Pada bagian ini, tentu saja masih terkait dengan bagian pertama (Mengais Metode Belajar Membaca Al-Qur’an [1]) dan kedua (Mengais Metode Belajar Membaca Al-Qur’an [2]), saya akan melanjutkan gambaran kondisi yang menjadikan proses aplikasi metode belajar membaca Al-Qur’an dirasa kurang efektif.
Lebih spesifik, di bagian ketiga ini berkaitan dengan pembentukan makharijul huruf pada peserta didik.
Penting, menjelaskan asal (tempat) keluarnya bunyi huruf dan memperhatikan gerak bibir
Sub tema di atas, bisa jadi, kurang mewakili penjabaran yang akan saya ungkap di bawah ini. Namun, pada intinya saya akan menjelaskan pentingnya mengungkap kenyataan, meskipun pahit. Hehe
Pada saat proses belajar mengajar Al-Qur’an, yang menjadi salah satu hal utama adalah pengetahuan mengenai makharijul huruf. Makharijul huruf sendiri dalam bahasa Indonesia berarti “tempat keluarnya (bunyi atau suara) huruf”.
Artinya menempatkan komponen atau alat untuk mengeluarkan suara (lidah, rongga mulut, rahang dan bibir) pada posisi yang tepat, sehingga menimbulkan bunyi atau suara dari suatu huruf.
Seorang pengajar seharusnya sadar dan mengetahui bahwa ia bertindak sebagai seorang praktisi yang memfasilitasi peserta didik agar mengetahui makharijul huruf dengan nyata.
Tidak jarang terjadi, pengajar membiarkan peserta didik cukup dengan menirukan suara yang dicontohkan olehnya. Semisal pengajar memberi contoh membunyikan suara huruf jim (ja), kemudia peserta didik menirukannya.
Yang terjadi kemudian, pengajar menganggap itu cukup karena beranggapan sepele “Toh suaranya tidak beda dari konsonan “J”, jadi tidak perlu dipersulit”.
Namun benarkah makhraj huruf jim adalah sebagaimana makhraj konsonan “J”? Tentu saja tidak, dan tentu terdapat perbedaan antara keduanya.
Dan untuk mengetahui perbedaan itu, saat mempraktikkan makhraj huruf tersebut seyogianya pengajar mengarahkan peserta didik agar memperhatikan posisi dan bentuk bibir pengajar.
Setelah itu peserta didik mencoba mempraktikkan sesuai yang telah dilihatnya dari sang pengajar. Dan agar saat itu pengajar memperhatikan serta memberikan koreksi.
Selain itu, perlu juga dijelaskan kepada peserta didik mengenai di mana letak perangkat pengeluar bunyi menempati posisinya.
Semisal huruf dal, maka letak lidah adalah ujungnya menuju menempel pada langit-langit (langit-langit pasti atas ya) bagian ujung dan menekuk kebawah sedikit hingga menyentuh bagian dalam ujung gigi atas.
Berbeda dengan dzal, letak lidah tidak boleh menempel pada langit-langit, tetapi langsung lurus meluncur hingga menempel pada dua ujung gigi atas dan bawah.
Penjelasan-penjelasan makhraj semacam ini sangat penting, apalagi bagi pemula. Meskipun dalam kitab-kitab gundul dan gondrong yang membahas tajwid dan makhraj terdapat keterangan posisi alat bunyi (bibir, lidah dan sebagianya).
Namun penjelasan rinci dengan bahasa yang ‘membumi’ sebagaimana di atas masih belum banyak dirangkum, selain pada praktik-praktik yang sudah dilakukan oleh pengajar.
Dus, penjelasan makhraj yang demikian, tentu juga teramat penting untuk peserta didik penyandang disabilitas seperti tunanetra. Yang mereka tetap ingin membaca Al-Qur’an dengan makhraj yang baik dan benar.
Melonggarkan sama dengan “membiasakan kesalahan”
Oleh karena itu, wahai saudara-saudaraku seiman, yang dirahmati Allah. Saat kita mengetahui betapa pentingnya hal ini, ya, sebagaimana yang telah saya ungkap di atas. Sebaiknya, saat dalam proses belajar membaca Al-Qur’an agar menghindari melonggarkan makharijul huruf.
Karena hal yang terjadi di lapangan, pengajar terkadang terbawa oleh perasaan iba untuk menekankan, dengan memberikan koreksi makhraj, pada peserta didik.
Dalam hal ini jika memang peserta didik semestinya sudah seharusnya dapat dengan benar mempratikkan makhraj yang sesuai, maka tidak pas jika kita segan untuk mengoreksi dan membetulkanya. Meskipun harus berkali-kali.
Ibarat pepatah: “Jangan kasih kendor!”
Karena jika terlanjur sering dimaklumi dan dilonggarkan, akibatnya peserta didik akan terbiasa, dan sayangnya terbiasa dengan kesalahan (dalam makhraj). Bersambung…
0 Comments