Sikap keras dan kaku dalam beragama merupakan sebuah fenomena klasik, yang beberapa dekade terakhir ini terasa semakin membesar dan berubah menjadi bahaya yang tidak boleh disepelekan atau dipandang dengan sebelah mata.
Fenomena ini terus semakin menguat seiring dengan perkembangan media sosial yang kian pesat. Era ketika informasi sangat mudah diakses dan disebarluaskan sekarang ini merupakan momen semakin berkembangbiaknya ideologi-ideologi radikalisme dengan cara “menjual” isu-isu terkait SARA.
Dalam pejalanan sejarah peradaban manusia, isu-isu SARA, khususnya agama selalu menjadi “komoditi” yang selalu laris untuk “diperdagangkan”. Di era pesatnya perkembangan media sosial saat ini, isu-isu tersebut bahkan tidak hanya berguna untuk mendulang kekuatan “ideologi” dan politik, namun juga bisa dijadikan sarana untuk meraup keuntungan dalam segi ekonomi.
Para “pebisnis” media, khususnya media online tentu akan mengerti bahwa sebuah berita harganya bukan hanya ditentukan oleh kualitas dan kevalidannya, tetapi dihitung berdasarkan jumlah pembacanya. Makanya tidak sedikit media-media online yang menyuguhkan berita-berita “yang penting menarik” dan mereka rela mengesampingkan kualitas dan kevalidan dari berita-berita tersebut.
Dalam dunia media, hal ini sangat populer dengan istilah “a bad news is a good news”. Makanya sampai hari ini isu-isu SARA (bahkan meskipun berita tersebut merupakan kabar bohong/hoaks) masih tetap bisa “langgeng” karena isu-isu tersebut merupakan berita-berita yang sangat “menggoda” untuk dibaca.
Prinsip Teori Evolusi
Dalam perjalanannya hingga sekarang, teori evolusi telah mendapatkan kritik dan bahkan tidak sedikit yang mempertanyakan kebenarannya terutama karena adanya asumsi dalam teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin bahwa manusia berasal dari kera.
Meskipun demikian, kita tidak bisa menolak seutuhnya mengenai teori evolusi terebut. Misalnya, dulu banyak bakteri maupun virus bisa dibunuh dengan menggunakan antibiotik murahan. Namun sekarang sudah banyak yang kebal dan resistens. Makanya obat berbasis antibiotik sekarang tidak bisa dipakai sembarangan, karena bisa mempercepat mekanisme adaptasi sehingga mereka kebal. Jika sudah kebal, maka akan semakin susah diatasi.
Bahkan, menjadi sangat aneh kalau kita menolak teori evolusi, padahal setiap hari mengkonsumsi hasil evolusi seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). Karena semua BBM yang kita gunakan dan nikmati selama ini merupakan hasil evolusi dari fosil yang sudah mati berjuta tahun yang lalu, yang kemudian berevolusi menjadi minyak bumi. Semua ilmuwan tidak ada yang menyangkal fakta ini.
Dari hal di atas kemudian muncul sebuah prinsip bahwa “hanya yang bisa beradaptasi yang bisa bertahan hidup”. Adaptasi terjadi disebabkan adanya seleksi alam yang menuntut makhluk hidup (hewan dan tumbuhan) untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru.
Dalam konteks perkembangan media sosial di era sekarang, seperti yang telah dijelaskan di atas, kita bisa mengasumsikan bahwa isu-isu SARA dan berita bohong akan terus bertahan karena ia sejalan dengan naluri bertahan hidup manusia (baca: manusia-manusia rakus).
Kita bukan berarti pesimis dengan usaha yang sudah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi misalnya dalam meringkus jaringan-jaringan penyebar isu-isu kebencian dan SARA. Sebaliknya, kita justru harus membantu usaha tersebut dengan cara ikut andil, minimal untuk diri sendiri dengan tidak mudah percaya begitu saja dengan informasi yang ada di media sosial. Kita tidak bisa berpasrah diri dan hanya menyerahkan persoalan ini kepada pihak pemerintah.
Kita tentu saja mengutuk oknum-oknum yang oleh al-Quran kelompok ini disebut sebagai orang-orang yang menjual agama dengan harga yang sedikit (baca: untuk kepentingan duniawi yang sementara). Namun di era sekarang, Kelompok-kelompok penyebar hoaks/berita bohong di media sosial ini akan selalu ada bagaikan semut yang selalu mendatangi gula, karena bagi mereka, hoaks adalah sumber daya yang sangat menguntungkan.
Berangakat dari prinsip evolusi, kita harus segera menyadari bahwa sikap taklid buta terhadap suatu informasi yang ada di media sosial bukanlah pilihan jika tidak mau “dibodohi” dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu hanya untuk kepentingan mereka bahkan meskipun mereka menggunakan “topeng” dan “baju” agama.
Sebagai penutup, penulis mengutip perkataan Kushner, seorang produser dan penulis senior di Amerika Serikat, bahwa Hoaks, kabar bohong, hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya adalah berkurangnya keinginan mencari bukti, mempertanyakan sesuatu, dan berpikir kritis.
Kita harus bijak dengan berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax.
Oleh karenanya, apabila menjumpai berita denga judul provokatif, sebaiknya kita mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya kita sebagai pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.