1
Ibu, kenapa belakangan ini kau suka mencuci baju di bulan? Air bilasannya mengotori bukuku di sini. Turunlah, Bu. Turun ke hatiku. Ajari aku cara menulis ulang waktu.
2
Bu, kenapa bulan di langit malam ini tinggal separuh? Apa sebagiannya sedang kau siapkan untuk kado ulang tahunku yang ke lima puluh? Tidak, Bu. Aku cuma ingin menetek peluh ayah dari jempol kakimu. Biar basah rindu di lidahku.
3
Bu, aku mulai lelah memunguti telapak kakimu di setiap anak tangga, tiap kau hendak memanjat bulan. Kapan aku boleh main kelereng di sana, Bu? Barangkali halaman rumah Ibu luas. Banyak pasir untuk membangun rumah-rumahan. Untuk membangun kenangan.
4
Bu, setiap malam ayah menulis surat untukmu. Diam-diam ia selipkan di hatiku. Dan setiap pagi surat-surat itu tersusun menjadi aku. Maukah kau membacanya, Bu? Sebentar saja, seperti saat kau menceritakan dongeng seorang ratu yang rela mencuri-curi cahaya bulan demi melindungi putranya dari kegelapan, sebelum akhirnya aku tau kau sudah tertangkap tangan oleh Tuhan.
Sarapan
Ada kegaduhan dalam perutku setiap pagi. Pemulung memungut sampah di dalam televisi. Loper koran menulis beritanya sendiri. Anak-anak gelandangan nangis mengejar bapaknya minta dibelikan jati diri. Semua kumasak jadi sarapan tanpa nutrisi.
Di meja makan, berserakan janji-janji anggota dewan. Gelas masih dipenuhi harapan. Sementara piring pecah bersama kekecewaan. Sendok dan garpu bahkan jadi undang-undang yang mengancam sapu tangan; orang-orang yang terpinggirkan.
Sarapan sudah matang. Segala dendam sudah kenyang kutelan. Perutku kini sudah siap diledakkan. Di mulut orang-orang yang sedang kelaparan.
Puisinya bagus sekali… Coba anda baca puisi saya di DUNIA PUISI INDONESIA INTERNSIONAL (DPII)!
Saya pingin blogger buat menyalurkan bakat puisiku