Salah satu kata yang sulit ditemukan padanannya dalam bahasa lain adalah kata “ikhlas”. Ikhlas sering diartikan sebagai bersih, suci dan murni, namun itu belum cukup mewakili makna ikhlas. Jika kita searching transliterasi “ikhlas” maka yang paling sering muncul adalah “accept” atau “sincere“, “devotion“, “loyal“, “attachment“, “affection“, atau “sincerity“.
Tetapi, jika dikonfirmasi kata-kata tersebut pada orang Inggris pun maknanya jauh dari kata “ikhlas”. Maka “ikhlas” merupakan istilah yang tidak bisa diterjemahkan tetapi bisa dideskripsikan.
Dari buku “Quantum Ikhlas” dapat dipahami bahwa di dalam kata tersebut mengandung banyak komponen penunjang. Di antaranya, syukur, sabar, fokus, tenang, bahagia dan seterusnya. Boleh jadi pula diartikan sebagai kesadaran manusia dalam menjalani hidup (life consciousness). Namun, lagi-lagi pengertian tersebut belum juga memuaskan.
Dalam kitab Bhagavad Gita, ikhlas digambarkan sebagai “kondisi di mana hati orang yang telah mencapai hakikat kebenaran, penuh dengan ketenangan dan terhindar dari segala gelisah. Ia tidak dapat dipengaruhi oleh kesenangan dan kesedihan. Ia menemukan kebahagiaan itu dalam jiwanya dan bersama pikirannya tenggelam dalam hakikat kebenaran karena mengingat akan mencapai kekekalan tuhan dan nirwana (surga). Ia adalah orang yang telah dibersihkan jiwanya dari segala ketidaksempurnaan, ia dapat mengontrol jiwa, dan akan mengalami ketentraman”.
Panjang bukan? Tapi benarkah ini sudah mewakili kata ikhlas?
Penulis sendiri, dari berbagai pengertian yang diungkap oleh para ulama menyimpulkan bahwa ikhlas itu ialah “meninggalkan semua karena, baik karena manusia atau dunia, dan hanya menyisakan satu karena, yaitu karena Allah”. Maka unsur yang paling urgent dalam ikhlas adalah “karena Allah, untuk Allah”. Jika seseorang dalam gerak-geriknya di tujukan untuk Allah, itulah esensi ikhlas, bukan sekadar senang, lapang, dan riang dalam perbuatannya.
Tetapi kata ikhlas sering disalaharti dan disalahgunakan. Salah satunya adalah dengan mempropagandakan ikhlas bagi orang lain, sementara dirinya meraup keuntungan materil. Seperti yang terjadi di banyak lembaga pendidikan swasta komersial.
Sering kali, bahkan selalu guru dituntut ikhlas dengan gaji sekadarnya. Di saat yang sama pihak pemilik meraup untung sebanyak-banyaknya, dengan kedok “ikhlas”. Begitupun yang terjadi pada guru-guru ngaji atau da’i. Mereka dituntut untuk ikhlas, dalam artian, mengajar agama, mengajar ngaji, memberi nasihat, tanpa perlu bisyarah atau ujroh (penghargaan, atau upah).
“Ikhlas” bukanlah kata yang seharusnya keluar untuk menunjuk hidung orang lain. Ikhlas itu ditujukan bagi diri sendiri (wa mâ umirû illâ liya’budullâha mukhlishîna lahuddîn). Sementara dalam bermu’amalah, kita memperlakukan orang lain, khususnya para guru dengan setinggi-tingginya penghargaan dan penghormatan atas jasa-jasanya (wa idza huyyîtum bi tahiyyatin fahayyû bi ahsana minhâ aw ruddûhâ).
Ikhlas bukan urusan pemilik yayasan terhadap tenaga pengajarnya, bukan pula urusan atasan pada bawahannya, lebih-lebih urusan umat pada gurunya. Ikhlas adalah urusan manusia secara individu dengan Allah. Tugas kita adalah menjaga keikhlasan guru-guru tersebut, bagaimana agar mereka komitmen dan konsisten dalam mengajar, serta bagaimana agar keikhlasan itu terpelihara.
Maka rumus dalam bermu’amalah itu ialah saling ikhlas, dan saling tahu diri. Ustaz mengajar, murid atau wali murid tahu diri. Bukan sebaliknya, ustaz materialis, dan murid menuntut gurunya ikhlas. Guru ikhlas mengajar dengan seprofesional mungkin dan manajemen lembaga pendidikan ikhlas melayani guru dengan semaksimal-maksimalnya pelayanan.
Yang terjadi saat ini ialah, banyak guru bekerja layaknya karyawan dengan sistem dan waktu kantor dan digaji dengan upah yang jauh di bawah upah buruh. Inilah penistaan kata “ikhlas”, “kalimatun haq yurîdu bihâ al-bâthil” (benar ungkapannya, tapi bathil tujuannya). Dalam pribahasa kita disebut “ada udang di balik batu”, ada eksploitasi guru demi meraup keuntungan dengan propaganda kata “ikhlas”.
Dikisahkan, bahwa Imam al-Akbar Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah (w. 204 H), selain menyiapkan rumah dan fasilitasnya bagi guru yang mengajar anaknya, ia pun memberi reward emas seberat 2 ons kepada guru tersebut karena berhasil mengajar anaknya membaca surat al-fatihah.
2 ons itu sama dengan 100 gram, jika per gramnya lima ratus ribu saja, itu berarti upah mengajar Al-fatihah yang diberikan imam Asy-Syafi’i sama dengan lima puluh juta rupiah. Jika seorang guru ngaji mendapatkan upah sebesar itu, rasanya tak perlu lagi kita ragukan keikhlasannya.
One Comment