Permasalahan ontologi Al-Qur’an telah dibahas oleh para ulama klasik sejak abad ke-3 H. Mereka berdebat apakah Al-Qur’an ini merupakan makhluk atau bukan. Mu’tazilah menganggapnya sebagai makhluk. Sedangkan kelompok penentangnya menganggap Al-Qur’an bukanlah makhluk, melainkan Kalam Tuhan yang merupakan salah satu sifat wajib bagi-Nya yang ada sejak zaman azali. Sebenarnya permasalahan ini muncul dikarenakan perbedaan pemahaman mereka dalam memandang Al-Qur’an.
Namun terlepas dari perdebatan teologis tersebut, Al-Qur’an tetap dibaca oleh kaum Muslim di sepanjang waktu. Mereka tidak hanya membacanya dalam ritual-ritual formal, seperti shalat saja, ia juga dibaca dalam keadaan-keadaan tertentu.
Dalam kebudayaan Islam klasik hingga saat ini, ada beberapa surat atau ayat Al-Qur’an yang diperlakukan “istimewa”. Membaca surat al-Fatihah setiap akan memulai sesuatu, misalnya, telah menjadi kebiasaan di kalangan muslim. Ada juga yang membaca surat al-Kahfi setiap malam Jumat, membaca surat Yasin ketika berziarah ke makam orang tua atau wali, membaca ayat kursi agar terhindar dari gangguan setan dan jin, membaca dua ayat terakhir surat Taubat setelah shalat subuh, dan masih banyak praktik lainnya.
Semua perbuatan ini tidak muncul dari ruang kosong. Mereka melakukannya didasarkan pada hadis-hadis Nabi atau atsar para sahabat dan tabi’in.
Perlakuan muslim terhadap Al-Qur’an tidak hanya dibaca. Beberapa meyakini bahwa Al-Qur’an yang merupakan Kalam Allah yang Maha Tinggi memiliki kelebihan atau khasiat yang tidak dapat ditemukan pada teks-teks lainnya.
Beberapa kaum muslim, khususnya di luar jazirah Arab ada yang menuliskan Al-Qur’an di secarik kertas lalu dibungkus dan dijadikan jimat, yang lainnya menuliskannya sebagai rajah, atau menuliskan ayat Al-Qur’an di dinding rumah. Mereka meyakini bahwa dengan menggunakan Al-Qur’an sebagaimana tersebut, akan menjadikan lingkungan kehidupan lebih berkah, dijauhkan dari gangguan, dan manfaat lainnya.
Di sisi lain, Al-Qur’an juga digunakan sebagai sarana untuk mengobati penyakit, baik penyakit jiwa (ruh) atau penyakit badan (fisik), seperti ketika menyembuhkan orang yang kerasukan. Biasanya tokoh agama bersama beberapa orang membaca ayat-ayat tertentu, setelah selesai setiap satu orang meniup gelas air yang telah disediakan, dan pada akhirnya air itu diminumkan kepada yang sakit. Praktik lain adalah dengan menuliskan ayat dalam suatu wadah, lalu diisi air, dibacakan doa-doa, dan akhirnya diminum.
Memang di dalam Al-Qur’an sendiri juga menegaskan bahwa ia merupakan obat. Nabi pun juga pernah menggunakan ayat Al-Qur’an (mu’awidzatain) sebagi sarana untuk menyembuhkan penyakit. Dalam riwayat lain para sahabat juga menggunakan al-Fatihah untuk menghilangkan racun dari pemimpin sebuah suku.
Dengan demikian apa yang mereka lakukan bukanlah hal baru, melainkan meniru sesuatu yang pernah dilakukan oleh nabi Muhammad. Meskipun demikian, tetap saja ada kelompok yang menolak menggunakan Al-Qur’an sebagai jimat atau rajah karena dapat menyebabkan kekufuran dengan bergantung pada barang itu saja tapi lupa pada Allah.
Ayat-ayat Al-Qur’an juga banyak dituliskan di beberapa bangunan penting dalam sejarah peradaban Islam. Ada yang dituliskan di dinding masjid, kantor pemerintahan, perpustakaan, nisan, dan tempat penting lainnya. Biasanya ayat yang dituliskan berhubungan dengan tempat ia berada. Ketika di masjid misalnya, ayat yang dituliskan berupa ayat yang mengandung kata masjid di dalamnya, seperti surat Taubah ayat 18.Ketika ditulis di batu nisan, maka yang dicantumkan adalah ayat tentang kematian, surah Ali Imran ayat 185 misalnya. Ketika ditempatkan di perpustakaan, surah al-‘Alaq akan sering dijumpai disana.
Dari pemaparan di atas kita dapat tahu bahwa Al-Qur’an memiliki banyak interaksi dengan umat muslim. Al-Qur’an kadang dibaca, ditulis, didengar, atau cuma dilihat saja. Selain menjadi sebuah kebudayaan yang mengakar, dengan membaca al-Qur’an akan mendapatkan pahala dan kebaikan. Kebudayaan ini juga merupakan upaya dalam melestarikan dan menjaga keaslian Al-Qur’an.
2 Comments