Dul, rasa-rasanya, semakin lama waktu berjalan, sunyi-senyap yang biasanya menyertai di tengah malam semakin pudar. Bukan cuma suara jangkrik dari kebun belakang rumah, atau bunyi denting dari jam dinding yang banyak debunya itu. Dag-dig-dug suara jantung pun terdengar jelas. Dekat. Seolah-olah dibikin sadar bahwasanya jantung kita tetep bekerja, miski hidup masih begini-begitu saja.
Meski konon katanya, Dul, tubuh kita memberikan respons terhadap kesepian sebagai rasa sakit—yang jelasnya bikin kesehatan menurun, agaknya kita malah betah-betahan merawat rasa sepi itu. Dipupuk, disiram, dan secara teratur diberi makan tembang kesepian seperti Creep, No Surprises, atau I Promise dari Radiohead. Agaknya juga, Dul, teman kita yang (terlihat) banyak dan dimana-mana itu ndak peduli-peduli amat dengan diri kita. Bahkan mungkin, mereka pun ndak peduli kita hidup atau mati. Ya… Walaupun kita juga ndak hidup buat mereka, sih.
Yang paling menjijikkan dari ini semua, Dul, adalah kerentanan kita. Kita ini betul-betul rentan. Manusia rentan! Entah sudah berapa kali saja, dengar lagu acak di Spotify kok bisa tiba-tiba membisu. Beku. Suwung. Bisa-bisanya dibikin melamun dari hari masih terang sampai gelap—bahkan sampai terang lagi. Asu, toh? Padahal kebanyakan lagu-lagu itu sudah lama didenger. Ternyata, cara pandang kita terhadap sebuah lagu itu dinamis: kapan saja bisa berkembang, kapan saja bisa lebih relate.
Baca juga: Dinamika Raos |
Comfortably Numb dari Pink Floyd, misalnya. Lagu yang sudah seringkali terdengar, yang dulu cuma kagum terheran-heran dengan isian gitar David Gilmour yang fenomenal itu. Kapan hari, cuma karena iseng buat nyimak liriknya, mak bedunduk, galau semaleman! Sial sekali. Bagian reff-nya amat mengganggu. Isi kepala yang tadinya sekedar asyik bersenandung, dibikin kacau balau dengan kilas balik kejadian-kejadian keparat yang mustinya ndak perlu muncul ke permukaan ingatan lagi. Semenjak masuk reff, tiap detiknya bikin makin berantakan. Kepala makin berisik, makin penuh; bersiap buat meledak kapan saja. Duh.
“There is no pain, you are receding
A distant ship smoke on the horizon
You are only coming through in waves
Your lips move but I can’t hear what you’re saying”
Bibir orang-orang nampak aktif bergerak, seperti sedang meraba kata-kata. Lama dan berulang, tapi sama sekali tidak bisa didengar. Sama seperti kita, mungkin begitulah yang mereka rasakan sewaktu mendengar sambatan kita, Dul.
“When I was a child I had a fever
My hands felt just like two balloons
Now I’ve got that feeling once again
I can’t explain, you would not understand
This is not how I am”
Jutaan sial rasanya, kalau dilempar ke masa lampau yang tidak ada bagusnya itu. Pandangan penuh sesak, seperti duduk di bioskop IMAX dengan kursi paling depan. Suaranya makin bising, volumenya meningkat seiring waktu. Ditayangkanlah betapa kita pernah sebodoh dan sedangkal itu. Duh, Dul. Menyebalkan, toh?
Lebih menyebalkan lagi, kita pun ndak ngerti kita ini kenapa, Dul. Hal apa toh yang sebenernya bisa bikin semua-muanya berantakan begini? Kalau sudah kebacut begini, sekedar ingin cerita saja bingung harus dari mana. Ditanya “kenapa” saja sudah bingung tak karuan mau dijawab bagaimana. Wong kita sendiri tidak tahu. Intinya: ini bukan aku! Titik.
Yang menyusahkan dari ini, Dul, adalah cara bersosial dengan orang lain. Rasanya malas-malasan. Kalau saja seharian bisa sendirian, mending sendirian saja. Tak perlu siapa-siapa. Keluar rumah dan ketemu orang-orang amatlah tiada guna selain capek saja. Ketertarikan dengan banyak hal sebagaimana sebelumnya, hilang begitu saja. Ngelamun masih jadi hal wajib yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Apalagi tidur, duh.. sudah lebih dari sekedar kegemaran. Jauh lebih menggemarkan daripada main gitar dan nyanyi di depan banyak orang. Menyenangkan, Dul!
“I have become comfortably numb”
Apapun itu, Dul, semoga kita bukan termasuk golongan pria-pria kesepian yang enteng jari mengontak banyak wanita untuk dibikin luluh hatinya, lantas ditinggal begitu saja. Semoga kita tidak beringas memulai hubungan romansa selagi masih ada sisa-sisa kesepian. Toh, Dul, bukannya yang berkewajiban buat menuntaskan kesepian itu diri kita sendiri, ya? Bukan pasangan.
Kita paksa saja buat srek. Kita muat-muatkan saja diri kita dengan kenyamanan ber-mati-rasa. Dengan kesadaran kalau memang kita ini sebenernya sendirian. Seperti Mayor Tom di Space Oddity, melayang-layang seorang diri di tempat di mana tidak ada gravitasi—meski puluhan kru berjaga memantaunya dari Bumi, tetap saja dia sendirian.
“Planet Earth is blue and there’s nothing I can do”
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments