Bidadari Surga dalam Al-Qur’an: Tradisional dan Kontemporer

6 min


0
Sumber gambar: kalam.sindonews.com

Bidadari surga merupakan wacana yang menarik sekaligus penuh misteri. Karena sering tergambar sebagai sosok wanita idaman nan ideal. Tidak tanggung-tanggung, Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat Islam juga membicarakan bidadari surga.

Namun penggambaran yang ada sebatas informasi karena sosok rupawan ini tinggal di alam lain. Kita sebagai manusia belum bisa ngintip, apalagi melihat sosoknya. Tapi kita dapat ngulik sembari membayangkan bagaimana konsep bidadari surga menurut berbagai literatur.

Definisi Bidadari Surga dalam Banyak Tradisi

Menurut mitologi Yunani bidadari terkonstruk sebagai sosok wanita jelita. Namun tidak tinggal di surga, melainkan mendiami mata air, sungai, hutan, lembah, pepohonan, dan gua. Para bidadari ini dapat menjadi pasangan dewa dan menjadi ibu yang melahirkan para pengendali dunia (Larson 1997, 249–54).

Selanjutnya wacana bidadari surga juga ada dalam kepercayaan Hindu dan Budha. Dalam kedua agama ini bidadari surga tergambar sebagai sosok wanita yang tinggal di kahyangan. Bidadari ini memiliki tugas sebagai penyambung lidah antara penduduk surga dan masyarakat dunia. Ia juga memiliki tugas sampingan sebagai penggoda para pertapa untuk menguji keteguhan dan konsentrasi mereka (“apsara | Indian religion and mythology | Britannica” n.d.).

Lantas bagaimana bidadari menurut tuturan lokal. Bidadari versi Indonesia tidak jauh beda dengan konsep Hindu dan Budha yaitu sosok wanita cantik penghuni surga. Kita dapat dengan mudah mengingat kisah bidadari ini dalam cerita Jaka Tarub. Dalam cerita rakyat itu menggambarkan bidadari yang sedang turun ke bumi untuk mandi. Namun seusai mandi ia menyadari bahwa selendangnya hilang, sehingga tidak bisa kembali ke kahyangan (Yulianto 2016, 83).

Bidadari dalam Al-Qur’an

Setelah menilik konsep bidadari surga dari berbagai tradisi, saatnya mengulas perspektif Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an bidadari tercatat dalam beberapa diksi seperti hurin’in, qāsirātu tarf, kawāiba atrāba, khairātun hisān, lu’lu al-maknūn, abkāra, baidū maknūn, ‘uruban atrāba, dan azwājun muthaharatun.

Kata-kata tersebut memiliki makna secara harfiah mata putih nan indah, setia, teman sebaya, baik pekertinya serta rupawan, pasangan yang suci dan lain sebagainya.

Diksi-diksi tentang bidadari surga itu tersebar di berbagai surat meliputi al-Baqarah 2: 25, Ali-Imran 3: 15, an-Nisa’ 04: 57, as-Shaffat 37: 48-49, Shad 38: 52, ad-Dukhan 44: 54, at-Tur 52: 20, ar- Rahman 55: 56, al-Waqiah 56: 22, dan an-Naba 78: 33 (Pracoyo 2009).

Ragam diksi bidadari ini dipungut sebagai isyarat bagi mufassir dalam mengonstruksi definisi makhluk “menawan” itu. Seiring perkembangan zaman, redefinisi bidadari terus muncul. Untuk itu tulisan ini berbagi ragam tafsir dari berbagai perspektif.

Secara sederhana varietas tafsir bidadari terpetakan menjadi dua perspektif, yaitu Tradisional dan Kontemporer.

Bidadari Surga Menurut Mufassir Tradisional

Dalam perspektif tradisional, bidadari surga banyak tergambar dalam kriteria-kriteria fisik seperti kulit putih dan matanya lentik. Selain kriteria fisik, para mufasir juga menyebut beberapa sifat seperti perayu dan setia. Model pemaknan ini umumnya muncul di tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir Thabari, Al-Qurthubi, dan tafsir sejenis.

Contohnya dapat kita jumpai pada penafsiran Thabari atas Q.S. ad-Dukhan Ayat 54 sebagai berikut:

Dari Mujahid, ia menjelaskan bahwa para penghuni surga akan dinikahkan dengan bidadari yang matanya besar nan berbinar, betis-betisnya indah, serta perut yang dapat memantulkan bayangan layaknya kaca karena kelembutan dan jenihnya kulit mereka (Ath-Thabari 2001, 65).

Selain definisi di atas, Thabari dalam tafsirnya atas ayat lain menyebut kriteria-kriteria bidadari. Meliputi wanita cantik, muda, perawan, matanya lentik, tidak haid, tidak nifas, tidak buang air kecil dan besar, berakhlak baik, serta montok.

Hal serupa juga ada pada tafsir al-Qurthubi. Ia menyebut beberapa kriteria yang melengkapi Thabari seperti genit, pandai merayu. Semua mencerminkan imaji tentang wanita sempurna (Hardianti dan Rohmaniyah 2020, 14–19).

Konsep bidadari dalam tafsir klasik itu berpretensi bias dengan imajinasi mufassir yang merupakan seorang laki-laki. Selebihnya, konteks kelahiran mufassir di Arab dan pandangan masyarakat Arab tentang wanita juga tentu ikut andil memberi warna dalam tafsir. Hal ini terlihat dari penggunaan diksi Baidum Maknun yang berarti Telur Unta. Diksi ini lazim untuk mengambarkan sifat baik, bersih, dan terjaga (Hardianti dan Rohmaniyah 2020, 8).

Corak pendefinisian fisik ini juga ada dalam penafsiran tentang Surga sebagaimana tafsir Al-Azhar karya Hamka. Ia mengambarkan surga sebagai taman-taman indah dengan sungai yang mengalir membawa ketenangan dan kesejukan.

Surga merupakan ladang kenikmatan bagi orang-orang yang patuh akan perintah-Nya dengan meneguhkan iman dan diiringi oleh amal yang shaleh, bagi mereka disediakan surga, taman-taman yang indah, yang penuh dengan nikmat dengan air yang selalu mengalir membawa kesejukan dan nyaman. sehingga kesakitan yang diderita sementara waktu di dunia itu telah mendapat balasan yang mulia di sisi Allah. semua itu merupakan kemenangan yang besar (Amrullah 2015, 543).

Begitulah pemaparan dari beberapa mufassir Tradisional tentang topik bidadari surga. Selanjutnya mari beranjak ke narasi dari kelompok kontemporer dalam mengulas topik di atas.

Bidadari dalam Kacamata Sarjana Muslim Kontemporer

Tokoh kontemporer seperti Amina Wadud telah membagikan tafsirnya atas konsep wanita dalam Al-Qur’an di buku Quran and Women. Karya itu juga menginggung topik bidadari surga. Ia memulai dengan memberi konteks yang gamblang tentang ayat-ayat bidadari.

Diksi penting pertama yang beliau angkat adalah hurin’in dengan melambari di awal bahwa diksi ini muncul khusus pada periode pewahyuan Makkiyah. Tentu penggunaan kata ini dalam periode tertentu memiliki maksud, yaitu upaya persuasi agar kaum Arab Jahiliah mau menerima Islam. Karena dalam diksi ini Al-Qur’an ingin memberi pesan bahwa Allah mampu memberikan ganjaran yang mereka inginkan. berupa bidadari surga (wanita ideal) sebagaimana impian orang Arab Jahiliyah (Wadud 2001, 109–10).

Diksi selanjutnya yang mendapat perhatian adalah Zawj. Menurutnya diksi ini tidak sedang membincangkan soal lelaki saleh yang akan mendapat ganjaran bidadari. Namun lebih kepada surga sebagai pelabuhan akhir serta tempat berkumpulnya orang-orang baik. Amina Wadud juga menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan akan sama-sama mendapat pasangan terbaik di surga kelak (Wadud 2001, 112–13).

Untuk mempertegas pendapatnya, Ia berkata:

The emphasis then is on partnership, friendship, comfort, and harmony in paradise yang terpenting bagi para penhuni surga adalah persatuan, pertemanan, kenyamanan dan keselarasan dalam surga (Wadud 1999, 57).

Ia juga menentang keras imajinasi erotis dalam konsep bidadari. Karena mustahil bagi orang-orang yang beriman mengiginkan hal-hal erotis. Mengingat orang-orang yang sungguh beriman akan dapat menjaga pikirannya dan menjaga diri dari larangan agama. Dengan itu jelas bahwa bidadari tidak berkaitkan dengan nafsu erotis duniawi (Wadud 2001, 113–14).

Amina Wadud juga menerapkan pandangan kontemporernya untuk menafsirkan ayat-ayat tentang surga. Ia melihat bahwa gambaran surga dengan deskripsi taman-taman rimbun dan sungai-sungai mengalir adalah impian orang gurun. Karena hal-hal tersebut adalah sebuah keajaiban bagi mereka yang jarang sekali melihat penampakan alam seperti itu. Namun deskripsi tersebut bisa jadi terasa hambar ketika penerima pesan adalah orang-orang tropis yang terbiasa melihat hal tersebut (Wadud 2001, 105–6).

Di akhir pembahasan tentang bidadari dan surga Ia menegaskan bahwa realitas tertinggi dari surga dan isinya adalah inda Allah sebagai berikut.

Finally, Paradise offers a standard at an even higher level: the perspective of Allah. From this perspective, the greatest importance of Paradise is attaining peace, ending all want, transcending all earthy limitations, and, finally, coming into the company of Allah Pada akhirnya surga menawarkan standart yang sangat tinggi, yaitu Inda Allah. Dengan begitu surga harus menawarkan tegaknya perdamaian, berakhirnya segala harapan, serta terlampauinya batasan-batasan keduniaan, dan Muaranya adalah bersama di sisi Allah (Wadud 1999, 57–58).

Dari penjelasan di atas Nampak sekali perbedaan antara mufassir Tradisional dan Komtemporer. Tentu hal ini terjadi karena terdapat perbedaan cara pandang dan metodologi dalam proses penafsiran. Untuk itu penting bagi kita untuk memahami cara kerja masing-masing mufassir.

Komparasi antara Mufassir Tradisional dan Kontemporer

Penafsiran yang bersifat definisi fisik sebagaimana sub bab pertama merupakan corak dari kebanyak mufassir tradisional. Hal ini tidak lepas dari metode yang lazim mereka pakai yaitu Tahlili. metode tafsir ini memakai sistematika pembahasan per ayat sebagaimana mushaf. Pola tafsir klasik tersebut membuat pembahasan tidak komprehensi, mendalam, dan berserakan. Mengingat penjelasan bidadari tersebar sebagaimana ayatnya. Maka lazim ketika tafsir dengan metode tahlili tidak memiliki paradigma yang ajeg. Bahkan terkesan ada kontradiksi antar ayat (Ahmad 2016, 64).

Selain itu, metode klasik ini sangat bergantung pada Riwayat pendukung seperti hadis dalam menjelaskan ayat. Namun tidak semua ayat memiliki Riwayat pendukung. Sehingga mufassir menambal kekurangan itu dengan cerita israiliyat. Hal ini membuat gagasan utama yang ingin disampaikan Al-Qur’an berbaur dengan Riwayat-riwayat lain yang belum tentu sejalan dengan pesan Al-Qur’an (Rosalinda 2020, 193–94).

Berbeda dengan tafsir kontemporer yang memilih untuk memetakan dan menghubungkan ayat se-tema. Sehingga dapat tertangkap gambaran utuh dari pesan Al-Qur’an. Inilah metode maudu’i. Metode ini memiliki kosistensi dalam pembahasanya karena sistematika pembahasan bersandar pada tema. Dengan begitu ayat yang bersesuaian dapat dihimpun untuk melihat padangan yang utuh dari Al-Qur’an terhadap tema tersebut (Muyasaroh 2017, 24).

Selain itu, mufassir kontemporer terkadang memasukkan variabel lain seperti Audiens penerima pesan, konteks sosiohistoris dan lain sebagainya. Hal ini tercermin juga dalam tafsir Amina Wadud, Ia melihat bahwa “pesan” tidak dapat dipisahkan dari “penerima pesan”. Sehingga bisa saja pesan memilih diksi khusus agar penerimanya dapat relate dan memahami “isi pesan” (Rahmi dan Wendry 2019, 136–37).

Dalam hal ini, Amina Wadud menemukan setidaknya dua pola bahasa dalam topik bidadari dan surga yaitu pola Mekkah dengan audien Arab Jahiliah. Periode ini banyak menyebut ayat-ayat bercorak fisik. Sedangkan pola selanjutnya adalah Madinah dengan audiens Masyarakat muslim yang memiliki pondasi keimanan. Hasilnya ayat-ayat bercorak esesi keimanan seperti kedekatan dengan Allah lebih banyak muncul (Wadud 2001, 108–9).

Setelah memaparkan penjelasan di atas kita dapat mengetahui sifat tafsir. Yaitu variatif, fleksibel, adaptif dengan kebaruan, dan masih terus direproduksi. Di samping itu banyak faktor yang mempengaruhi mufassir dalam melakukan penafsiran. Sehingga umat Islam dapat memilih tafsir yang paling dekat dengan dirinya.

Tentu tujuan akhirnya adalah untuk menjembatani agar Al-Qur’an dapat dibaca dengan utuh oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun. Wallahua’lam bisawab

Refrensi:

“apsara | Indian religion and mythology | Britannica.” n.d. Diakses 27 September 2022. https://www.britannica.com/topic/apsara.

Ahmad, La Ode Ismail. 2016. “Konsep Metode Tahlili dalam Penafsiran Al-Qur’an.” Jurnal Shaut Al-Arabiyah 4, no. 2: 53–66. https://doi.org/10.24252/SAA.V4I2.1224.

Amrullah, Abdul Malik Karim. 2015. Tafsir Al-Azhar. 1 ed. Jakarta: Gema Insani.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. 2001. تفسير الطبري: جامع البيان عن تأويل آي القرآن. Giza: مركز البحوث والدراسات العربية والإسلامية بدار هجر.

Hardianti, Mida, dan Inayah Rohmaniyah. 2020. “Genealogi, Wacana Dominan dan Model Penafsiran Bidadari Dalam Al-Qur’an.” In THE 4th USHULUDDIN & ISLAMIC THOUGHT INTERNATIONAL CONFERENCE (USICON). Yogyakarta: Faculty of Ushuluddin and Islamic Thought, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Larson, Jennifer. 1997. “Handmaidens of Artemis?” The Classical Journal 92, no. 3 (September): 249–57. http://www.jstor.org.online.uin-suka.ac.id/stable/3298110.

Muyasaroh, Lailia. 2017. “METODE TAFSIR MAUDU’I (Perspektif Komparatif).” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis 18, no. 2 (Juli): 163–88. https://doi.org/10.14421/QH.2017.1802-02.

Najah, Nailun. 2018. “Otentisitas Bahasa Al-Qur’an dan Pemaknaan Bidadari Surga (Respon Stefan Wild Terhadap Hipotesa Luxenberg).” KABILAH : Journal of Social Community 3, no. 1 (Desember): 130–41. https://doi.org/10.35127/KBL.V3I1.3278.

Pracoyo, Budi. 2009. “Qsoft (Software Al-Qur’an).” Bandung: Data Studio. https://alqurandata.com/.

Rahmi, dan Novizal Wendry. 2019. “DOUBLE MOVEMENTS DALAM TAFSIR AL-MISHBAH.” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir 4, no. 2 (Desember): 133–45. https://doi.org/10.15575/AL-BAYAN.V4I2.7478.

Rosalinda, A N. 2020. “Tafsir Tahlili: Sebuah Metode Penafsiran Al-Qur’an.” Hikmah: Journal of Islamic Studies 15, no. 2 (Maret): 181–216. https://doi.org/10.47466/hikmah.v15i2.134.

Wadud, Amina. 1999. Quran and Women: Rereading the Sacret Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press.

———. 2001. Quran Menurut Perempuan : Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Yulianto, Agus. 2016. “LEGENDA TELAGA BIDADARI DAN LEGENDA JAKA TARUB SEBUAH KAJIAN STRUKTURAL SASTRA BANDINGAN.” UNDAS: Jurnal Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra 12, no. 2 (Desember): 79–90. https://doi.org/10.26499/UND.V12I2.559.

*Tulisan ini merupakan hasil refleksi diskusi mingguan tim redaksi Artikula.id

Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 


Like it? Share with your friends!

0
Ahmad Mufarrih El Mubarok
Tim Redaksi Artikula.id | Penggiat group diskusi The Aurora Institute.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals