Surat Untuk Jabir: Memahami Perasaan Perempuan Tidak Rumit kok!

Segala sesuatu menjadi rumit karena pikiran kita sendiri yang menyebabkannya. Bukankah kita sering terperangkap oleh pikiran kita sendiri? 4 min


1
Memahami perasaan perempuan tidak rumit (Sumber: wikihow.com)

Apa kabar Saudara Jabir? Bagaimana, apakah memahami perasaan perempuan masih rumit?

Artikel anda yang telah diterbitkan di laman Artikula.id (2/8) yang berjudul Antara Filsafat dan Perasaan Perempuan membuat saya tergugah untuk menuliskan perihal kerumitan anda dalam memahami perasaan perempuan.

Dalam tulisan tersebut, saya merasa bahwa anda membandingkan antara filsafat dan perasaan perempuan—yang menurut anda—cenderung rumit untuk dipahami. Memang, saya mengakui jika belajar filsafat agak sedikit rumit jika minimnya literatur dan tidak sistematis ketika mempelajarinya. Namun, tidaklah layak bagi saya untuk membandingkan antara kerumitan memahami filsafat dan memahami perasaan perempuan.

Karena perasaan perempuan bukanlah objek yang dapat kita nilai kerumitannya secara universal. Bukankah laki-laki juga memiliki perasaan? Bahkan terkadang perasaan laki-laki juga rumit untuk kita pahami secara universal.

Perempuan pada umumnya memang memiliki perasaan yang lembut dan sering memberi isyarat untuk menyatakan perasaan. Hal ini berlawanan dengan laki-laki yang lebih sering berterus terang untuk menyatakan perasaannya.

Menurut Dr. John Gray, penulis buku Men Are From Mars, Women Are From Venus, ketika laki-laki ingin pikiran dan perasaannya dimengerti, mereka akan langsung mengungkapkannya secara langsung. Sebaliknya, perempuan lebih suka memberikan isyarat agar bisa dimengerti.

Pada banyak kasus, termasuk narasi kisah cinta Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Terlihat jelas bahwa seorang perempuan mengungkapkan perasaannya menggunakan syarat-syarat tertentu yang terkadang gagal ditangkap maknanya oleh laki-laki.

Padahal sejatinya cinta itu adalah ketulusan. Perasaan dan cinta bukanlah kalkulasi yang perlu diperhitungkan dengan syarat-syarat tertentu. Perasaan hanya mampu kita pahami dengan kesadaran utuh dan menyeluruh. Namun, memang perlu tahapan-tahapan tertentu agar kita dapat memahami perasaan seseorang sehingga tak ada lagi kata rumit dalam memahami perasaan perempuan.

Baca Juga: Antara Filsafat dan Perasaan Perempuan

Pada tahapan ini, saya menggunakan sudut pandang Soren Kierkegaard dalam perkembangan eksistensi manusia.

Pertama, tahap estetis. Pada tahap ini manusia hidup dari berbagai keinginan yang dimilikinya. Baginya yang terpenting adalah dirinya sendiri. Dunia hanya berguna jika keinginan dan kesenangannya telah terpenuhi. Jika gagal atau belum terpenuhi keinginannya, maka manusia akan menjumpai keputusasaan.

Serupa halnya dalam memahami perasaan perempuan. Jika masih menganggap bahwa perasaan perempuan itu rumit, berarti anda sendiri yang sebenarnya gagal menangkap pesan dari syarat yang diberikan tersebut.

Dalam hal ini, anda juga telah putus asa dalam memahami perasaan perempuan, hingga anda menyimpulkan bahwa memahami perasaannya (red: perempuan) itu rumit. Padahal, tidaklah rumit jika anda menyadari bagaimana dan kenapa perempuan sering memberikan isyarat untuk meluapkan perasaannya.

Sudah jelas jika perasaan cinta itu bukanlah sesuatu yang dapat dikalkulasi dengan syarat-syarat tertentu. Andai sebuah perasaan cinta masih menggunakan syarat dari salah satu pihak, itu tandanya sebuah penolakan secara halus, bukan begitu?

Kedua, tahap etis. Pada tahapan ini, setiap manusia melakukan sesuatu tak lagi terbelenggu oleh hasrat keinginan dan kesenangannya karena telah terbentuk oleh moral dan etika universal masyarakatnya. Hidup tak lagi untuk dirinya sendiri, tapi untuk keselarasan dunia. Pada tahapan ini pula, seseorang hidup dengan komitmen dan segala resiko yang telah dipertimbangkan secara matang.

Baca Juga: Dari Media Sosial hingga Kebun Keluarga: Berbeda untuk Melengkapi Melawan Covid-19

Dalam tahap ini pula Soren Kierkegaard juga menjelaskan bahwa cinta menjadi sesuatu yang lebih luhur, tidak sekadar relasi timbal balik. Manusia memutuskan menikah karena didasarkan oleh prinsip hidup kesetiaan pada pasangannya.

Kesetiaan merupakan salah satu nilai moral. Manusia pada tahap ini akan selalu ingin memperjuangkan nilai moral. Namun, keputusasaan juga akan menghinggapi seseorang pada tahap ini jika etika dan moral telah terpenuhi tanpa adanya tujuan.

Ketika laki-laki telah memenuhi nilai moral, maka tak akan ada kata “rumit” dalam memahami perasaan perempuan. Perlu kita ketahui bersama, perasaan laki-laki terkadang juga rumit. Hal itu terjadi karena nilai moral yang belum terpenuhi, sehingga kita masih terbelenggu oleh ego kita sendiri.

Bahkan terkadang seorang perempuan pun gagal memahami perasaan laki-laki yang cenderung bersikap lugas dalam menyatakan perasaan dan pikirannya. Kenapa demikian? Karena mungkin  seorang laki-laki tersebut belum memenuhi etika dalam mengungkapkan perasaan.

Loh, memang ada etika dalam mengungkapkan perasaan?

Siapa bilang tidak ada? Ketika kita hidup menjadi manusia, di sanalah kita dibalut oleh etika. Bahkan ketika kita minum sekali pun ada etika yang perlu kita laksanakan. Jadi, saat mengungkapkan perasaan, jangan lupakan juga etika kita agar tak disalahpahami oleh perempuan.

Setelah etika terpenuhi, semisal, adanya komitmen dari sepasang kekasih yang menikah karena prinsip kesetiaan dan saling melengkapi telah tercapai. Mereka akan mengalami keputusasaan juga jika hanya itu yang terpenuhi.

Mengapa hal itu terjadi? Menurut Kierkegard, masih ada satu tahap lagi yang perlu dicapai agar dapat menemukan eksistensinya serta terlepas dari ingar bingar kerumitan yang sering menjadi batu penghalang manusia.

Baca Juga: Krisis Pemahaman dalam Pendidikan Islam

Tahap terakhir itu ialah: tahap religius. Pada tahap ini, manusia telah dapat membangun relasi dengan Tuhan. Apa yang dilakukan bukan berdasarkan moral dan etika universal masyarakatnya saja. Tetapi melakukan sesuatu sepenuh kesadarannya dengan relasi terhadap Tuhan.

Seseorang yang telah mencapai tahap ketiga ini telah menyadari relasi horizontal dan relasi vertikalnya. Jika seseorang mampu mencapai relasi horizontal—memenuhi moral dan etika universal terhadap sesama manusia—dengan mudah pula ia mencapai relasi vertikalnya terhadap Tuhan.

Ketika seseorang telah menikah dan hubungan mereka langgeng. Maka apa lagi tujuan mereka, selain mendekatkan diri kepada Tuhan? Itulah kesempurnaan manusia yang telah tercapai. Sebab, segala yang ada di dunia ini bersifat fana. Kecuali Tuhan yang menciptakan semesta ini.

Dengan memiliki relasi terhadap zat yang Maha Abadi, terhindarlah manusia dari segala kerumitan-kerumitan yang menghampirinya. Apapun yang dianggap “rumit” oleh manusia umumnya, bukanlah sebuah kerumitan oleh seseorang yang telah dekat dengan Tuhannya. Karena ia mengetahui apa pun yang terjadi telah diatur dan memiliki maksud tersendiri dari Tuhan.

Melalui tulisan ini, saya hanya menyatakan kembali pada anda, Saudara Jabir. Bahwa kutipan pada tulisan anda berikut:“Banyak orang beranggapan filsafat itu rumit. Mereka luput, ada hal lain yang lebih rumit dari itu, yaitu memahami perasaan perempuan” bukanlah hal yang sepenuhnya tepat menurut saya.

Memahami perasaan manusia—terlebih perempuan—tidaklah rumit. Kita hanya perlu berkaca pada tiga tahapan eksistensi manusia yang telah dicecarkan oleh Soren Kierkegaard. Jika kita masih menganggap memahami perasaan itu rumit, justru yang rumit adalah pikiran kita sendiri. Karena masih banyak kini yang menyimpulkan perasaan dengan kata “rumit”.

Menurut saya, segala sesuatu menjadi rumit karena pikiran kita sendiri yang menyebabkannya. Bukankah kita sering terperangkap oleh pikiran kita sendiri? Sehingga sering merumitkan yang mudah. Sesuai dengan kaidah berikut: “Yang rumit adalah ketidakrumitan itu sendiri”

Mungkin, cukup sampai di sini. Apa yang saya utarakan bisa benar, bisa juga salah. Begitu pun sebaliknya, apa yang Saudara Jabir utarakan bisa benar, bisa juga salah. Sudah sepatutnya saya haturkan maaf karena sedikit menggores psikis anda terhadap kerinduan yang masih semu serta menyayat perasaan anda terhadapnya yang sedang melulu tak menentu. [MJ]

Baca artikel balasan untuk tulisan ini: 
Mengapa Perempuan Lebih Rumit Dibanding Filsafat?

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini! ­


Like it? Share with your friends!

1
Ainu Rizqi

Tim Redaksi Artikula.id | Alumni Pondok Pesantren Darul 'Ulum. Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Maaf sebelumnya, Saya hanya ingin meluruskan hal kecil saja. Kalau hubungan sesama manusia itu disebut hubungan horizontal, sedangkan hubungan manusia dengan Tuhan itu hubungan vertikal. Hanya kebalik saja, selebihnya menurut Saya tulisan Saudara Ainur Rizqi bagus. Saya suka.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals