Dakwah dan hijrah mungkin dua hal yang takterpisahkan. Dakwah mengajak kepada hijrah (baca: berbenah diri), hijrah (baca: pindah) esensinya adalah membawa misi dakwah. Fenomena hijrah yang marak belakangan ini tidak hanya terjadi di kalangan orang awam atau anak-anak muda milenial saja tetapi terjadi juga di kalangan pelaku dunia hiburan. Sekilas memang tidak ada yang salah dengan perubahan mereka untuk menjadi individu yang lebih baik. Ini perlu kita apresiasi dan dukung bersama.
Namun, ada satu hal yang menjadi kegelisahan saya dari fenomena hijrah ini, yaitu hilangnya otoritas keagamaan para kiai, syekh, tuan guru, ustad, atau ahli agama dengan sebutan lainnya. Pelaku hijrah tanpa tedeng aling-aling dengan mudah memberikan fatwa bahkan tanpa dipinta. Kita bisa lihat para pelaku hijrah di sekitar kita yang hampir per sekian jam bahkan menit menyampaikan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi melalui media sosial.
Hanya bermodalkan kajian yang didapatkan dari video-video di youtube atau copy-paste artikel di dunia maya mereka seolah adalah juru dakwah yang punya kewajiban menyampaikan ini itu kepada umat. Saya teringat seorang ulama kontemporer Mesir, Syeikh Muhammad al-Ghazali, pernah menyampaikan kegelisahannya tentang sejumlah orang yang mendadak ngustad. Ia menyebut orang-orang tersebut sebagai orang yang “menuntut ilmu pada hari Sabtu, mengajarkannya pada hari Ahad, menjadi mahaguru pada hari Senin dan pada hari Selasa mensejajarkan diri bahkan merasa lebih pintar dari ulama.” Artinya, begitu instannya menjadi seorang ahli agama dan juru dakwah.
Memang benar setiap kita punya kewajiban berdakwah tetapi ada aturan main dan tidak sembarangan. Sederhana saja, sekolah dengan benar, rajin, tidak bolos itu sudah bernilai dakwah bagi seorang pelajar. Tidak usah muluk-muluk. Tidak curang dalam menimbang itu dakwah versi seorang pedagang. Begitu pula profesi-profesi lainnya. Bukankah dakwah bi al-hal (dakwah dengan tindakan) lebih efektif dari pada dakwah bi al-lisan (dakwah dengan ucapan) saja?
Salah satu dalil yang kerap menjadi motivasi untuk segera berdakwah adalah hadis Nabi yang berbunyi “sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Saya pernah bertanya kepada seorang teman yang baru hijrah, yang selalu mengutip hadis tadi. Saya tanya, siapa yang meriwayatkan hadis tersebut? Bagaimana redaksi (matan) lengkapnya? Bagaimana kualitasnya? Bagaimana penjelasannya? Ya, tentu bingung dia menjawabnya.
Kalimat tersebut sebenarnya merupakan potongan dari sebuah hadis yang redaksi lengkapnya adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi saw. bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Israil dan itu tidak mengapa (dosa). Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka pilih sendiri tempatnya di neraka.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis seperti al-Bukhari, al-Tirmidzi, Ahmad ibn Hanbal, al-Darimi, dan ‘Abd al-Razzaq. Mereka sepakat menilai hadis ini dengan kualitas sahih. Setidaknya ada tiga poin yang ingin disampaikan oleh Nabi saw. melalui hadis ini.
Pertama, perintah menyampaikan kembali apa yang pernah Nabi sampaikan di suatu majelis baik itu berupa ayat al-Quran maupun ucapan Nabi sendiri kepada sahabat yang kebetulan tidak hadir pada saat Nabi menyampaikannya. Ini senada dengan apa yang pernah Umar ibn Khatthab dan tetangganya lakukan. Mereka saling menyampaikan apa yang mereka dapatkan di majelis Nabi apabila salah seorang dari mereka tidak dapat hadir.
Kedua, bolehnya menerima riwayat atau mendengar kisah dari seorang Bani Israil untuk diceritakan kembali dengan catatan bahwa tidak ada indikasi mereka itu berbohong. Ketiga, larangan berdusta atas nama Nabi saw. yang Nabi sendiri tidak pernah mengatakannya. Misalnya, membuat hadis palsu meskipun isi dan tujuannya baik, itu tetap dilarang.
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Kata ayat dalam hadis tersebut, menurut al-Baidhawi, maksudnya adalah ayat al-Quran. Sedangkan menurut al-Shan’ani, kata ayat itu hanyalah suatu tamtsil (perumpamaan), namun yang dimaksud adalah setiap sesuatu yang berasal dari Nabi baik itu al-Quran maupun hadis.
Ungkapan ballighu ‘anni (sampaikanlah dariku), menurut al-Shan’ani, maknanya adalah sampaikanlah sesuatu (syari’at) yang berasal dariku kepada orang-orang yang tidak hadir (di majelisku). Dari penjelasan al-Shan’ani tersebut dapat kita pahami bahwa perintah tabligh tersebut ditujukan oleh Nabi kepada para sahabat yang hadir di majelis beliau. Tentu, orang yang hadir di majelis Nabi memahami betul apa yang Nabi sampaikan.
Artinya, perintah tabligh dalam hadis yang kita bicarakan ini secara tidak langsung mensyaratkan bahwa orang yang diperintahkan menyampaikan ayat haruslah orang yang mempunyai pengetahuan serta pemahaman yang utuh dan benar. Bukan pengetahuan yang sepotong-sepotong. Apalagi pengetahuan hasil copy-paste. Oleh karena itu, idealnya seorang yang hijrah atau baru belajar agama tidak keburu ingin menjadi juru dakwah. Cukup mendatangi guru (sowan), belajar, belajar dan terus belajar. Semua ada saatnya.
Shodaqta
mantaaaap