Ada banyak hal yang bisa dipetik dari perintah puasa. Dari berbagai nilai yang terkandung dalam ibadah puasa, reformasi kesadaran diri adalah salah satu esensi dari perintah puasa yang bisa diselami lebih dalam. Lalu, apa hubungan nilai ini dengan proyek pembangunan peradaban bangsa?
Al-Ghazali menuturkan bahwa seseorang bisa dianggap telah sampai pada kesempurnaan ibadah puasa ketika ia telah berhasil menguasai hatinya. Namun, bukan berarti al-Ghazali menafikan keberhasilan orang-orang yang berhasil mengontrol anggota tubuh dari kubangan dosa dan mengontrol hawa nafsu saat berpuasa. Tetapi, pada posisi ini al-Ghazali ingin mengajak untuk melangkah lebih maju dalam memahami esensi puasa dalam kehidupan.
Berangkat dari pandangan al-Ghazali ini, oleh karena hati menjadi kunci penting untuk meraih esensi puasa, maka tentang bagaimana menjaga dan mewujudkan kesucian hati adalah hal penting yang perlu diperhatikan. Pada konteks ini menarik untuk mengamati mengapa kata syifa’ (obat) dalam Surat al-Isar’ ayat 82 peletakannya lebih didahulukan daripada kata rahmat (kasih sayang).
Asy-Syar’awi menuturkan bahwa peletakan kata syifa’ tersebut sebagai bukti bahwa di era awal Islam datang hati manusia di wilayah Arab sedang terserang penyakit hati yang sangat akut. Naluri eksploitasi, diskriminasi, marginalisasi, eksklusivisasi dan naluri akut lain yang menyebar di dunia Arab saat itu adalah bukti bahwa manusia Arab ketika itu hatinya dan jiwanya sedang lumpuh, sehingga pikirannya pun turut lumpuh.
Keadaan itu menyebabkan seseorang akan sulit untuk menerima tawaran progresif yang lebih manusiawi dan mengusung nilai keadilan. Untuk mengatasi kelumpuhan massal tersebut, misi pertama yang dibangun Rasulullah saw saat dakwah di Mekkah adalah bagaimana seseorang bisa mengenal Tuhan yang menciptakan seluruh alam (misi tauhid). Karena dengan mengenal Tuhan secara baik, seseorang akan mampu mengenali dirinya.
Terinsiprasi dari gerakan misi tauhid tersebut, gerakan Islamisasi di Nusantara sebenarnya juga menampilkan esensi yang sama. Para penyebar Islam di Nusantara tidak langsung melawan kebatilan yang melembaga kuat secara tegas dan terang-terangan. Untuk menguasai hati manusia Nusantara, mereka memilih untuk memahami bangunan relasi sosial dan nalar keagamaan yang sudah eksis.
Jalan yang paling pas untuk ditempuh adalah dengan menargetkan perubahan nalar berpikir individu agar setiap insan semangat untuk melakukan kebaikan sebagai media untuk memahami eksistensi Tuhan, meskipun secara bertahap. Pola dakwah ini terkenal dengan gerakan sufisme. Pendekatan fikih yang tampaknya lebih mudah karena cenderung menyasar aspek dhahiriyyah justru tidak dipilih. Hal ini bisa jadi karena pendekatan fikih yang dominan akan tampak membuat wajah Islam kaku dan tidak humanis sehingga perlu diramu dengan tasawuf.
Sasaran pembentukan nalar indvidu ini menurut Jadul Maula sebenarnya terinspirasi dari surat an-Nahl ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَمُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْبِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Kata “Man” (siapa saja) di sini menunjukkan pelaku. Jadi, sebenarnya yang ingin dibangun al-Qur’an terlebih dahulu adalah pelakunya, bukan membangun perilakunya.
Sebelum melaksanakan amal atau perintah keagamaan, kesadaran diri harus tertata terlebih dahulu. Tujuannya agar manusia menyadari bahwa segala perbuatannya adalah wujud dari keberadaan-Nya, sehingga sifat bangga diri tidak muncul. Pembangunan peradaban diri inilah yang menjadi basis pendekatan ulama Nusantara saat itu.
Paradigma berbeda dalam mengkonstruksi peradaban diri yang juga dipandang sebagai basis pendekatan dakwah ulama Nusantara dapat diamati dalam surat al-‘Ashr ayat 1-3. Allah swt telah menjelaskan yang intinya menyatakan bahwa manusia termasuk orang yang sangat merugi kecuali orang yang beriman dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.
Keimanan adalah hal vital agar amal kebajikan bisa diakui oleh Allah swt. Namun, Ulama Nusantara tampaknya lebih memilih untuk mengajak bagaimana agar seseorang bisa saling berbagi dalam kebenaran dan memahami esensi kesabaran sebagai sesuatu yang inheren dalam diri manusia, sebelum menuju tahap keimanan. Karena bagi para pendakwah diNusantara, ketika seseorang telah mampu memahami esensi kebenaran dan kesebaran, seseorang akan mudah untuk mengontrol dirinya menuju jalan keimanan.
Maka, dengan paripurnanya pemahaman kebenaran dan kesabaran yang akan membangun kesadaran diri, seseorang akan dengan mudah masuk ke dalam dunia ketuhanan. Pada akhirnya, dia dengan mudah merespon norma-norma lain yang juga berbicara tentang konsep ketuhanan yang kesemuanya itu bisa dicapai dengan berawal dari pembenahan hati.
Keberhasilan dominasi gerakan sufisme di Nusantara hingga hari ini mampu membentuk ciri khas kebudayaan baru di mana Islam melebur dengan budaya lokal. Islam menampilkan identitas barunya dengan kebudayaan lokal dengan nuansa filosofis yang mengajak manusia untuk memahami esensi relasi manusia, alam, dan Tuhan. Hasil kolaborasi Islam dan kebudayaan inilah yang menjadi jati diri bangsa hingga saat ini yang patut diperjuangkan, bukan sebagai amunisi untuk memecah bangsa, seperti upaya kelompok ideologi transnasional hari ini.
Hadirnya perintah untuk berpuasa selama sebulan penuh yang bersignifikansi dalam penjernihan hati dan pikir sebenarnya ingin mengajak manusia untuk membangun kembali kesadaran diri dengan menyadari bagaimana merenungi kealpaan diri yang cukup lama tidak disadari. Ketidaksadaran inilah yang sejatinya telah mereduksi nilai-nilai peradaban yang telah lama terkonstruksi, sehingga menyebabkan aneka kesadaran lain yang seharusnya bisa terus berdinamika; termasuk kesadaran sosial, berhenti.
Perbaikan moral yang terpusat melalui kontruksi dan reparasi hati akan menumbuhkan ketangguhan kesadaran sosial. Tanpa hati yang jernih, kesadaraan sosial akan tetap tampak bias. Pada saatnya, ketikakesadaran sosial muncul, maka eksistensi hukum sosial juga akan terrespons dengan baik.
Salah satu hukum sosial yang eksistensinya perlu disadari adalah hukum aksi reaksi. Dalam surah al-Baqarah ayat 251, istilah aksi reaksi sebagai gerak alami disebut dengan sunnah at tadafu’. Ketika seseorang berkomentar tentang suatu hal, maka ia harus menyadari bahwa akan ada orang yang mengomentarinya dengan komentar yang baik atau buruk. Demikian juga halnya, ketika seseorang berbuat suatu hal dengan sewenang-wenang, maka ia juga harus menyadari bahwa akan ada orang yang menentangnya atau bahkan mendukungnya.
Dengan terwujudnya hukum aksi reaksi ini, peradaban manusia akan terus mengalami dinamika yang pesat. Eksistensi sunnah tadafu’ yang ideal akan terus memotivasi manusia untuk terus melakukan pembenahan demi kemajuan pembangunan peradaban zahir maupun batin.
Ulil Abshar Abdallah, dalam acara launching buku “Khilafah Ahmadiyah dan Nation State”, menegaskan bahwa hari ini umat Islam perlu membangun khilafah ruhiyyah, sebagaimana yang coba dibangun oleh Ahmadiyyah, untuk membangun semangat persatuan umat Islam. Upaya ini penting karena membangun khilafah siayasah sudah tidak mungkin lagi untuk direalisasikan semenjak terbentuk negara-negara bangsa.
Khilafah ruhiyyah yang dimaksud Ulil Abshar tidak jauh berbeda dengan tujuan akhir puasa. Memotret secara utuh mental manusia ideal kemudian mengejawantahkan dengan bangunan ruhani yang suci terekam melalui perintah puasa. Karena itu, penyucian jiwa secara massal dengan agenda puasa tahunan sejatinya bisa menjadi instrumen penting merekonstruksi kesadaran bersama dalam mereformasi peradaban bangsa. Sehingga, pentadaburan dan perenungan dapat menemukan esensi suci paradigma berpikir logis insani.
Apa yang penulis paparkan di atas sejatinya bisa terbentuk dengan baik melalui memahami esensi puasa sebagai pembentukan moral dan hati. Dengan membenahi hati melalui puasa, kesadaran resiprokal (mubaadalah) yang cukup lama terdominasi oleh naluri kekuasaan akan mudah terwujud kembali. Diskriminasi, marginalisasi, hingga eksklusivisasi akan tereduksi dengan cukup baik saat menjalani atau telah sukses menjalani dan memahami esensi kualitas puasa.
Reparasi hati melalui puasa yang mampu menyadarkan kesadaran diri dan membangkitkan kesadaran sosial adalah kunci penting dalam membangun peradaban bangsa yang maju. Karena dengan pondasi ini, segala dinamika pencapaian peradaban suatu bangsa akan mampu berkontribusi dalam jangka panjang tanpa dihantui oleh naluri ketamakan. Sehingga, adanya chaos karena ada upaya saling mengklaim kebenaran hanya akan membawa masa depan jati diri bangsa ke jurang kebinasaan.
‘Ashrul Inhithat (era kemunduran budaya Islam di Arab) adalah salah satu bukti kegagalan pendekatan dakwah dalam membangun peradaban Islam. Dominasi logika tanpa dibarengi nalar sufisme yang menyejukkan nalar kritis manusia saat itu menjadi penyebab gagalnya membangun peradaban Islam.
Maka, demi mencapai kesuksesan besar peradaban bangsa yang dihidupakan kembali dengan narasi revolusi mental dalam nawacita, puasa hendaklah menjadi momentum penting untuk membangun kembali kesadaran umat manusia Indonesia bersama. Walaupun belum sepenuhnya memberikan dampak yang cukup terlihat, setidaknya ada upaya untuk melangkah satu tahap lebih maju dalam merevolusi jiwa umat manusia di negeri ini.
Wallahu A’lam.
0 Comments