Santri, al-Maghfurullah Kyai Haji Siddiq Abdillah pernah dawuh terkait kata santri; Santri itu terdiri dari dua kata, yakni “san” dan “tri”, san berarti papan (pijakan) dan tri berarti tiga dalam bahasa sansekerta. Santri berarti tiga pijakan yang harus diraih, dimiliki dan diamalkan. Pijakan itu diantara lain adalah, akhlak, Iman, dan ihsan. Jadi seorang murid, akan benar-benar menjadi santri ketika sudah menemukan esensi dari tiga hal tersebut.
Pesan Kyai Siddiq inilah yang kemudian memberi sublemasi terkait pola hidup seorang (yang menamai dirinya) santri, terlepas dari orientasinya apa, namun santri bagi beliau adalah orang yang memiliki akhlak dalam hal apapun, meneguhkan iman dalam berbagai keadaan, dan menabur ihsan dalam menjalankan keduanya (iman dan akhlak). Dengan demikian pesantren adalah wadah di mana murid mencari dan mencapai posisi santri.
Sehingga dalam hal ini penulis memiliki hipotesis sederhana tentang pendidikan di Pesantren di mana para santri menempa diri untuk menemukan diri (penyadaran intelektual dan moral).
Pesantren bukanlah sesuatu yang baru sebagai lembaga pendidikan (agama) seperti yang dipahami oleh beberapa orang, namun secara substansial pesantren memiliki kontribusi yang besar dalam pengembangan dan rekonstruksi pola pikir serta sikap intelektual (akhlakul karimah dan spiritualitasnya) karena setiap manusia memiliki produk masing-masing (tsaqafah: budaya, dan hadloroh: peradaban) yang lebih luas lagi artinya dan pemahamannya.
Pesantren memiliki peran sebagai filter terbesar dalam kehidupan masyarakat-yang pasti dalam kehidupan sosial, dalam hal ini formula yang ditampilkan oleh pesantren mewarnai kehidupan sosial yang beragam ini, terutama di Indonesia.
Oleh sebab itu patut kiranya jika pesantren bukan dipandang hanya sebagai institusi pencetak santri atau kiyai, tapi pengolah serta pengampu sebuah peradaban yang nantinya melahirkan manusia yang memiliki weltanschauung (pandangan luas) dalam segala dinamika kehidupannya.
Kajian tentang pesantren dewasa ini menjadi kajian yang sangat favorit untuk diteliti lebih mendalam lagi mulai dari segi sejarah penamaan (pesantren) sampai manajemennya (dewasa ini), di mana pesantren tetap mempertahankan tradisi (identik dengan salaf), tetapi mampu mengikuti kemajuan zaman yang modern (berkembang dalam segi kurikulum, manajemen sekolah dan lain sebagainya), materi-materi yang diajarkan pun mulai merambah pada hal yang bersifat keterampilan.
Pesantren tradisional menjaga tradisi keilmuan dan peradabannya, seperti mengembangkan pengetahuan kitab kuning (turats), syawir (musabaqah) dan wirid (sebagai paradigma dan peradaban pesantren sejak dulu), dan pesantren modern memiliki kemampuan yang bermacam-macam mulai dari bidang pertanian, mesin, tekstil, komputer dan lain sebagainya (tidak apa-apa, karena memang seharusnya seperti itu tanpa menghilangkan tradisi lama) dengan berpegangan pada ushul (mengambil yang baru-untuk kebaikan tanpa menghilangkan tradisi lama).
Akan tetapi pengklasifikasian ini terbatas hanya pada sudut pandang manajemen dan kurikulum saja. Selebihnya tetap sama orientasi belajara di pesantren, yakni menemukan Akhlak, Iman dan Ihsannya.
Pesantren menjadi lembaga dengan dinamika yang memiliki peran besar dalam membangun peradabannya (santri dengan ke-paripurnaannya), mulai dari akhlak, pengetahuan sampai pada keruhaniannya, sebagai bekal santri tersebut (karena memang produk yang terlihat jelas) dan menjadi bargaining-nya sebuah pesantren.
Dinamika yang sangat beragam inilah yang menuntut pesantren untuk bisa mengikuti perkembangan waktu, diterima atau tidak kembali pada abad ke 18-19 banyak pesantren berjuang melawan penjajah (walau sejarahnya sering dikaburkan) dan mempengaruhi pola pikir pesantren secara psikis maupun ruhaniahnya, begitu juga sekarang-seterusnya pasti akan mengalami dinamika dan dialektika kehidupan pesantren, sehingga akan tampak sebenarnya pesantren memang bukan lembaga dengan identitas kiyai, santri dan sarung, tapi lembaga yang sejajar dengan institusi lainya yang pada dasarnya memiliki jasa besar dalam membangun bangsa dan agama.
Usaha mengejawantahkan “San” dan “Tri” yang dicetak di pesantren akan terlihat pada tatanan sosial masyarakat. Mengapa? Karena ketika pesantren yang dalam hal ini mampu mempertahankan tradisi peradaban dan menerima kemajuan zaman, akan berlaku praktik santri itu sendiri, akhlak(moral) akan disandang dan digunakan oleh seseorang untuk menjaga kemanusiaannya terhadap manusia yang lain (seperti yang di utarakan Gus Mus).
Iman akan menjadi bukti keteguhan hati bahwa ada pengendali penuh dari yang Maha terhadap apapun yang dilakukan oleh manusia, dan ihsan adalah output dari manusia yang diciptakan dengan potensi-potensi yang kuat dalam diri manusia (fi ahsani taqwim), sehingga pensantren menjadi wadah untuk menyiapkan para santri dalam menjawab dan menghadapi problem kehidupan nantinya.
Wa Allahu A’lam
2 Comments