Aku adalah puisi yang tak mampu menusuk hati.
Dalam dirimu yang sangat berarti. Pada siang yang merindu sinar matahari. Tanpa tau adakah kerinduan darimu yang muncul pada notifikasi.
Aku adalah puisi yang tak mampu menusuk hati.
Dari ujung sudut jeruji sunyi. Meratapi dosa bagai pejabat yang korupsi. Tersenyum tanpa ada arti. Dengan segala kegelisahan yang menyelubungi.
Aku adalah puisi yang tak mampu menusuk hati.
Yang setiap harinya berjalan menyusuri tapak tanpa tepi. Berenang pada air mata yang membasi. Menyayat ruh yang bernama janji. Entah ke mana kini harus pergi.
Aku adalah puisi yang tak mampu menusuk hati.
Di mana tak ada seorang pun yang mampu memahami. Tuhan Sang Maha Tunggal larut ke dalam ilusi. Fana mimpi telah terjadi. Purna nyata tak akan kembali.
Untuk terakhir kalinya, kukatakan bahwa aku adalah puisi yang tak mampu menusuk hati.
Memang puisi itu tak ada yang menusuk hati. Tapi segala kisah itu kini sudah kembali. Pada ratap kesedihan yang sempat menyerang diri, kini berganti menjadi kisah baru yang syahdu untuk digeluti.
Pada hatimu, kuantarkan puisi
Pada cintamu, kukirimkan hati
Pada ainumu, kuadindakan abadi
Sepi
Puisi
Kamu.
Yogyakarta, 04 November 2019
***
Dengan pasrahku padamu, Tuhan.
Kuawali bait ini dengan segala kasih-Mu dan cinta-Mu pada segala kisah,
Wahai Tuhan yang Maha Pemurah.
Dalam perjalanan yang tak tahu arah,
Aku bermunajat di atas sajadah, sembari menghaturkan segala resah atas segala kelam yang menjadi kisah tanpa buah.
Aku dengan tabah, menanti dia yang namanya tak pernah lupa dalam kiriman alfatihah.
Wahai Tuhan yang Maha Mendengar.
Dalam kerinduan yang terus berkoar,
Aku menanti hangatnya kelakar dari secuil kabar, meskipun hanya sekilas membalas story tapi di situ ada hati yang bergetar.
Aku menyelami samudra cinta yang makin lama tak jelas kemana ia akan berputar, menuju dalam satu ruang lebar atau malah tersebar tanpa memoar.
Wahai Tuhan yang Maha Membolak-balikkan Hati
Dalam kenangan yang enggan menepi.
Aku berpetualangan menelusuri relung hati, masih ada namamu yang terukir dengan rapi, tanpa tau apakah hanya coretan yang tak berarti, yang kutahu, nama itu bukan sekedar abjad tak berseri, tapi ada bidadari yang menetap pada senyuman di pipi.
Aku dengan sepi, kuratapi sebait puisi, menanti dan hanya menanti, karena aku tahu kau tak akan pergi, kemanapun engkau berlari, aku selalu menjadi tempatmu kembali. Dengan menyebut nama-Mu, Tuhan.
Kuakhiri bait ini dengan munajat yang tercurah.
Di sela doaku, kutitipkan secuil rindu
Yogyakarta, 03 November 2019
***
Aku melihatmu
Dengan rimbunan pepohonan dan dedaunan
Berhamburan karena angin yang menari selinggukan
Dibelah arus air yang beranjak mencari sela lautan
Kusebutlah engkau, Nusantara.
Aku melihatmu
Dengan padi yang terhampar luas berundak
Hijau mewarnai kealamian dengan berkotak-kotak
Rimba itu menjadi rumah tanpa sesak
Kusebutlah engkau, Nusantara.
Aku melihatmu
Dari tanahmu yang dijemput menjadi emas
Sandang serta pangan rakyatmu bisa di dapat dari ampas
Tanpa ada satu pun yang dapat ditebas
Kusebutlah engkau, Nusantara
Aku melihatmu
Di lingkup pendidikan terlihat mereka berseragam
Dari kisahmu kudapati ragamu yang beragam
Meski terkadang itu hanya kisah kelam
Tetap saja..
Kusebutlah engkau, Nusantara
Aku melihatmu
Tersenyum penuh tawa
Saat tubuhmu dirawat serta dijaga
Semesta seisinya turut berdoa
Aku bangga, dan
Kusebutlah engkau, Nusantara
Aku melihatmu
Menjerit diperkosa
Diguyur hujan para pendosa
Karena tubuhmu dinikmati tanpa batas rasa
Kali ini, berat..
Tapi aku masih rindu. Dan.
Kusebutlah engkau, Nusantara
Aku melihatmu
Seperti jalang di persimpangan jalan
Ternoda oleh pemuja kekuasaan
Terhunus pedang keduniaan
Tersayat pisau budak kekayaan
Aku menangis.
Aku merintih.
Melihatmu menangis dan teriris
Ternoda dan terperkosa
Terhujam dan semakin lebam.
Kusebutlah engkau, Nusantara.
Lekas sembuh dari segala petaruh
Lekas bangkit dari terjatuh. Tersenyumlah kembali dalam keberagaman
Tertawalah kembali dengan penuh kekayaan
Agar aku melihatmu kembali
Lalu dengan tulus,
Kusebutlah engkau, Nusantara
Yogyakarta, 6 November 2019
***
Bulan baru telah tiba tanpa salam
Hujan berikan pertanda jika bulan lalu perlu diratapi
Sebagai seutas kisah kelam
Juga sebagai seruan perpisahan di tahun depan yang entah akan kembali
Kucurahkan padamu, Tuhan.
Hari pertama pada bulan ini disambut dengan keramatnya Jum’at
Diawali dengan tangisan semesta yakni hujan
Tersapu oleh curhatan di penghujung bulan.
Izinkan Oktober pergi dengan penuh cerita
Sambutlah November dengan segala doa
Entah doa itu ditolak atau diterima
Di sela-sela dosa, kuhaturkan salam padanya
Nologaten, 1 November 2019
***
Memasuki liang malam
Suram nan muram pula
Oh kekasih
Jarak dan waktu memang memisahkan
Satuan rindu selalu tak berima
Di sana kah kau adinda?
Entah dirimu hanya nyayian, getaran, bahkan sebagian dari hidupku
Tapi itu semua omong kosong yang terus tabu
Bila belum mampu kuberikan mahar di hadapan orang tuamu
Bila kau meneteskan air mata
Aku lah air yang kau teteskan tulus dari matamu
Bila lisan tak mampu lagi berbicara
Bila puisi tak mampu lagi menceritakannya
Maka biarlah air mata yang berbicara
Tak ada kejujuran mutlak yang bersuara jika bukan air mata
Tak ada pula curahan hati yang mampu berdiri diatas bara kerinduan jika bukan bait puisi
Dengan ini, ku tuliskan dengan hasrat penyair berdarah tinggi
Yogyakarta, 09 September 2019
One Comment