hidup berkecukupan yang dirasakan Chairil tak berlangsung lama. Memasuki usia belasan, rumahnya terasa seperti neraka.
Adu mulut ayah-ibunya tak terhindarkan hampir saban hari, dan setelah diketahui, ayah Chairil ternyata telah memiliki wanita lain selain ibunya. Akibatnya, saat usia Chairil menginjak 16 tahun, ayah-ibunya benar-benar berpisah.
Setelah ayah-ibunya berpisah, Chairil menuju Batavia (Jakarta) bersama ibunya dengan berbekal harapan untuk hidup lebih baik di sana. Beberapa bulan di Batavia, Chairil kembali melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat Sekolah Menengah pada kala itu, yang sempat terputus di Medan.
Lantas, bagaimana Chairil menyelam dalam dunia kepenyairan?
Batavia menjadi tempat berlabuh yang indah sekaligus menyimpan gundah bagi Chairil dan ibunya. Pada suatu pagi buta sepenggal nafas Chairil dan Ibunya seakan raib, setelah mendapat kabar bahwa nenek Chairil menghembuskan napas terakhirnya. Karena kesedihan mendalam, Chairil baru kali itu merenungkan secara masif tentang kematian, sehingga mendapatkan satu bait syair:
“Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu,
Dan duka Maha Tuan Bertahta”− Sajak Nisan, Chairil Anwar, 1942.
Sajak pendek yang terdengar anggun sekaligus bernada duka itu ditulisnya dalam rentang usia 20 tahun. Pada umur semuda itu, Chairil telah menciptakan bait syair yang berbau filosofis.
Baca juga: Memaknai Puisi Sama dengan Memaknai Kehidupan |
Tak dapat dienyahkan, memang. Sebab semasa Chairil masih di Medan dulu, dia sering melahap buku-buku milik ayahnya. Saat masih bersekolah di MULO Batavia−meski tak sampai selesai−Chairil gemar melahap karya-karya dari Rainer M. Rilke, W.H Auden, Hendrik Marsman, hingga Nietzsche. Dari sanalah keindahan diksi yang dibuat Chairil mulai terbentuk.
Chairil mencoba menawarkan Sajak Nisan tersebut dengan mendatangi kantor Balai Pustaka yang kala itu dipimpin oleh Armijn Pane dan redakturnya dikepalai oleh HB. Jassin. Tapi keberuntungan nampaknya belum berpihak pada Chairil.
Sajak Nisan tak berhasil menjadi pemasukan, yang berupa honor, untuk Chairil. Sebab Balai Pustaka diawasi begitu ketat oleh Sendenbu yang mengurusi kepentingan propaganda Jepang. Sajak Nisan milik Chairil dinilai terlalu individualistis dan cenderung kebarat-baratan.
Setelah menelan kekecewaan, Chairil akhirnya berkenalan dengan Sutan Takdir Alisyahbana, yang memiliki majalah pujangga baru. Berawal dari pertemuan itu, pertemanan Chairil terhadap para seniman semakin meluas. Sebut saja Affandi, Umar Ismail, Sudjojono, Amal Hamzah, Rivai Apin, dan Asrul Sani.
Meskipun memiliki pertemanan dengan para seniman yang memiliki nama beken pada masa itu, kehidupan Chairil masih saja susah. Setelah ibunya kembali ke Medan, kehidupan “Si Binatang Jalang” masih saja tidak jelas dan masih gemar berfoya-foya, seperti ke pelacuran, dan bermain wanita.
Padahal untuk makan dan menyukupi kebutuhannya, Chairil mengandalkan honor dari puisi-puisinya yang diterbitkan di majalah kala itu.
Baca juga: Menjemput Resah di Persimpangan Puisi |
Begitulah Chairil, Si Binatang Jalang yang terbuang. Hampir setiap hari Chairil mendatangi rumah kawan-kawannya, hanya sekadar numpang makan dan meminta rokok. Beruntung teman-temannya berbaik hati.
Tapi, kita perlu tahu, lho. Chairil pernah terlibat pertikaian sampai baku hantam dengan paus sastra Indonesia, HB. Jassin. Kok bisa? Ya, bisa. Apa sih, yang mustahil terjadi di dunia ini? Selama kita masih percaya Tuhan, selama itu pula kita mengimani takdir-Nya.
Jadi, Chairil Anwar sempat terlibat pertikaian sengit dengan HB. Jassin sebab terdapat salah satu sajaknya yang dikatakan oleh Jassin sebagai bentuk plagiat dari karya seorang penyair barat. Chairil yang kala itu merasa harga dirinya dijatuhkan, merasa tak terima dan segera melabrak Jassin pada suatu acara.
Terjadilah pertikaian sengit dan cekcok di sana. Tapi, masalah itu cukup dianggap angin lewat dan berlalu begitu saja. Hubungan mereka tetap berjalan seperti semula. Ya, memang seperti itulah kehidupan.
Bertahun-tahun hidup sendiri, Chairil akhirnya resmi menanggalkan jubah kejombloannya dengan mempersunting gadis asal Karawang. Hapsah namanya. Meskipun bukan gadis pertama yang pernah bersarang di hati Chairil, tapi gadis ini dengan tabah menerima Chairil yang tak jelas pekerjaannya dan tak pasti pemasukannya.
Hari-hari Chairil dengan Hapsah dilalui dengan bahagia. Percintaan mereka membuahkan seorang anak yang begitu cantik dengan nama Evawani. Sayangnya kebahagiaan mereka tak bisa bertahan lama, “Perut lapar dikasih nasi, bukan dijejali puisi.”
Begitulah kiranya, pertengkaran hebat antara Chairil dengan Hapsah terpaksa menyeret diri Chairil pergi meninggalkan Hapsah beserta anak semata wayangnya yang masih amat belia.
Kehidupan Chairil semakin kacau tak keruan. Mengandalkan belas kasihan dari kawan-kawannya, Chairil menumpang dari satu rumah ke rumah yang lain.
Sampai pada suatu hari, Chairil Anwar mulai sakit-sakitan. Karena pola hidupnya yang tak teratur, berbagai penyakit menjelma menjadi kawan sehari-harinya.
Sam Soeharto, kawan Chairil−yang berbaik hati ketika tempat istirahatnya digunakan Chairil untuk menginap selama berhari-hari−membawa Chairil Anwar menuju rumah sakit. Setelah melihat muntahan darah dan mendapati Chairil yang nampak begitu pucat, kepucatan yang tak dapat disiasati, dan kesakitan yang tak dapat dibohongi.
Lima hari berbaring di Rumah Sakit; lima hari pula detik-detik keabadiannya makin terasa. Keheningan malam 28 April 1949, senyap menyeringai pada raga Chairil Anwar. Nyawanya tercerabut untuk kembali ke pangkuan Sang Pencipta.
Chairil Anwar, sebagai pelopor Angkatan ’45 telah menyelesaikan tugasnya sebagai pembaharu dunia kesusastraan Indonesia, khususnya puisi, pada usia yang belum genap mencapai kepala tiga: 27 tahun.
Setelah kepergian Chairil Anwar, Rivai Apin bersama Asrul Sani menerbitkan buku kumpulan sajak mereka bertiga, yang berjudul, “Tiga Menguak Takdir,” sebagai salah satu tanda berdirinya Angkatan ’45 dalam kesusastraan Indonesia.
Salah satu tokoh yang berjasa dalam memburu sajak Chairil Anwar adalah HB. Jassin. Terdapat 70 buah sajak, 4 sajak saduran, 6 prosa asli, 10 sajak terjemahan dan 4 prosa terjemahan. Jika dijumlah, semua terdapat 94 tulisan Chairil yang ditulisnya dalam rentang 1942-1949.
Sebuah produktivitas yang mengagumkan, bukan? Di usianya yang seumur jagung, Chairil Anwar mampu mengernyitkan dahi para pembaca karya-karyanya.
Karya-karya Chairil Anwar memberikan napas segar bagi dunia kesusastraan Indonesia. Jika sebelumnya puisi-puisi dari pendahulunya hanya berbau romantisme, cinta, dan masih berbau feodalisme; maka, kehadiran Chairil Anwar bagaikan hujan di tengah kemarau panjang, memberi warna baru dalam kesusastraan Indonesia. Warna apakah itu?
Kita ketahui bersama, bahwa puisi-puisi Chairil Anwar merupakan kegelisahan serta gairah jiwa mudanya yang berhasil ditulis dengan diksi-diksi yang indah.
Dari puisi-puisinya pula−menurut Arif Budiman dalam bukunya “ Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan”−eksistensi serta dinamika seorang manusia pada umumnya juga dirasakan Chairil Anwar yang menjelma menjadi puisi indah.
Tak heran mengapa Chairil Anwar abadi, namanya. Karena keberaniannya dalam memberi napas segar kesusastraan, serta bentuk puisi-puisinya yang menjelaskan lika-liku kehidupan seorang pemuda dengan segala bentuk pencarian jati diri, gairah, dan kobar api semangat sangat efisien dengan kehidupan setiap manusia di saat memasuki usia muda pula. Begitulah sejatinya penyair: “Selalu mencari dan mencari, jawabannya hanya mati.”
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Seandainya Chairil Anwar masih hidup di era disrupsi ini mungkin standaritas ideal mahasiswa pun akan berbeda. Setidaknya dalam menggoreskan proses kehidupan masing-masing manusia itu lebih bernyawa. Tidak sebatas mejadi penggemar quote-quote semata.
Ainu, Chairil Anwar masa kini, eaaa
Rasa cinta dr mna yg d dapatkan oleh chairil anwar