Wabah post-modernisme bak malapetaka bagi Iran. Dampaknya, gelombang resistensi dari rakyat sendiri terus saja bergulir. Mereka yang “tercerahkan” oleh budaya Barat mulai tak nyaman dengan iklim demokrasi Iran. Ketidaknyamanan itu buntut dariketimpangan hak dan kebebasan yang tak kunjung tiba. “Kenapa kami terlalu kontras dengan rakyat lainnya di belahan dunia sana?” Sebuah pertanyaan yang terus menderu di benak rakyat Iran.
Kontrol penguasa konservatif yang teramat ketat, mengharuskan mereka menghalalkan cara-cara subversif. Popular medium seperti musik, film, dan media sosial tentunya sangat membantu mereka dalam hal ini.Meski harus kucing-kucingan dengan penguasa, gerakan protes terus saja digelinding.Bahkan, konsekuensi semacam pencekalan secara paksa dan dadakan sudah seperti sarapan pagi bagi muda-mudi Iran. Seperti halnya yang terjadi pada Nikan Khosravi, seorang musisi Iran bergenre metal (Confess) yang kerap membuat “pekak telinga penguasa” lewat lagu-lagunya, ia diderek paksa saat sedang tidur pulas di rumahnya. Kejadian tersebut sontak memicu perhatian dunia. Tak sedikit juga negara yang mengecam tindakan garda revolusi Iran tersebut.
Kubu pendukung revolusi sepertinya memang sudah kehilangan kesabaran menanggapi ragam tingkah “pemuja-pemuja Barat” di negeri para mullah itu. Kekhawatiran terbesar mereka adalah tergerusnya nilai-nilai wilayat-i faqih sebagai asas tunggal bernegara dan berkehidupan. Dalam rangka itulah, mereka mati-matian menolak nilai-nilai Barat yang diyakini mereka sebagai “Setan Besar”. Walaupun realitanya mereka menyadari tak ada satupun senjata di dunia ini yang bisa 100% menangkal arus modernisme. Pola defensif, mungkin itu satu-satunya usaha yang bisa mereka lalukan. Sayangnya, upaya mereka itu sering menabrak rambu-rambu kemanusiaan dan kemaslahatan. Hal ini membuat banyak kalangan mulai bertanya tentang validitas dan keotentikan wilayat-i faqih, yang pada awal munculnya digadang-gadang sebagai proposal kenegaraan yang paling ampuh dan tangguh. Semula dianggap sakral, sekarang tampak munafik dan rasialis.
Aksi unjuk rasa yang masif terjadi belakangan ini di Iran, memberi sinyal memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Rouhani. Terlepas adanya konspirasi dari kubu konservatif untuk menjatuhkan Rouhani, faktanya Iran sekarang diterpa permasalahan yang begitu kompleks: kemerosotan ekonomi, korupsi menggurita, kesetaraan hak perempuan, dan sebagainya. Uniknya, demonstrasi terjadi bukan hanya dari pihak kontra pemerintah, tapi juga dari kubu pro-pemerintah. Seperti yang dilansir Budi Riza di tempo.co 1 Januari 2018, ada sekitar 4000 orang turun ke jalan menyuarakan dukungan terhadap pemerintahan Rouhani. Ini mengindikasikan adanya kontestasi bahkan keretakan di regional Iran sendiri. Kini, nilai-nilai imajinasi “kekitaan” masyarakat Iran semakin terancam.
Resistensi Kawula Muda Iran
Kejemuan dan kebimbangan kawula muda Iran tersubordinasi oleh nuansa politik yang tercipta pasca revolusi bernuansa feodal, bahkan fasis. Kemudian, kontruksi sosial yang ada tidak memberi ruang bagi mereka untuk berekspresi secara leluasa. Jangankan hard-product: KFC dan coca-cola, soft-product Barat seperti, facebook, telegram, dan instagram telah diblokir dan dicap haram. Bila ruang ekspresi sudah diekspansi terlalu jauh, sedangkan dinamika globalisasi kian membengkak, maka benturan kepentingan menjadi hal yang takternafikan lagi.
Pun demikian nasib perempuan Iran, sangat berjarak dengan kebebasan dan kesetaraan. Protes besar-besaran oleh kaum mudi Iran yang mengemuka beberapa bulan belakangan ini, merupakan natijah dari sikap represif penguasa. Pemberlakuan wajib hijab menjadi pemicunya. Adalah Vida Movahed, seorang wanita Iran yang mempelopori penanggalan hijab saat demonstrasi. Meski harus berakhir di bui, aksinya tersebut sontak membius 28 perempuan Iran lainnya untuk melakukan hal serupa. Bagi perempuan Iran, berjuang untuk dibolehkan tidak memakai hijab bukan perseteruan untuk sepotong kain, tapi perjuangan untuk martabat mereka.
Asef Bayat mendekripsikan fenomena ini sebagai “keparnoan” terhadap post-Islamisme. Bayat melanjutkan, resistensi muda-mudi Iran hari ini adalah warisan dari absennya gerakan-gerakan sosial yang menyertai revolusi. Dengan kata lain, rakyat Iran tidak mendapatkan pendidikan politik yang empiris. Sehingga, para penunggang tahta cenderung berwatak otoriter dan seenak perut.
Nasib Iran memang berbeda dengan Mesir: revolusi berhasil dicetuskan di Iran meski minim gerakan sosial, sedangkan Mesir bernasib sebaliknya. Tapi satu hal yang mesti dicatat, ketimpangan yang terjadi juga disebabkan moderatisme yang tidak mendapat tempat dalam wilayat-i faqih.
Kendati demikian, keinginan akan kebebasan yang dituntut pemuda Iran apakah tulen berasal dari kesadaran sosial mereka? Atau hanya terjebak dalam kubangan euforia kebebasan muda-mudi belahan dunia lain? Perlu mempertanyakan hal ini karena bisa saja pemberontakan mereka itu ditunggangi suatu kepentingan politik. Sebagaimana diketahui bersama, seusai revolusi, dualisme kekuasaan sontak terkonstruksi: kubu konservatif dan reformis.
Meski Presiden Rouhani merupakan representatif dari pihak reformis tetap saja kendali sosial dan politik diprakarsai oleh golongan konservatif. Sebuah sindiran pernah dilontarkan Rouhani, “Sesiapapun takkan bisa memaksa gaya hidup seseorang di masa depan”. Entah karena motif apa, namun ungkapan Rouhani tersebut menyiratkan tendensi kegerahan pada suatu kubu.
Tapi yang jelas, saya melihat resistensi ini hanya peralihan status domestikasi; dari kungkungan penguasa lokal ke penguasa besar (Barat). Walhasil, pikiran dan perasaan mereka tetap saja terjajah. Apapun yang mereka lakukan hanyalah usaha, meminjam sabda Albert Camus, “Menolak menjadi diri sendiri”.
One Comment