Antara “New Normal” dan “Genosida”: Studi Kritis Terhadap Sebuah Kebijakan Global

Tidak setiap lapisan sosial masyarakat bisa ditata dengan protokol “New Normal”, mengingat perbedaan tingkat ketahanan ekonomi, fisik serta fasilitas yang dimiliki3 min


Bencana yang melanda secara global, covid-19, melahirkan berbagai kebijakan sebagai bentuk penanganan wabah tersebut. Setiap penanganan selalu menuai kontroversi seiring dengan wabah yang seakan-akan tidak terkendalikan. Seperti kita mengingat beberapa bulan kebelakang, lockdown, sosial distancing dan berbagai kebijakan nasional di berbagai negara di dunia, seakan-akan setiap kebijakan tersebut gagal, dimana korban masih berjatuhan. Seperti kita lihat infografis yang tidak menentu setiap harinya, tidak ada prediksi yang pasti kapan grafis tersebut melandai.

Namun di tengah perdebatan berbagai kebijakan dan ketakutan yang besar di tengah masyarakat yang cukup beralasan, di mana bencana ini mematahkan berbagai sendi kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan agama, timbul sebuah arahan secara global untuk melakukan “New Normal”, mengingat peredaran wabah covid-19 yang diperhitungkan mustahil dihilangkan tanpa vaksin yang sama sekali belum ditemukan.

Porak-poranda kehidupan sosial, ekonomi dan hidup beragama dianggap perlu untuk dipulihkan. Sementara itu himbauan untuk tetap di rumah dan tidak melakukan aktivitas seperti normal menimbulkan kegelisahan ekonomi. Apalagi pemerintah juga tidak mampu sepenuhnya untuk menjamin suplai logistik terhadap warga yang tetap di rumah yang tidak melakukan aktivitas seperti biasa.

Baca juga: Apakah Saya akan Mati karena Corona?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan pedoman transisi “The New Normal” di mana penyesuaian langkah dan perilaku masyarakat yang ditata dalam sebuah protokol kesehatan. Seperti dikemukakan Henri P.Kluge, Direktur Regional WHO untuk Eropa, dalam situs resmi lembaga tersebut “kompleksitas dan ketidakpastian masa akan datang, maka kita memasuki periode (New Normal) dimana kita harus menyesuaikan langkah dengan cepat”.

Transformasi ini adalah penataan budaya masyarakat ditengah pandemi, dan akan diterapkan hingga ditemukan vaksin. Penataan tersebut dirumuskan dalam sebuah protokol kesehatan untuk diterapkan publik dan disosialisasikan pihak berwenang, di mana masyarakat dihimbau untuk melakukan aktivitas seperti normal namun mengacu pada tatanan baru. Setiap individu dihimbau untuk menjaga jarak, memakai masker, menghindari keramaian, tetap steril dengan mencuci tangan dan penggunaan handsanitizer.

Namun kekhawatiran yang paling mendasar adalah, tidak setiap masyarakat mampu menyerap informasi tersebut, mengingat perbedaan tingkat pendidikan dan jangkauan informasi setiap kelas masyarakat. Selanjutnya, tidak bisa dipungkiri bahwa, tidak setiap lapisan sosial masyarakat mampu ditata dengan protokol “New Normal”, dan mampu bertahan dengan protokol kesehatan jika mengingat berbedanya tingkat ketahanan ekonomi dan fisik serta fasilitas yang dimiliki.

Jelas bahwa kesadaran masyarakat yang digolongkan berpendidikan rendah akan berbeda dengan kalangan terdidik. Selanjutnya masyarakat yang aktivitas normalnya berada di tengah kerumunan akan mudah tertular dengan dihimbaunya kembali beraktivitas, tentu kebanyakan aktivitas ini dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah secara ekonomi. Masyarakat yang asupan gizi dan konsumsi nutrisi yang kurang tentu akan rentan terpapar dengan melakukan aktivitas seperti biasa ditengah pandemi. Selain kelompok tersebut, kerumunan dan berbagai interaksi sosial yang intens juga cenderung dilakukan oleh kelompok umat beragama.

Baca juga: Konsep Lockdown dan Physical Distancing dalam Islam

Adapun kelas sosial yang kuat secara ekonomi dan asupan nutrisi yang cukup akan mampu bertahan untuk melakukan aktivitas di tengah pandemi. Karena kelas sosial tersebut cenderung tidak menuntut aktivitas ditengah keramaian, menggunakan transportasi pribadi dan berbagai fasilitas penunjang untuk beraktivitas. Prangkat virtual sebagai sarana komunikasi juga memadai diantara kelas sosial ini. Plus, pemukiman yang terpisah dan tentu tidak berada pada pemukinan padat.

Ditinjau dari kekhawatiran tersebut, maka penerapan “New Normal” dipandang membahayakan pada kelompok sosial yang lemah secara ekonomi, pendidikan dan ketahanan fisik serta keompok yang intens berinteraksi seperti kelompok keagamaan.

Maka tidaklah sebuah anggapan yang berlebihan bahwa, langkah “New Normal” adalah sebuah kebijakan yang bermuatan ancaman kemanusiaan, yang berpotensi memusnahkan dan atau membahayakan sebuah kelompok atau lapisan masyarakat tertentu dan selaras dengan pemaknaan ”genosida”, yakni usaha-usaha untuk mengeliminasi baik secara langsung melalui pembunuhan atau secara tidak langsung dengan menciptakan kondisi yang dapat mengarahkan pada pemusnahan pada kelompok tertentu (Staub,Ervin 2000 ”Genocide and Mass Killing: Origins, Prevention, Healing and Reconsiliation”). Jika mengacu pada Statuta Roma dan Undang-undang no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, genosida diartikan sebagai setiap tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat pada sebuah kelompok juga dimaknai dengan “genosida”.

Dapat dikatakan bahwa, langkah New Normal sebagai bentuk khawatiran terhadap kemunduran ekonomi, maka masyarakat dihimbau untuk beraktivitas seperti biasa dengan menerapkan protokol kesehatan sebagai budaya dan tatanan baru di tengah masyarakat. Namun hal itu akan berdampak buruk dan bahkan membahayakan, hingga berpontensi memusnahkan masyarakat kelas sosial bawah (yang lemah secara ekonomi, pendidikan dan ketahanan fisik), dan kekhawatiran yang sama pada kelompok keagamaan yang intens berinteraksi di berbagai rumah ibadah dan aktivitas keagamaan.

Memang di satu sisi ekonomi akan bisa dipulihkan, namun tanpa ada pengaruh yang signifikan terhadap kelompok sosial yang kuat secara ekonomi dan ketahanan fisik, dan memiliki fasilitas penunjang yang memadai untuk melakukan aktivitas seperti normal, maka salahkah langkah “New Normal” dicurigai sebagai langkah yang berimplikasi terhadap kejahatan kemanusiaan, Genosida? []

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: 
Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Khairul Fikri

Master

Pengamat Kebijakan Publik. Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals