Agama pada masyarakat Indonesia dipahami secara umum sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi. Pemahaman agama diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang disaling-tukarkan dalam komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
Penegasan bahwa konsekuensi dari pemahaman keagamaan yang kaku, tidak bersifat scientific justru akan memunculkan stigmatisasi negatif terhadap peran penting agama dalam relasi kemanusiaan. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama identik dengan dogmatism, rigidity, excessive self-blaming dan gender bias.
Pada masyarakat Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek-moyang melahirkan penyembahan ruh nenek-moyang (ancestor worship) yang melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya.
Pelaksanaan upacara-upacara selametan ruh nenek-moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Stange (1988) menyebutnya sebagai “kesetiaan spiritual” yang dikondisikan oleh adanya semangat budaya.
Agama bagi masyarakat Jawa agama juga tidak terlalu dipermasalahkan, karena masyarakat Jawa memiliki pemahaman dan pemaknaan sendiri terhadap agama: ”agama ageming aji” (agama sebagai sarana kebaikan dan kebajikan), apa pun agama yang dipeluk sama saja karena semua agama mengajarkan keselamatan.
Pemaknaan”agama ageming aji” terdiri atas tafsir pemaknaan. Pertama, bahwa agama merupakan pedoman hidup yang pokok, artinya bahwa agama apa saja mengajarkan atau mengandung ajaran yang serba baik untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat di dunia ini apa pun agama yang dipeluk sama saja karena semua agama mengajarkan keselamatan.
Suseno (2001) mengatakan bahwa semua agama mengajarkan toleransi dan perdamaian serta tidak membenarkan kebencian, tindak kekerasan terhadap umat beragama dan tempat ibadatnya. Pengertian agama dan pernyataan ini menegaskan bahwa seseorang bebas memilih atau memeluk agamanya sesuai dengan keyakinannya, tanpa adanya suatu tekanan atau paksaan dari pihak lain.
Kedua, dari kata ”aji” yaitu dengan pengertian ”ratu” bahwa agama yang dipeluk oleh raja atau ratu, maka agama tersebut yang dipeluk oleh masyarakatnya. Tidak heran jika masyarakat Jawa dahulu berubah-ubah agamanya, dan perbedaan agama ini terjadi karena mengikuti dari agama dan keyakinan raja atau ratunya (lihat Muhamad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta: LESFI,2002, 56).
Tipologi pemaknaan agama sebagaimana tersebut di atas pada akhirnya menjadikan pluralitas, keberagamaan terjadi dan banyak dijumpai pada masyarakat Jawa. Pemaknaan tersebut masih berlaku sampai sekarang. Sehingga tidak heran dijumpai pada keluarga masyarakat Jawa terdapat lebih dari satu macam agama.
Masyarakat Jawa beranggapan bahwa “semua agama itu mengajarkan kebaikan jadi terserah mau memilih agama apa saja, karena agama hanyalah untuk sarana menuju kepada kehidupan yang kekal (surga)”.
Menurut Sujamto (1992) aktualisasi komitmen keagamaan dalam wujud toleransi luar biasa ini menjadi dasar semangat untuk menghormati, menghayati serta mengamalkan semua nilai kebenaran dari manapun sumbernya yang dilandasi keyakinan orang Jawa, agama hanyalah untuk sarana menuju kehidupan yang kekal dan pemahaman bahwa “sadaya agami punika sami” (semua agama hakekatnya adalah sama).
Sisi moralitas, harmonisasi dan etis pada masyarakat Jawa yang perlu digarisbawahi adalah; adanya sifat toleran, akomodatif dan kelenturan (flexibility) dari masyarakat Jawa itu sendiri.
Menurut anggapan beberapa pakar, ciri paling menonjol dari religiousitas Jawa adalah sinkretisme atau sinkretisme Jawa. Brandon (1970) dalam A Dictionary of Comparative Religion menyebutkan bahwa sinkretisme atau syncretism bermakna gabungan (fusion) dari berbagai aliran keagamaan yang sudah terjadi sejak zaman Yunani-Romawi sekitar 300-200 tahun sebelum Masehi, baik yang terjadi secara spontan ataupun karena adanya pengaruh penguasa.
Sedangkan menurut Lexycon Webster Dictionary kata syncretism dijelaskan; “attempted blending of irreconcilable principles or parties”, serupa dengan pengertian yang dijelaskan Dictionary of Sociology and Related Sciences, syncretism; “the process of amalgamation of conflicting or at least different, parties or principles or cultures”.
Kalimat sinkretisme Jawa, atau gejala sinkretisme Jawa, jika merujuk pada beberapa pengertian di atas, sinkretisme yang menunjuk pada proses pertemuan atau perpaduan dua (atau lebih) faham (aliran).
Namun secara historis kapan sinkretisme terjadi di Jawa, terdapat perbedaan pendapat, semisal Johan Hendrik Kern, menggunakan istilah vermenging, berbeda dengan istilah yang dipergunakan Gonda dengan coalition. Dalam hal ini Kern dalam uraiannya cenderung lebih hati-hati untuk tidak menggunakan istilah “sinkretisme”, melainkan vermenging atau percampuran.
Berbeda dengan Kern, Rassers justru terang-terangan menggunakan istilah sinkretisme dan sinkretisme Jawa dalam karangannya; Ciwa en Boeddha in den indischen Archipel (1962). Rassers bahkan tak ragu mempergunakan istilah “agama Jawa” untuk menamai produk percampuran kedua agama, antara Hindu dan Buddha yang diramu dengan berbagai unsur-unsur keyakinan asli Jawa.
Geertz(1981) mengungkapkan bahwa istilah sinkretisme (Jawa) dalam kehidupan beragama di Jawa diindikasikan akibat pengaruh dari luar. Menurutnya, meskipun kepercayaan animisme sudah mengakar sejak dahulu kala, orang Jawa berturut-turut menerima agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, lalu “menjawakan” semuanya.
Hal ini dapat dijumpai pada pemujaan roh halus masih ada di tingkat terdalam psikologi masyarakat Jawa. Di kalangan mereka dikenal : “sedaya agami sami kemawon” (semua agama adalah sama)…walaupun 90% penduduk menganut Islam, mereka termasuk “wong abangan” yang menganut kepercayaan tradisional berkedok Islam.
Berdasarkan uraian di atas kurang tepat jika kita simpulkan bahwa hubungan yang amat mesra antara agama Hindu dan Buddha di Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur sebagai sinkretisme.
Harmonisasi yang terjadi antara Hindu dan Buddha lebih tepat jika disebut dengan toleransi yang luar biasa, yang dilandasi semangat untuk menghormati dan menghayati serta mengamalkan semua nilai kebenaran, dari manapun sumbernya.
Mukti Ali (1973) menjelaskan adanya lima ‘jalan’ yang dapat ditempuh oleh umat beragama untuk mewujudkan kedamaian dan kerukunan dalam realitas yang majemuk dan pluralistik. Berbicara tentang sinkretisme, beliau mengungkapkan bahwa sinkretisme adalah paham keyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama.
Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari Terang Asli yang Satu dan sebagai ombak dari samudera yang Satu.
Aliran ini disebut pula Pantheisme, Pan-komisme, Universalisme atau Theo-panisme. Tokoh terkenalnya adalah S. Radhakrishnan, seorang ahli pikir India. Jalan ini tidak dapat diterima sebab dalam ajaran Islam, misalnya, Khaliq (sang Pencipta) adalah sama sekali berbeda dengan makhluk (yang diciptakan). Dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa seseorang berbakti dan mengabdi.
Beliau juga mengungkapkan bahwa pendekatan “setuju dalam perbedaan” (agree in disagreement) merupakan gagasan yang menekankan bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik.
Meskipun demikian ia mengakui, di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Pendekatan ini cukup ideal karena akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati.
Semangat untuk menghargai kemajemukan, serta penghormatan terhadap yang lain yang berbeda (the others), membuka diri terhadap warna-warni keyakinan, kerelaan untuk berbagi (sharing), keterbukaan untuk saling belajar (inklusivisme), serta keterlibatan diri secara aktif di dalam dialog dalam rangka mencari persamaan-persamaan (commonbelief) dan menyelesaikan pelbagai konflik.
Sujamto (1992) dalam bukunya Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, berpendapat bahwa semangat toleransi keberagaman ini dengan istilah tantularisme. Semangat yang terpancar dari kalimat Empu Tantular; “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Seorang tantularis tidak pernah beranggapan bahwa hanya agamanya yang paling benar. Seorang tantularis senantiasa menghormati agama lain dengan tulus, karena ia yakin bahwa banyak jalan menuju kepada Tuhan yang satu.[1]
Tantularisme menjadi inti terdalam dari pandangan hidup Jawa. Sinkretisme hanyalah arus permukaan yang tampak lebih dulu karena kurangnya pemahaman dalam menyelami pandangan hidup Jawa.
Dalam filosofi Jawa, manusia bukannya harus pasif dan tanpa daya dalam menghadapi takdir atau nasibnya, tetapi harus bekerja giat dalam menyongsongnya, dilandasi dengan semangat memayu hayuning bhawana dan semangat sepi ing pamrih rame ing gawe.
Ungkapan seperti sapa sing tumemen bakal ketemu, sapa sing tekun mesthi bakal tekan, jer basuki mawa beya, ngundhuh wohing pakarti pada dasarnya tidak terlepas dari apa yang dinamakan hukum karma sebagaimana kutipan Randhakrishnan; “character is destiny” atau “man’s character is his fate”-nya Bertrand Ruseel, sejatinya adalah manifestasi semangat tantularisme yang universal.
[1] Bandingkan dengan teori Frithjof Schuon dalam The Transcendent Unity of Religions (kesatuan transendental Agama-agama). Frithjof Schuon menggunakan sebuah perangkat, yang ia sebut sebagai ‘filsafat Perennial’ (philosophia perennis, yang kemudian oleh Sayyed Hossein Nasr diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi al-hikmah al-khâlidah, lihat Budhy Munawar Rahman, Menguak Batas-batas Dialog Antar Agama dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan ‘Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. IV Th. 1993, 8. Menurut Smith, wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris, lihat Huston Smith, “Pengantar”, dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. Saafroeddin Bahar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Sumber Rujukan
Stange, Paul, Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa (terj.) Yogyakarta: LKIS, 1998.
Suseno, Franz Magniz, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia, 1984.
Damami, Muhamad, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI,2002.
Kusmiati, Hubungan Suami-Istri Yang Berbeda Agama Di GKJ Salatiga Timur. Salatiga: Fakultas Theologi UKSW, 1992
Sujamto, Re- Oreintasi dan Revitalisasi: Pandangan Hidup Masyarakat Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Brandon, S.G.F. (Gen. Ed). A Dictionary of Comparative Religion. London: Weidenfield and Nicholson, 1970
The Lexycon Webster Dictionary, Volume II, 1977, 995
Rasser, Ciwa en Boeddha in den indischen Archipel. terj. dalam C. Ivodan Buddha. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982.
Rahman, Budhy Munawar. Menguak Batas-batas Dialog Antar Agama dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan ‘Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. IV Th. 1993.
Smith, Huston. “Pengantar”, dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. Saafroeddin Bahar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Randhakrishnan, S. The Present Crisis of Faith. New Delhi: An Orient Paperback, 1970.
Russel, Bertrand. Mysticism and Logic. London: Unwin Books, 1974.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment