Salam pembaca Budiman! Belum lama ini, penulis menikmati sebuah karya yang digubah oleh Toshihiko Izutsu berjudul Etika Beragama dalam Alquran terbitan lawas namun dirasa tetap aktual. Izutsu sendiri merupakan pemikir outsider (luar Islam) yang concern dalam kajian-kajian keislaman.
Singkat cerita, pada pembacaan di bab awal, penulis tercerahkan melalui penelusuran yang ia lakukan terkait konsep jahil dalam Islam dengan berpendakatan semantik.
Sejenak penulis berpikir, dan memang disampaikan pula olehnya, bahwa jahil erat kaitannya dengan ‘kebodohan’. Sehingga, ‘masa Jahiliyah’ dapat dimaknai ‘masa kebodohan bangsa Arab’.
Tapi tunggu, apa betul begitu? Apa betul bangsa Arab itu bangsa yang ‘bodoh’? Kalaupun begitu, bukankah bangsa Arab dikenal dengan melimpah-ruahnya sastra berupa syair-syair yang sungguh menggugah selera?
Ternyata, Izutsu pun sempat berpikir demikian, namun melalui penelusuran semantik, ia menemukan konsep yang tidak demikian rupanya atau setidaknya pandangan alternatif.
Awalnya, dengan merujuk penelusuran Ignaz Goldziher, kata jahil menjadi lawan bagi ‘ilm yang berarti pengetahuan. Artinya, masa Jahiliyah merupakan masa kebodohan bangsa Arab. Namun, setelah ditelusuri kembali dengan menggunakan syair-syair Arab kuno, ternyata konsep jahil yang telah disebutkan sebelumnya itu merupakan sebuah kekeliruan.
Menariknya, Izutsu mengatakan:
“seseorang yang memiliki rasa kehormatan suku yang paling tajam (fanatik buta), semangat dan kesombongan yang keras kepala, dan semua perbuatan yang kasar dan tidak sopan yang datang dari watak yang luar biasa penuh nafsu dapat dikatakan sebagai jahil”.
Sebentar, “jika memang demikian, berarti jahil atau Jahiliyah itu bukan hanya berada pada zaman Nabi saw. saja dong?” tanya penulis, Izutsu menjawab, “iya, betul, Jahiliyah dengan makna di atas tidak hanya terbatas pada masa kenabian saja, tetapi zaman milenial saat ini pun memiliki benih-benih yang dapat digelari jahil jika memenuhi beberapa kriteria yang telah disebutkan sebelumnya.”
Makna tersebut ia dapatkan dengan merujuk pada sebuah peristiwa yang tercantum dalam Sirah Nabawiyyah karangan Ibn Ishaq. Peristiwa yang dilakoni oleh Shas Ibn Qiyas, disebutkan bahwa Shas Ibn Qiyas merupakan penyembah berhala tua yang sungguh sangat keras kepala dalam menentang agama baru (Islam) dan menunjukkan permusuhan yang sengit terhadap pengikut Nabi saw.
Saya sungguh berterima kasih pada Izutsu berkat penelusurannya berpendekatan semantik dapat menemukan makna lain dari jahil atau Jahiliyah itu sendiri. Dengan begitu, saya dapat memberi pemahaman terhadap diri saya sendiri agar tidak termasuk yang bergelar jahil.
Sebab bagi saya, hal yang ditemukan Izutsu dapat diaktualisasikan pada kondisi dan situasi (konteks) saat ini, yakni Pesta Demokrasi Negara Indonesia. Tentu, pembaca paham dan merasakan bagaimana pergulatan panas antar para pendukung setiap calon.
Oleh karenanya, kalau tidak menginginkan digelari jahil, maka sebisa dan semampu mungkin untuk tidak bersikap keras kepala, tidak berfanatik buta, tidak berbuat kasar, tetap bersopan santun, dan tentunya apa yang diucap atau diperbuat bersumber pada akal sehat.
Sebagai akhir, maka sesuailah perkataan Husein Manshur al-Hallaj yang dikutip oleh KH. (HC). Husein Muhammad dalam Kidung Cinta & Kearifan yakni, “Tundukkan egomu. Jika kau tidak mampu menundukkannya, dia akan menguasaimu”. Semoga kita terampuni.-
0 Comments