Untuk malam yang kesekian kalinya, aku telah membuat suasana hatinya menjadi kacau. Dia merasa tak karuan melihat sikapku yang tidak jelas. Bak cuaca yang tak dapat ditebak. Begitulah hatiku saat ini. Langit di dadaku selalu berpusat pada sosok dirinya yang telah kuanggap seperti obor atmaku.
Namun sayangnya, diriku adalah makhluk dengan emosi yang mudah terombang-ambing. Gampang tersinggung, murung, dan tak pasti. Sampai-sampai ia pun merasa dirinya penyebab moodku berantakan. Padahal bukan.
Dalam perjalanan pulang, ia selalu memerhatikan bagaimana suasana hatiku lewat air mukaku. Jika aku dapat menggunakan telepati, percayalah, aku ingin berbicara dengannya berdua saja. Meluapkan emosiku hingga mendidih sampai meluber tumpah air mataku, sederas-derasnya. Aku yakin padanya, pada saat itu pula ia mampu menyulap air mataku menjadi mutiara dan mengembalikan senyumku dengan sudut pandangnya yang tidak pernah kukira.
Tak kusangka, dirinya menjadi merasa bersalah dengan air muka yang kutampakkan. Ia haturkan kepadaku permintaan maaf, padahal bukan itu yang kubutuhkan darinya. Kuingin dimengerti tapi sialnya ia salah mengartikan. Ya, yang terdalam memang selalu sulit disimpulkan.
Sekali lagi, ia berusaha menengok langit dadaku dari wajah kelabu nan kelam. Untuk kali ini, kupalingkan. Aku tak mau ia merasa bersalah untuk kedua kali. Kuharap ia memahami. Yang kubutuhkan hanya dua: waktu untuk rehat sejenak dan kesediaannya yang tulus untuk dapat menemaniku lagi.
0 Comments