Tiap malam tepatnya di depan rumah saya ada seorang bapak yang menjajakan dagangannya berupa makanan siomay. Pada malam itu entah firasat apa yang datang kepada bapak itu hingga tepat pukul 11 malam. Gerobak yang sering dipakainya untuk berjualan tertabrak mobil hingga seluruh dagangannya hancur. Hanya tatapan kosong dan kebingungan yang terlihat dari raut wajah bapak itu, saya pun turut membantu bapak itu sambil berkata dalam hati “ya Allah kasihan”. Tidak bisa berbuat banyak selain berkata “ya Allah” dan membantunya sambil bertanya-tanya di dalam hati.
Hal serupa terkait musibah juga dialami oleh seorang kakek 70 tahun yang berprofesi sebagai (buruh serabutan) belum lama menjadi viral. Tentang rumahnya yang terbakar dan menghabiskan seluruh bangunannya, berserta tabungan umrah sebesar Rp 2,5 juta. Saya sebagai masyarakat yang membaca beritanya pun sekali lagi hanya bisa berkata “ya Allah” tanpa bisa berbuat banyak dan sekali lagi disertai dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hati.
Pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari dalam hati ini melihat musibah yang terjadi di atas pun tidak jauh-jauh dari seputar pertanyaan; “ya Allah, apa salah mereka? Apa dosa mereka sehingga kau turunkan musibah untuk mereka? Padahal mereka hanya mencari nafkah untuk keluarganya melalui jalan halal sesuai yang kau kehendaki? Mereka tidak seperti kebanyakan orang yang hari ini banyak menempuh jalan-jalan yang tidak halal dalam mencari rezeki? Apa makna dan kebaikan yang ingin kau berikan dibalik musibah itu? Ya Allah”.
Tak lama setelah pertanyaan ini keluar dari dalam hati, pertanyaan itu pun “setengahnya” seakan segera dijawab. Bapak tukang siomay yang gerobaknya hancur akibat ditabrak pun kemudian mendapatkan ganti rugi melebihi keuntungan yang dia dapat setiap harinya. Dan kakek yang bekerja sebagai buruh serabutan itu pun juga mendapatkan gantinya yang menurut beberapa sumber berita bahkan dibangunkan rumah baru dan diberangkatkan umroh gratis berkat uluran tangan masyarakat yang merasa peduli dengan kakek tersebut.
Setengah dari jawab itu secara umum layaknya seperti yang sering kita dengar adalah “Alhamdulillah Allah punya rencana yang baik di balik semua itu”. Namun, setengahnya lagi justru malah menimbulkan pertanyaan lanjutan seperti, “Mengapa Allah memberikan sesuatu yang baik kepada kita melalui cara-cara yang menurut kita, tidak kita kehendaki?”.
Bahkan pertanyaan itu pun semakin liar dan ‘ngawur’ tatkala itu terjadi pada diri kita, semisal lahir pertanyaan “ya Allah mengapa jodohku belum datang? Ya Allah mengapa saya masih menganggur? Ya Allah mengapa saya belum sukses? Ya allah mengapa dia bisa kaya? Ya Allah saya sudah berdoa tetapi kok masih begini? Ya Allah mengapa masih begini-begini saja, dan lain sebagainya”.
Padahal jika mengacu kepada jawaban umum yang sering kita dengar, sebagaimana yang telah dikatakan di atas “ada hikmah dan rencana baik di balik semua ini”. Tentu hal itu membuat kita bisa legowo dan tenang menjalani hidup ini. Tapi mengapa di dalam perjalanannya masih saja hati ini mengeluh dan lebih jauh ‘menyalahkan’ keadaan dan Tuhan. Apakah memang sifat manusia yang suka mengeluh? Ternyata iya.
Jawaban tegas serta menyentuh lubuk hati yang paling dalam mengenai ke-iya-an tentang sifat manusia yang sering mengeluh dengan segala pertanyaan ‘liar’ ini pun menemukan afirmasinya. Di dalam kitab ringkasan dari Matan Al-Hikam karya Syekh Al-‘Allamah Al-‘Arif Billah Syekh Ahmad bin ‘Atha’illah (Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari), yang diringkaskan oleh Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani atau yang lebih dikenal dengan sebutan kiai Sholeh Darat Semarang (Darat, 2017).
Kitab yang diringkas oleh Kiai Sholeh Darat ini ditulis pada tahun 1868 dengan meringkas sekira 1/3 (137 hikmah dari 264 hikmah dari karya aslinya). Tujuannya untuk mempermudah masyarakat awam untuk memahaminya. Kitab ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa agar lebih mempermudah pemahaman orang yang mempelajarinya. Dan penerjemahannya dimulai pada tahun 1289 H.
Di dalam kitab ringkasan terebut, saya sebagai manusia yang lemah dan terkadang juga terjebak di dalam pertanyaan-pertanyaan itu, telah menemukan jawaban yang membuat saya semakin yakin dan legowo terkait kenyataan, kehendak, serta doa.
Di antaranya sebagaimana yang diringkas oleh Kiai Sholeh Darat pada syarah hikmah ke-4 yang berbunyi: “Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya”.
Hikmah ke-4 ini memberikan jawaban mengenai sifat manusia yang terkadang suka tergesa-gesa dalam menyikapi keadaan atau mengeluh. Padahal sejatinya, perkara rezeki sudah diatur oleh Allah. Istirahatkan dirimu dari memikirkan sesuatu yang belum terjadi, dimaknai sebagai peringatan tentang jangan banyak berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi, seperti memikirkan mau makan apa besok. Karena Allah sudah menjamin rezekimu bahkan jauh sebelum engkau ada.
Hal ini pun dapat dilihat dari 10 perkara: Pertama, ketahuilah bahwa Allah sudah mengatur urusanmu sebelum engkau ada. Kedua, engkau akan mengetahui bahwasannya keluhan yang engkau lakukan itu karena engkau tidak mengetahui kebaikan Allah padamu. Ketiga, ketahuilah bahwa sesungguhnya ketentuan Allah itu tidak berjalan sesuai keluhanmu, bahkan kebanyakan hal yang terjadi pada dirimu itu adalah sesuatu yang tidak pernah engkau pikirkan sebelumnya.
Keempat, ketahuilah bahwa Allah menguasai segala yang ada di langit dan di bumi. Kesemuannya tunduk pada perintah Allah, maka lebih besar mana antara keluhan dan isi kepalamu dengan langit beserta bumi dan seisinya? Kelima, engkau sudah mengetahui bahwa dirimu milik Allah. Sehingga segala yang berkaitan dengan dirimu sudah ada yang mengatur. Keenam, hendaknya engkau mengetahui bahwa engkau ini hanya bertamu kepada Allah. Adapun hak-hak seorang tamu adalah tidak perlu ikut mengurus hal-hal yang menjadi kewajiban pemilik rumah. Ketujuh, maka jika engkau sudah mengetahui bahwa Allah bersifat Qoyyum (Maha Mengurus makhluk-Nya) maka berserah dirilah kepada-Nya.
Kedelapan, hendaknya dirimu disibukkan dengan beribadah. Kesembilan, sesungguhnya engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah hamba Allah, dan hak-hak hamba adalah hendaknya tidak ikut mengurusi sebagaimana tuannya. Kesepuluh, sesungguhnya engkau tidak mengetahui akhir suatu perkara, engkau menganggap suatu perkara itu bermanfaat, namun nyatanya itu membahayakan, engkau anggap berbahaya tapi nyatanya bermanfaat.
Dari ke 10 perkara tersebut, perkara ke 10 lah yang menemukan relevansi dan jawaban atas musibah yang dialami kedua bapak di atas. Di mana dalam kaca mata manusia yang lemah ini, apa yang dialami oleh bapak tersebut meski menurut kita sangat berbahaya ternyata itu merupakan “jalan pintas” Allah di dalam mengangkat derajat hambanya. Hal itu terbukti dari, seandainya bapak tersebut tidak terkena musibah yang dikehendaki Allah, mungkin hati kita tidak akan tergerak untuk menolongnya. Karena di dunia ini tidak ada yang kebetulan terjadi. Kehendak hati manusia untuk tergerak dalam membantunya juga merupakan gerakan Allah yang membukanya.
Ketergesa-gesaan dan kelancangan kita di dalam menilai sesuatu melalui ‘pertanyaan mengapa?’ Melalui penjelasan ini juga merupakan bukti dari kelemahan diri ini di dalam memaknai setiap sesuatu, yang sejatinya hal itu sudah diatur oleh Allah. Adapun kesibukan kita di dalam mengeluhkan sebagai bagian dari buta mata hatinya juga mendapatkan jawabannya di dalam syarah hikam ke-5 yang berbunyi; “Kesungguhan untuk mencapai sesuatu yang telah dijamin pasti sampai kepadamu, dan (disertai) keteledoranmu terhadap kewajiban yang telah diamanatkan kepadamu, itu membuktikan butanya mata hatimu”.
Nasehat ini pun secara tidak langsung pada hakikatnya telah ‘menapar’ sanubari kita yang hidup hanya untuk mengeluh apalagi perkara rezeki padahal Allah sudah menjamin sebagaimana firmannya; “Dan berapa binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu” (QS. Al-Ankabut (29): 60).
Alhasil, barang siapa yang disibukkan dengan hal-hal yang sudah ditanggung oleh Allah dan malah meninggalkan perkara yang diperintahkan-Nya, maka amat bodohlah orang tersebut. Padahal sesungguhnya seorang hamba tidak boleh melecehkan Tuhan dalam perkara apa pun. Termasuk mengenai belum dikabulkannya sebuah doa. Boleh jadi, perkara yang engkau senangi terkadang menurut Allah buruk, sebaliknya perkara yang menurut engkau tidak disenangi menjadi suatu kebaikan.
Nasehat ini pun juga menjawab mengenai ‘pertanyaan mengapa’ belum ini dan itu, mungkin saja, dalam perkara jodoh misalnya, sesuatu yang menurut kita dia baik dan cantik tapi bagi Allah tidak baik. Karena kalau kita berjodoh dengannya mungkin kita akan bagaimana-bagaimana sebab mungkin kecintaan kita terhadap sesuatu berdasarkan kenafsuan yang mungkin itu menjadi salah satu faktor buruk yang samar dan terkadang tidak kita sadari di dalam diri. Meskipun hal itu sudah kita upayakan melalui sebuah doa. Akan tetapi, doa pun juga tidak lepas dari kehendak Allah sang pengabul doa.
Sebagaimana tersirat di dalam nasehat syarah hikmah ke-6, “Janganlah kelambatan masa pemberian Tuhan kepadamu, padahal engkau bersungguh-sungguh dalam berdoa, itu menyebabkanmu patah harapan. Sebab Allah telah menjamin menerima semua doa dalam apa yang ia kehendaki untukmu, bukan menurut kehendakmu, dan pada waktu yang ditentukannya, bukan pada waktu yang engkau tentukan”.
Dari nasehat ini pun kita dapat jawaban untuk kesadaran diri kita terkait meskipun kita sudah berharap ingin jodoh dan keinginan lain seperti ini dan itu melalui kesungguhan doa, namun jika Allah belum berkehendak hal itu tidak akan terjadi. Meskipun Allah menjamin akan mengabulkan doa.
Karena sekali lagi hal ini berkaitan dengan kelemahan dan ketidaktahuan kita sebagai manusia. Boleh jadi, doa yang takterkabul karena Allah sudah mengetahui jika engkau diberikan sesuatu sesuai dengan keinginan nafsumu engkau pasti akan ujub, lupa, egois dan hal-hal buruk yang ada pada setiap diri manusia.
Jawaban serta nasehat dari kitab syarah Al-Hikam mengenai ketidakterkabulnya doa yang terkadang mengakibatkan kita sering mengeluh dan marah inilah yang membuat diri ini makin semangat, bahagia, optimis, dan percaya diri mengenai kehendak-Nya. Sebab di dalam syarah tersebut, dijelaskan bahwa mungkin tidak terkabulnya doa kita merupakan cara Tuhan mencintai diri kita, terutama dalam soal ibadah.
Sebagaimana syarah hikmah 7: “Terkadang Allah memberimu harta dunia tapi tidak memberimu pertolongan untuk ibadah, dan terkadang Allah tidak memberimu harta dunia tapi memberimu pertolongan untuk beribadah”. Nasehat ini mengisyaratkan secara tidak langsung bahwa dengan tidak dikabulkan doa terkait urusan-urusan duniawi, sesungguhnya Allah tengah memberikan anugerah mengenai perkara akhirat.
Sebuah kenyataan nasehat yang penuh nilai-nilai filosofis yang tinggi namun jarang kita sadari. Di antara nasehat itu adalah janganlah engkau melihat sebuah pertolongan pada hal-ihwal yang tampak saja seperti, kekayaan, punya mobil, pekerjaan sukses, uang melimpah. Namun, lihatlah pada hal-hal keistiqamahan di dalam beribadah. Hal inilah yang diterapkan oleh para sufi, terkait kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Maka tidak heran jika para wali bisa berjalan di atas air terbilang hal yang biasa tapi bentuk keistiqamahannya dalam beribadah kepada Allah yang menjadikannya luar biasa.
Dan jangan pernah menganggap bahwa tidak dikabulkannya suatu doa adalah bentuk kebencian Allah kepada dirimu. Hal ini sungguh merupakan kekonyolan yang nyata. Sebab mungkin sebagaimana syarah hikmah ke-8 menyatakan bahwa, “Ketika dibuka pintu kepahaman untukmu tentang arti sebuah pencegahan (tidak memberimu perkara dunia), maka bisa jadi tidak diberikannya (perkara dunia) itu adalah hakekat pemberian”.
Maka hendaknya perlu disadari bahwa tidak diberikannya perkara dunia bukan Allah membencimu tetapi sebagai wujud kasih sayang Allah terhadapmu di balik ketidaktahuan mengenai dirimu sendiri.
Dari semua pertanyaan-pertanyaan terkait ‘mengapa’ di atas, secara keseluruhan telah dijawab dengan sangat tegas dan menyentuh yang terangkum di dalam satu kalimat bahwa, “Allah sayang dan selalu hadir bersama hambanya”.
Daftar Pustaka
Soleh Darat (2017). AL-Hikam K.H. Sholeh Darat Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1930 M). Bogor: Sahifa Publishing.
One Comment