Jika kita sedang berperan sebagai seorang penuntut ilmu maka boleh jadi kita akan mencari seorang guru yang sesuai. Kita juga akan memilih sebuah metode yang sesuai, yang digunakan dalam pembelajaran yang akan kita gunakan saat kita sebagai pengajar.
Akan tetapi, mungkin saja, kita menemukan suatu keadaan di mana kita hanya seorang murid yang “terpaksa” menerima guru dengan metode pembelajaran yang sudah ditentukan olehnya atau oleh lembaga.
Dengan memahami kondisi tersebut, semestinya jika kita dalam posisi sebagai seorang guru atau pengajar maka seyogianya kita memberikan gambaran terlebih dahulu kepada sang murid bagaimana metode yang akan kita gunakan dalam pembelajaran. Hal ini tidak terkecuali dalam metode belajar membaca Al-Qur’an.
Sebuah metode dengan pakem tertentu tidak dapat dipungkiri memiliki keunggulan dan kelemahan. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud mengunggulkan salah satu metode belajar membaca Al-Quran tertentu, ataupun menyudutkan yang lainnya.
Dalam tulisan ini saya akan mengemukakan bagaimana polemik yang saya alami saat dalam proses pembelajaran dan pengajaran.
Menghilangnya Metode Tertua
Terdapat sebuah metode belajar membaca Al-Quran yang cukup tua yang disebut dengan metode “Baghdadi”-terkait asal usulnya tidak akan saya bahas di sini.
Metode ini cukup efektif untuk memperkenalkan huruf hijaiyah, dari namanya, bentuk awalnya (belum bersambung dengan huruf lain), dan bentuk sambungnya.
Metode ini pun langsung pada perkenalan nama-nama harokat, pengaruhnya pada bunyi huruf, dan cara pengucapannya. Sayangnya metode ini telah lama hilang seiring munculnya metode yang lain.
Sebagai pengamatan pribadi, saya menyarankan penggunaan metode Baghdadi ini untuk diadopsi ke dalam metode lain, dalam kelas atau jilid persiapan. Pasalnya metode ini sangat penting, karena di lapangan saya menemukan beberapa kasus anak-anak tidak mengenali nama-nama huruf hijaiyah.
Kenapa penting mengetahui nama huruf hijaiyah? Karena ia adalah modal dalam pembelajaran ilmu tajwid (teori). Bagaimana mungkin seorang murid yang tidak dapat mengenali huruf hijaiyah dapat memahami materi tajwid tersebut?
Misalnya ketika materi yang menjelaskan bacaan Ikhfa’ Haqiqi, yaitu apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu huruf 15 kemudian disebutkan huruf-huruf tersebut, mulai ta’ hingga kaf. Jika tidak mengetahui nama huruf, tentu harus belajar kembali dan mengulang lagi pelajaran yang seharusnya sudah tuntas dari awal dan masih terekam kuat dalam ingatan.
Metode Membaca dengan Ketukan yang “Salah Ukur”
Selain hilangnya metode Baghdadi tersebut, polemik lain adalah munculnya metode membaca dengan mengacu pada ketukan. Yang pada kasusnya berbeda dari bacaan-bacaan Al-Quran pada umumnya.
Sebenarnya metode ini tidak terlalu salah. Akan tetapi pada faktanya, terjadi kesalahan dalam ukuran ketukan (jika menganut bacaan dengan aturan riwayat Hafsh).
Misalnya, ketika bacaan madd asli yang dalam ilmu tajwid ukuran panjangnya adalah 1 alif atau dua harakat yang sama dengan dua ketukan, ternyata terdapat salah satu metode belajar Al-Quran yang ketukannya melebihi ukuran itu. Dengan kata lain ia menjadi terlalu panjang.
Sedangkan ketika bacaan ghunnah (dengung dengan menahan sedikit lama), terjadi kurangnya ukuran dari ukuran yang sesuai. Artinya, ia terlalu sebentar dengungnya.
Sedangkan hal yang demikian tadi adalah hasil dalam proses pembelajaran yang diterapkan oleh metode tersebut (yang tidak perlu saya sebutkan).
Masih banyak lagi polemik-polemik yang saya alami, yang mudah-mudahan dapat saya ungkap di bagian selanjutnya. Bersambung…
2 Comments