Setiap manusia tentu mempunyai masalah, yang acap kali membutuhkan jalan keluar atau solusi. Tak jarang manusia terjebak dalam masalah yang membuat mereka bersikap apatis, juga egois, hanya terfokus pada diri sendiri.
Ini memang hal yang sulit, karena manusia adalah makhluk yang terikat pada ego. Inginnya dimengerti tetapi sulit untuk mengerti. Inginnya setiap kemauannya diikuti dan sulit sekali untuk mengikuti keinginan orang lain, termasuk dalam urusan memudahkan urusan orang lain.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup aib seseorang, Allah pun akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Ataupun dalam hadis yang lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memudahkan orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Hal ini memang sulit, karena biasanya banyak orang mau memahami orang lain apabila orang lain itu bisa memudahkan urusan atau kepentingannya, tetapi apabila orang yang dibantu dianggap tidak bisa memberikan timbal balik atau ada kepentingan pamrih di dalamnya, maka ia akan memilih untuk tidak terlalu memperdulikan.
Rasulullah bersabda:
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadis ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ No. 3289).
Berdasarkan hadis tadi, maka menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Setiap Muslim diperintahkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Namun, kecenderungan manusia adalah senang melakukan sesuatu yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka dan hanya melakukan hal yang mereka sukai saja. Oleh karena itu, peduli kepada orang lain dan memudahkan urusan sesama menjadi salah satu penyebab seseorang mendapat kemuliaan.
Dikisahkan seorang ulama yang bernama Abdullah bin Mubarak yang sangat masyhur pada abad ke-12 (1118 M/797 H) tertidur di dekat Multazam. Ia seolah-olah mendengar dua malaikat bercakap-cakap. Malaikat pertama berkata, “Ada 600.000 jamaah haji yang berhaji tahun ini, namun tidak ada satu pun yang mabrur.”
Malaikat kedua menjawab, “Ada, seorang. Walaupun tidak datang ke sini, tetapi Allah berkenan memberinya ganjaran haji mabrur.”
Maka malaikat pertama bertanya, “Siapakah dia?”
Kemudian malaikat kedua menjawab, “ Ia adalah Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sepatu yang miskin di Damaskus.”
Maka seketika itu Abdullah bin Mubarak seketika terbangun dan terkejut melihat mimpinya tadi. Segera itu ia langsung bersuci untuk melaksanakan thawaf wada dan segera berangkat ke Damaskus untuk menemui Ali al-Muwaffaq. Ia ingin tahu amal apa yang dilakukannya sehingga ia mendapatkan pahala haji mabrur tanpa datang ke Mekkah. Padahal 600.000 jamaah yang melakukan wukuf di Arafah, jumrah di Mina, serta rukun wajib haji yang lainnya justru mardud atau tertolak hajinya.
Setelah Abdullah bersusah payah menempuh perjalanan menuju Damaskus, dan berkeliling ke seluruh pelosok kota Damaskus, akhirnya Ali al-Muwaffaq dapat dijumpai. Seketika Abdullah mengajak Ali untuk duduk istirahat dan memintanya untuk mengisahkan amal perbuatan yang menyebabkannya mendapatkan pahala haji mabrur tanpa mengikuti ritual haji di Mekkah pada saat itu.
Pada awalnya Ali tidak ingin menceritakan kisahnya. Namun setelah berkali-kali didesak, akhirnya Ali pun mau untuk menceritakan kisahnya, “Tiga puluh tahun ia menabung untuk mengumpulkan biaya perjalanan haji. Sangat sulit mengingat penghasilannya yang sangat minim. Tahun ini sudah terkumpul 350 dirham, cukup untuk sekadar bekal sangat sederhana. Pada malam itu sebelum keberangkatan, istrinya mengidam dan mencium aroma masakan dari rumah tetangganya. Istrinya merengek untuk dimintakan hidangan sedikit saja.”
Maka didatangilah rumah tetangga yang berstatus seorang janda miskin dengan tiga anak laki-laki kecil. Maka Ali pun mengetuk pintu rumah tersebut seraya menerangkan maksud kedatangannya dengan membawa keinginan istrinya yang sedang ngidam.
“Seketika itu wanita janda tersebut mengatakan bahwa ia memang sedang memasak daging unta. Akan tetapi, masakan ini halal bagiku dan anak-anakku, sedangkan haram bagi dirimu dan istrimu. Karena kami sudah tiga hari tidak makan dan hampir mati kelaparan. Tadi pagi anakku menemukan bangkai unta tergeletak di bawah rumpun. Kami kerat daging pahanya, dan kami masak sekadar menghilangkan rasa lapar.”
“Mendengar itu Ali seraya berlari pulang, mengambil 350 dirham yang semula untuk keperluan haji, namun diberikan sukarela kepada tetangganya tersebut yang terpaksa memakan bangkai daging unta. Ali teringat dengan sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa tidak akan masuk surga orang yang tidur dengan perut kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan. Biarlah aku tidak jadi berhaji tahun ini, asalkan tetanggaku tertolong.”
Ali al-Muwaffaq pun mengakhiri kisahnya. Abdullah bin Mubarak meneteskan air matanya dan bergumam, “Malaikat-malaikat itu berbicara benar dalam mimpiku, dan Allah sungguh Maha Adil pertimbangannya”.
Dari kisah di atas banyak iktibar yang dapat kita petik di antaranya, apabila kita menginginkan kebahagiaan hanya untuk diri kita sendiri, hal itu sudah biasa. Tetapi kebahagiaan yang hakiki, apabila kita bisa membagi kebahagiaan kita kepada orang lain dan dapat melihat mereka turut tersenyum bahagia.
0 Comments