Apa Bedanya Fahsyâ’ dan Munkâr dalam Al-Qur’an? (Analisis Teori Anti-Sinonimitas)

Mayoritas terjemahan yang menjadi rujukan para pembaca mengartikan fahsya' dan munkar sebagai kedua kata yang memiliki arti serupa, padahal hakikatnya berbeda4 min


2
2 points
Gambar: Islamidia

Kata fahsyâ’ dan munkâr di dalam Al-Qur’an merupakan dua kata yang sering disalahartikan, disalahpahami (misunderstanding) dan menimbulkan kontroversi bagi para pembaca Al-Qur’an yang menelan mentah-mentah arti ayat dari terjemahan Al-Qur’an.

Umumnya, mayoritas terjemahan yang menjadi rujukan para pembaca mengartikan fahsyâ’ dan munkâr sebagai kedua kata yang memiliki arti serupa, padahal jika merujuk kepada beberapa keterangan dan referensi baik dari kitab-kitab tafsir dan bahasa arab, mayoritas ‘ulama tafsir dan ahli bahasa justru condong membedakan makna kedua kata tersebut. Terutama bagi mereka yang sepakat bahwa tidak adanya dua kata atau lebih yang benar-benar persis (anti-sinonimitas) dalam Al-Qur’an. So, Mari kita kaji!

Kata fahsyâ’ di dalam Al-Qur’an memiliki banyak derivasi; terdapat total dua puluh empat kali pengulangan dalam dua puluh tiga ayat, semuanya menggunakan kalimat isim. Untuk menemukan makna kata fahsyâ’dapat menggunakan metode semantik yang ditawarkan oleh Tosihiko Izutsu yakni dengan mengklasifikasikan kata tersebut menjadi dua, yakni makna dasar dan makna relasional.

Makna dasar adalah makna yang terkandung dalam kata itu sendiri, dan terkadang makna ini disebut dengan makna asli sebuah kata.[1] Makna ini dapat digali melalui kamus-kamus bahasa Arab, mu’jam dan lain sebagainya.

Sedangkan makna relasional adalah makna baru yang diberikan pada sebuah kata dalam kasus tertentu dan atau dalam bidang tertentu.[2] Makna ini didapat melalui: (1) analisis sintagmatik (yaitu analisis yang berusaha menentukan makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian tertentu) dan (2) paradigmatik (yaitu analisis yang berusaha menentukan makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian tertentu).

Jika dikaitkan dengan kata fahsyâ’, maka makna dasarnya adalah sesuatu yang keji, buruk, dan amat hina dipandang.[3] Sedangkan makna relasional dari fahsyâ’ dapat diklasifikasikan menjadi beberapa makna. Pertama, fahsyâ’ merupakan perbuatan buruk yang berhubungan dengan dosa besar, seperti syirik (QS. Al-A’raf: 28). Kedua, dosa-dosa yang berorientasi kepada penyimpangan seksual semisal, zina (QS. Al-Baqarah: 169, QS. Al-Nisa: 15, 19, dan 25), inses (QS. Al-Nisa: 22), dan homoseksual (QS. Al-A’raf: 80-81). Ketiga, makna fahsyâ’ terkadang juga mengarah kepada dosa-dosa sosial, seperti bakhil atau enggan membayar zakat (QS. Al-Baqarah: 268) dan penyebaran berita hoaks/ hadis ifk (QS. Al-Nûr: 21).

Selanjutnya adalah katamunkâr. Di dalam Al-Qur’an, kata munkârbeserta derivasinya terulang sebanyak tiga puluh enam kali. Makna dasar dari kata munkâr adalah segala sesuatu yang tidak diridai Allah Swt., baik dari perkataan maupun perbuatan.[4]

Menurut istilah, munkâr adalah segala sesuatu yang melanggar norma-norma agama, sosial dan budaya atau istiadat satu masyarakat. Sangat banyak sekali perbuatan yang tergolong kemunkaran. Dalam Al-Qur’an setidaknya didapati beberapa perbuatan buruk yang tergolong munkâr, seperti: pembunuhan (QS. Al-Kahfi: 74), pembegalan (QS. Al-Ankabut: 29), melampaui batas dalam beragama (guluw) (QS. Al-Maidah: 79) dan lainnya.

Jika berdasar pada analisis menggunakan teori anti-sinonimitas, dari penjelasan di atas, maka implikasi pemaknaan kata fahsyâ’ dan munkâr dapat diklasifikasikan menjadi dua: implikasi secara teoritik dan aplikatif.

Implikasi yang pertama yakni secara teoritik, kata fah}syâ’ dan munkâr memiliki penekanan makna sendiri-sendiri. Ini menegaskan bahwa setiap kata arab atau kata dalam Al-Qur’an memiliki konteks masing-masing. Misalnya kata fahsyâ’lebih menekankan kepada perbuatan buruk yang tidak bisa diterima oleh syariat dan akal sehat manusia sedangkan kata munkâr lebih menekankan kepada perbuatan buruk yang dilarang oleh agama, akal sehat dan budaya manusia. Artinya pengertian kata yang kedua lebih luas bidanding yang pertama.

Kedua, implikasi teori anti-sinonimitas yang berpengaruh terhadap sisi aplikatifnya. Kata fahsyâ’ dan munkâr memiliki perbedaan dalam ranah penerapannya dalam beberapa hal. Pertama, kata fahsyâ’ cenderung menampilkan dosa-dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, misal zina, selingkuh, menyebarkan berita bohong atau memfitnah. Berbeda dengan kata munkâr yang perbuatannya dilakukan secara terang-terangan, misal pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir kepada seorang anak saat bertemu dengan Nabi Musa. Contoh lainnya juga bisa dilihat dari redaksi teks hadis berikut:

عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

Dari Abu Sa’id al-khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah dia merubahnya dengantangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemahiman” (HR. Muslim)

Hadis di atas menjelaskan tentang kewajiban mencegah perbuatan dosa, dan redaksi teksnya menggunakan kata munkâr bukan fahsyâ’. Artinya, hal tersebut menngindikasikan bahwa kemungkaran yang dimaksud dalam hadis ini adalah suatu kejahatan atau perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan atau terlihat.

Implikasi kedua, perbuatan dosa fahsyâ’ dalam hukum Islam, akan menyebabkan pelakunya mendapatkan hukuman berupa had secara mutlakSedangkan hukuman bagi pelaku munkâr adalahhukuman bertahap, misalnya pembunuhan Di dalam Islam terjadi perbedaan pentapan sanksi kepada pembunuh, tergantung dengan jenis pembunuhan yang dilakukan; ada tiga jenis pembunuhan dalam Islam.[5]

Pertama, jika pembunuhan dilakukan secara sengaja (qatl al-‘amdi), maka diberikan hak sepenuhnya kepada keluarga korban yang dibunuh untuk memilih tiga pilihan di-qisas, diyat, atau pihak keluarga yang dibunuh memaafkannya, baik dengan syarat atau tanpa syarat.

Kedua, apabila pembunuhan yang yang dilakukan secara semi sengaja (syibhul ‘amd), maka hukuman bagi jenis pembunuhan ini adalah diyat dan kafârat, dan hukuman penggantinya adalah ta’zîr dan puasa serta ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak waris dan pencabutan hak menerima wasiat.

Ketiga, ketika terjadi pembunuhan secara tidak sengaja (khata’), maka hukumannya hampir sama dengan pembunuhan menyerupai sengaja yaitu hukuman pokok diyat dan kafârat, dan hukuman penggantinya adalah ta’zîr dan puasa, serta ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.

Di samping perbedaan-perbedaan di atas, antara kata fahsyâ’dan munkâr juga memiliki korelasi makna. Setidaknya ada dua keterkaitan atau irisan persamaan antara keduanya. Pertama, fahsyâ’ dan munkâr  adalah dua perbuatan dosa yang sama-sama bersumber dari setan. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Nûr: 21. Kedua, fahsyâ’ merupakan bagian dari munkâr, hal ini dapat dikaitkan dengan macam dosa fahsyâ’yang mengarah kepada dosa-dosa sosial dan ini berkorelasi dengan makna munkâr yang lebih luas.

Dari penjelasan di atas, dengan menggunakan teori anti-sinonimitas, kita setidaknya sudah bisa melihat dengan jelas bahwa kata fahsyâ’dan munkâr memang memiliki korelasi, tetapi keduanya tidaklah identik satu dengan yang lainnya. Artinya, kita tidak bisa memaknai dua kata dengan tersebut secara persis, apalagi hanya berlandaskan terjemahan Al-Qur’an. []

_______

[1] Miftahur Rahman, “Kata al-Ikhlas dalam Al-Qur’an: Kajian Semantik”, dalam Jurnal al-Quds. Vol. 2, no. 2, 2018. Hlm. 309.

[2] Tosihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an. terj. Agus Fahri, dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 3

[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1036

[4]  Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir…hlm. 1462.

[5]Muhammad Ibn Qasim, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi Alfaz al-Taqrib, (Beirut: Dar Ibn Hazm wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1425 H), hlm.28.

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
4
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
11
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
5
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
3
Terkejut
Andy Rosyidin

Master

Andy Rosyidin adalah alumnus MIN 5 Buleleng, MTsN Patas, MA Nurul Jadid Paiton Probolinggo Program Keagamaan angkatan 21(el-fuady) dan saat ini tengah menempuh S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Penulis asal Penyabangan, Gerokgak, Buleleng, Bali ini adalah mahasiswa yang sering bergelut dengan dunia kepenulisan terutama Essay dan Paper. Saat ini menetap di Ponpes LSQ Ar-Rahmah Bantul Yogyakarta. Bisa dihubungi melalui Email: [email protected] dan No Hp: 081238128430

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals