Tafsir memiliki umur sebaya dengan al-Qur’an. Sejak pesan Illahi tersebut diturunkan, kebutuhan untuk mengarungi dan menjelajahi segala lautan makna yang dikandungnya menjadi sebuah keniscayaan dan merupakan tugas yang tak kenal henti.
Al-Qur’an tidak pernah kering untuk dipahami, dikaji, dan ditafsirkan. Al-Qur’an senantiasa dipahami selaras dengan realitas serta kondisi sosial dan budaya yang berjalan. Oleh karena itu, munculnya perbedaan dalam penafsiran tidak dapat dihindari, sesuai dengan realitas serta kondisi sosial dan budaya Mufassir. Salah satu penafsiran tersebut adalah penafsiran bercorak sastra.
Setiap Muslim meyakini al-Qur’an sebagai karya orisinil Tuhan yang mencakup di dalamnya norma-norma dan nilai-nilai kehidupan. Implikasi dari keyakinan tersebut adalah penafsiran cenderung mengarah pada pendekatan teologis. Pada dimensi lain, al-Qur’an juga dipahami sebagai teks suci ber-mutakallim Illahi yang hakikatnya tidak lepas dari pemaknaan teks berbahasa Arab yang terikat konteks ruang dan waktu dalam pengertian historis.
Hasil dari ekspresi kebahasaan inilah para pemikir kontemporer mengapresiasi dengan melakukan interpretasi baru menggunakan pendekatan sastra. Benih-benih penafsiran bercorak sastra al-Qur’an sebenarnya telah ada sejak masa Nabi Muhammad. Dalam beberapa kesempatan, Nabi memberikan penafsiran yang memuat elemen majaz.
Hal ini bisa dilihat dalam tafsir Jami’ al-Bayan karya Al-Thabari ketika Nabi menafsirkan al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 187: “Makan minumlah engkau hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar”. Ketika Ubay ibn Hatim bertanya kepada Nabi perihal benang hitam dan benang putih dalam ayat tersebut, Nabi menjawab: “Yang dimaksud benang hitam adalah gelapnya malam dan benang putih adalah terangnya siang” (Al-Thabari, 1994: 172).
Peralihan makna frasa dari benang hitam dan benang putih dengan gelapnya malam dan terangnya siang merupakan perubahan makna dari makna asli ke majazi. Selepas itu, ulama-ulama kenamaan seperti ‘Abdullah bin Abbas (w. 68 H / 687 M), Mujahid bin Jabbar (w. 104 H / 722 M), Hasan Bashri (w. 110 H / 728 M), Ibnu Juraij (w. 150 H / 767 M) juga terlibat dalam penafsiran sastrawi.
Selanjutnya pendekatan sastra di era kontemporer mendapatkan perhatian yang lebih dengan kemunculan karya-karya baru di bidang ini. Seperti Amin al-Khulli (1895-1966 M) yang mengembangkan pemikiran Al-Manhaj al-Adabi.
Metode pemikiran al-Khulli tersebut kemudian dikembangkan oleh Muhammad Ahmad Khalafallah dalam Al-Fann al-Qashshasi fi al-Qur’an al-Karim, begitu juga Aisah Abd al-Rahman binti al-Shati’ (w. 1998 M), dalam Tafsir al-Bayani li al-Qur’anal-Karim,Muhammad Syukry Ayyad (w. 2001 M), dalam Yaum al-Din wa al-Hisab fi al-Qur’an, dan Nasr Hamid Abu Zaid.
Amin al-Khulli yang memotori pendekatan sastra di paruh akhir abad ke dua puluh menawarkan pendekatannya dengan mengedepankan dua prinsip metodologis. Sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (M. Nur Kholis Setiawan, 2005: 12-14), dua prinsip metodologis tersebut ialah studi sekitar al-Qur’an (dirasah ma hawl al-Qur’an) dan studi tentang teks itu sendiri (dirasah fi al-Qur’an nafsih).
Kajian pertama diarahkan kepada investigasi latar belakang al-Qur’an, dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai objek wahyu, beserta kodifikasi dan variasi cara baca: sebuah kajian yang kemudian lebih dikenal dengan disiplin ‘Ulum al-Qur’an.
Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosio-historis al-Qur’an, termasuk di dalamnya situasi intelektual, kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke tujuh ketika al-Qur’an diturunkan. Dengan kata lain, kajian ini menitikberatkan pada arti pentingnya aspek-aspek historis, sosial, kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ke tujuh sebagai obyek langsung teks wahyu tersebut.
Setelah memfokuskan pada kajian latar al-Qur’an, al-Khulli kemudian melanjutkan langkahnya pada studi tentang teks al-Qur’an dari berbagai segi. Ia mengawali dengan investigasi terhadap kata-kata individual al-Qur’an (mufradat), semenjak pertama diwahyukan, perkembangan, serta pemakaiannya dalam al-Qur’an, agar kata-kata tersebut dapat dipahami secara totalitas.
Selanjutnya kajian pada bagian ini diikuti dengan perhatian sepenuhnya terhadap kata-kata majemuk (murakkabah), yang tentunya analisis tersebut didasarkan pada pengetahuan tentang gramatik dan balaghah.
Menurut Amin al-Khulli, tujuan pertama ilmu tafsir adalah melakukan kontemplasi terhadap al Qur’an sebagai sebuah kitab bahasa Arab teragung dan mempunyai aspek kesusastraan paling besar. Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum seorang mufassir melangkah ke tahap selanjutnya. Interpretasi sastra dinilai metodologis dalam hal kelengkapan aspek dan kesinkronan distribusi pemahaman (M. Aunul Abied Shah, 2001: 140-141).
Seruan Al-Khulli tersebut selanjutnya dijadikan oleh Nasr Hamid sebagai pijakan awal untuk menjelaskan al-Qur’an sebagai produk budaya. Pemikiran Nasr Hamid tentang al-Qur’an sebagai produk kebudayaan ini kemudian menjadi kontroversi besar dalam pemikiran Islam pada akhir abad ke-20 sampai akhirnya memasuki abad ke-21. Pemikiran tersebut seakan menentang kesepakatan umum di kalangan umat Islam akan sakralitas eksistensi al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa dasar pemikiran Nasr Hamid sebelum menyimpulkan status al-Qur’an sebagai produk budaya ini adalah pembagian terhadap dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya.
Pertama, fase ketika al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, di mana aspek kebahasaan merupakan salah satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode pembentukan (marhalah al-tasyakkul) yang menggambarkan teks al-Qur’an sebagai “produk kebudayaan” (Nasr Hamid Abu Zaid, 1998: 24-25).
Kedua, fase ketika al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem kebudayaannya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan khusus yang berbeda dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh dalam sistem kebudayaannya. Dalam fase ini Nasr Hamid menyebutnya sebagai periode pembentukan (marhalah al-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan (Nasr Hamid Abu Zaid, 1998: 24-25).
Produk kebudayaan menurut Nasr Hamid bukan berarti al-Qur’an adalah hasil karya cipta manusia, tapi dengan metode sastra dan filsafat bahasa, al-Qur’an dibaca dengan dialektika naik yaitu dari budaya Arab untuk mengungkap makna dibalik teks al-Qur’an bukan dialektika turun dari Allah sebagai pengarang lalu ke realitas Arab (Nasr Hamid Abu Zaid, 1998: 26-27).
Berangkat dari paradigma di atas, bahwa al-Qur’an adalah sebuah “teks kebahasaan dan realitas berperan dalam membetuk teks itu”. Maka, Nasr Hamid mencoba merumuskan sebuah metodologi yaitu mengungkap makna asli (meaning/ma’na) al-Qur’an, yang kemudian akan melahirkan sebuah makna baru (significance/magzha). Sebagai landasan metodologi yang dibangun oleh Nasr Hamid, ia membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil.
Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah. Sedangkan ta’wil adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’na dan maghza. Ma’na merupakan dalalah yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik. Sedangkan maghza menunjukkan pada makna dalam konteks sosio historis. Dalam proses penafsiran kedua hal ini sangat berhubungan kuat satu sama lain, maghza selalu mengikuti ma’na begitupula sebaliknya (Ali Imron, dkk., 2010: 125).
Pemikiran tersebut memberikan suatu pesan bahwa al-Qur’an tidak turun dalam ruang kosong (cultural vacum), akan tetapi mempunyai hubungan dialektis dengan realitas sosial yang berkembang pada saat itu; yakni berinteraksi, berdialektika dan bernegosiasi dengan kondisi sosial masyarakat Arab. Artinya, kondisi sosial, geografis dan psikologi masyarakat Arab ketika itu merupakan salah satu pertimbangan menarik yang diangkat ke permukaan (M. Faruq al-Nabhan, 1981: 83).
Dialektika al-Qur’an dengan realitas sosiologis-imajinasi Arab tersebut merupakan fakta sejarah bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang menggunakan media komunikasi berupa bahasa yang merupakan sistem simbol bunyi dan bisa berfungsi apabila terdapat pemahaman antara penutur dan mitra tutur (Mahmud Fahmi Hijazi, t.th: 10). Namun demikian, bahasa al-Qur’an mempunyai karakter dan genre yang jauh lebih spektakuler dari bahasa lainnya, terutama pada dimensi sastranya (Nasr Hamid Abu Zaid, 1998: 60).
Oleh karena itu, upaya untuk memahami dimensi sastra dan pesan moral yang diusung oleh al-Qur’an sejatinya dapat ditelusuri dan dikaji dengan pendekatan bahasa. Sebagaimana yang telah kita telaah dari pemikiran Amin al-Khulli dan Nasr Hamid dapat ditarik kesimpulan bahwa proses interpretasi melalui dimensi bahasa dan sastra merupakan prioritas pertama dan utama serta konsekuensi dari al-Qur’an sebagai kitab “al-‘arabiyyah al-akbar”.
Referensi:
Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. cet. IV. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al’Arabi, 1998.
Al-Nabhan, M. Faruq. Al-Madkhal li al-Tasri‘ al-Islami. Beirut: Dar al-Qalam, 1981.
Al-Thabari, Ibn Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Jilid. II. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1994.
Hijazi, Mahmud Fahmi. ‘Ilm al-Lughah al-‘Arabiyah. Kairo: Dar Garib, t.th.
Imron, Ali, dkk.. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis.Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Shah, M. Aunul Abied. Amin al-Khullidan Kodifikasi Metode Tafsir: Sebuah Biografi Intelektual. Bandun: Mizan, 2001.
0 Comments