Al-Quran merupakan permulaan Islam dan manifestasinya yang terpenting. Ayat-ayat Al-Quran adalah benang rajutan jiwa mukmin dan serat pembentuk tenunan kehidupannya.
Al-Quran adalah lautan tak bertepi, sumur tanpa dasar. “Sekiranya pohon-pohon di bumi adalah pena dan samudera adalah tinta dan sesudah itu ditambah dengan tujuh samudera, Firman Allah tidak akan habis ditulis. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Luqman/31:27). Al-Quran adalah jamuan Tuhan. Rugilah orang yang tidak menghadiri jamuan-Nya; dan lebih rugi lagi yang hadir tetapi tidak menyantapnya. (Rasulullah saw).
Allah swt mewahyukan Al-Quran dalam rentang waktu 23 tahun. Mula-mula berupa kata-kata yang terucap atau dilekatkan dalam kalbu. Setiap kali wahyu Al-Quran turun, Nabi Muhammad saw menugaskan sahabat untuk mencatatnya pada lembaran kulit binatang, pelepah kurma atau tulang binatang. Beliau mengajarkan Al-Quran ayat demi ayat dan para sahabat menghafalnya. Nabi saw pun menjelaskan maksud kandungan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran yang lain atau dengan kata-kata beliau sendiri.
Di antara para sahabat yang sangat dekat dengan Nabi saw adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Mereka menerima penjelasan tentang kandungan Al-Quran dari beliau lebih banyak daripada yang lain. Sahabat-sahabat yang tidak mengerti maksud ayat-ayat Al-Quran bertanya kepada sahabat yang lain. Begitu seterusnya.
Sepeninggal Rasulullah saw, Umar bin Khathab mengusulkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq agar menghimpun Al-Quran, karena sejumlah besar huffazh syahid di medan perang. Penghimpunan Al-Quran oleh tim Abu Bakar ditindaklanjuti oleh Usman bin Affan hingga berbentuk mushaf. Sepeninggal Usman, Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Abul Aswad ad-Duali supaya meletakkan kaidah paramasastra bahasa Arab dan tanda-tanda harakat pada mushaf Al-Quran guna menjaga keasliannya.
Khulafa`ur Rasyidun, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair adalah para perintis ilmu Al-Quran dari kalangan sahabat. Dari kalangan tabi’in di Madinah dikenal Mujahid, ‘Atha` bin Yassar, ‘Ikrimah, Qatadah, Hasan Bashri, Sa’id bin Jubair, dan Zaid bin Aslam.
Ketika Al-Quran menyebar ke luar Jazirah Arab, orang menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa berbagai bahasa. Kalangan ulama merekomendasikan pencetakan terjemah Al-Quran beserta nashnya, mengingat terjemah Al-Quran bukan Al-Quran dan tidak mewakili serta tidak dapat menggantikannya. Terdapat sejumlah versi terjemah Al-Quran dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa dunia lainnya, sebagaimana terdapat beberapa versi terjemah Al-Quran dalam bahasa Indonesia maupun dalam berbagai bahasa daerah.
Al-Quran menjadi objek pengkajian sejak pertama turun hingga hari ini dan insyaallah hingga akhir zaman. Orang mengkaji apa saja yang berhubungan dengan Al-Quran dalam rangka memahami pesan-pesan universal Al-Quran: lingkungan di mana Rasulullah saw diutus, bahasa Arab dan sejarahnya, masyarakat Arab dahulu hingga masa Al-Quran diwahyukan, tanggapan masyarakat terhadap Al-Quran yang dibawa Nabi saw, serta sikap dan tindakan orang-orang yang menerima maupun yang menolaknya.
Memahami Al-Quran ibarat menempuh sebuah perjalanan. Seseorang memerlukan bekal wawasan sekitar Al-Quran dan pengetahuan tentang rambu-rambu yang niscaya diperhatikan dalam menempuh perjalanan tersebut, meliputi metode, pendekatan, dan kaidah-kaidah penafsiran Al-Quran serta ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran, sistematika dalam menguraikan penafsiran, dan patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran.
Munculnya karya tafsir dari waktu ke waktu menunjukkan adanya keinginan untuk mengemukakan pemahaman baru atas ayat-ayat Al-Quran. Penafsiran mutakhir diperkaya oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai bidang, baik dari segi materi, metode maupun pendekatan.
Basyar bin as-Sura berkata bahwa Al-Quran itu seperti buah kurma. Setiap kali kita mengunyahnya rasa manisnya akan terasa. Pemikir muslim kontemporer, Mohammed Arkoun, berpendapat bahwa Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasan berada pada tingkat wujud mutlak. Dengan demikian, ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Betapa luas dan dalamnya kandungan Al-Quran sehingga Abul A’la Al-Maududi menyatakan bahwa untuk mengantarkan kita mengetahui rahasia ayat-ayat Al-Quran, tidaklah cukup kau membacanya empat kali sehari.
Menurut Prof. M. Quraish Shihab, tiada satu bacaan pun, sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu, yang melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, dipelajari susunan redaksi dan pilihan kosakatanya, kandungannya yang tersurat dan tersirat, yang dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Al-Quran memadukan keindahan bahasa, ketelitian dan keseimbangan redaksi, kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
Al-Quran ibarat permata yang memancarkan cahaya berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang pembacanya. Apabila kita membaca Al-Quran, maknanya akan jelas, tetapi jika kita membacanya sekali lagi, akan kita temukan makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Tidak mustahil, jika kita mempersilakan orang lain memandangna, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang telah kita lihat. Demikian, menurut Abdullah Darraz.
Penghulu kaum sufi, Jalaluddin Rumi, berkata, “Al-Quran adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apa pun yang disukainya. Apabila engkau melakukan apa-apa yang dikehendaki dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu kaubuka cadarnya.”
Sejalan dengan fenomena tersebut H.A.R. Gibb menulis, “Tiada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan ‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad, Al-Quran.” Wallahu a’lam bish-shawab.[]
One Comment