Diskusi tentang fakta bahwa Al-Qur’an disampaikan (baca: diwahyukan) secara lisan (lihat misalnya QS. al-Taubah: 6; QS. al-Jumu’ah: 2) pada dasarnya telah selesai, ia telah menjadi kesepakatan bersama umat Islam, dari kelompok manapun, –bahkan banyak sarjana non-Muslim juga mengakuinya. Lebih jauh, keyakinan umat Islam bahwa Al-Qur’an yang ada di hapadannya saat ini merupakan kalamullah yang mutawatir. Transmisinya secara mutawatir didukung oleh tradisi dan transmisi pengetahuan bangsa Arab yang mengandalkan pada transmisi lisan.
Baca juga: Benarkah Al-Qur’an Kalam Tuhan?
Saat yang sama, Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang dalam kamus Arab klasik juga dipahami sebagai ungkapan yang terbentuk dari suara yang memiliki kesempurnaan fungsi. Pemahaman ini juga selaras dengan akar kata Al-Qur’an, yakni qira’ah, yang dipahami sebagai lafaz-lafaz (bunyi, suara) yang dirangkai sehingga menjadi sebuah ungkapan.
Dalam hal ini Henry Sweet mengatakan bahwa sebuah ‘kata’ tidaklah ada karena adanya huruf, ataupun susunan huruf, melainkan ‘kata’ tercipta dari unit suara dengan menampilkan fungsinya. Ungkapan qul –disebut sekitar tiga ratus kali dalam Al-Qur’an, misalnya, merupakan ungkapan yang mengindikasikan wahyu Al-Qur’an dibaca secara keras.
Sementara itu, konteks Arab sebelum dan pada masa pewahyuan merupakan daerah yang memiliki sastra syair yang kuat dalam melingkupi tradisi lisan saat itu, di mana tradisi lisan oleh Walter J. Ong dikatakan bahwa, baik dalam bentuk syair maupun bukan, cenderung sangat berirama yang berguna untuk membantu ingatan. Kehadiran Al-Qur’an yang disampaikan secara lisan, serta merespon tradisi lisan bangsa Arab, juga menampilkan pola irama yang dimaksud.
Baca juga: Tafsir Lisan: Apa dan Bagaimana?
Neal Robinson, selaras dengan hal tersebut, menilai bahwa Al-Qur’an mengandung irama yang jelas –terutama di akhir ayat. Bentuk irama tersebut dapat dijumpai sejak QS. al-Alaq: 1-5, wahyu yang pertama kali diturunkan pada masa pewahyuan, tepatnya di Mekkah, ketika Muhammad mengalami kegelisahan atas kehidupan masyarakat bangsa Arab saat itu, sehingga Muhammad sering menyendiri dan beribadah di gua Hira. Hingga satu malam datang malaikat Jibril dan menyampaikan QS. al-Alaq: 1-5.
ٱقۡرَأۡبِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ .ٱقۡرَأۡوَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ . ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ .عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَالَمۡ يَعۡلَمۡ
Redaksi di atas adalah redaksi wahyu pertama yang diyakini ke-mutawatiran-nya sejak penyampaian secara lisan hingga tertulis dalam bentuk mushaf. Berdasarkan iramanya, dalam lima ayat di atas terlihat irama yang sama di setiap akhir ayat, terutama ketika ia dibaca (disuarakan). Irama tersebut dijumpai antara ayat satu dan dua, ayat tiga-empat-lima. Neal Robinson menjelaskan, misalnya, bahwa irama yang dibawa oleh ayat satu dan dua hanya dibedakan di awal kata khalaq dan alaq: huruf kh dan ‘ain. Dalam hal pemahamannya, kata khalaq (penciptaan) dan alaq (segumpal darah) dalam bahasa Arab mengandung keselarasan makna.
Baca juga: Argumentasi atas Kebenaran Al-Qur’an
Selain itu, penggunaan pola redaksi yang menggunakan epitet dalam menandai konsep Tuhan dalam ayat pertama ( رَبِّكَ). Epitet yang dimaksud adalah Yang menciptakan. Penggunaan epitet dalam tradisi lisan digunakan untuk menguatkan ingatan yang telah ada. Karena itu, dalam tradsi lisan, seseorang lebih memilih ungkapan “prajurit yang gagah berani” daripada hanya “prajurit”. Dengan demikian, ungkapan “Tuhan” dalam ingatan akan selalu “Yang menciptakan” selamanya.
Sampai di sini, paparan di atas memberikan pemahaman bahwa sekalipun Al-Qur’an yang dijumpai telah berada dalam bentuk tulisan (mushaf), akan tetapi struktur kelisanannya yang khas masih dapat ditemukan. Lebih dari itu, karena Al-Qur’an merupakan wahyu yang disampaikan secara lisan atau berbentuk tuturan; dalam peristiwa tuturan antara penutur dan pendengar tuturan berada dalam satu konteks yang sama.
Kesimpulan ini senada dengan penilaian Jan Vansina bahwa ungkapan yang lahir dari konteks yang sama antara penutur dan pendengar tuturan menjadikan ungkapan tersebut sebagai sebuah kesaksian.
Dalam konteks ini, penuturan Al-Qur’an tidak bisa terlepas dari konteks yang melekat atasnya, sehingga peristiwa tuturan tersebut menjadi kesaksian pada masa pewahyuan. Peristiwa penyampaian Al-Qur’an meliputi Nabi Muhammad sebagai penutur, bangsa Arab sebagai lawan tutur atau pendengar tuturan, Al-Qur’an sebagai teks tuturan, dan Arab (abad VI Masehi) sebagai konteks tuturan. Dari sini maka pesan yang hendak disampaikan dalam tuturan tersebut mencapai kesepahaman antara penutur dan lawan tutur. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments