Al-Imam Habib Abdullah bin ‘Alawi Al-Haddad tentulah bukan nama yang asing lagi bagi telinga umat Islam Indonesia, bahkan kaum muslim di pelbagai belahan dunia Islam, nama beliau bukan saja terkenal sebagai pengarang kitab Ratib al-Haddad dan Wirdul Lathif. Namun, sekaligus juru bicara ‘alawiyyin yang merumuskan etika dan thariqah dalam perjalanan tasawuf ‘alawiyyin yang berkembang dalam sejarah Islam selama berabad-abad lamanya, yang sebagian besar dianut kaum muslim tradisional dalam komunitas Sunni.
Al-Imam al-Allamah Habib Abdullah bin ‘Alawi Al-Haddad dilahirkan di pinggiran Kota Tarim, sebuah kota terkenal di Hadramaut, pada malam hari, 5 Shafar 1044H, dan dibesarkan di kota itu. Ayahandanya adalah as-Sayyid ‘Alawi bin Muhammad Al-Haddad. Seorang laki-laki saleh dan bertakwa. Di bawah bimbingan ayahandanya inilah ia memperoleh pelajaran al-Qur’an dan menghafalnya, di samping mendalami ilmu-ilmu lainnya, kendati telah kehilangan pengelihatan mata sejak kecil. Ia dikenal sebagai seorang tokoh sufi besar dan alim.
Banyak sekali karyanya yang menggugah spiritualitas. Bukan saja menggugah spiritualitas, tetapi juga membuka pemahaman yang baru mengenai hubungan antara agama dan masyarakat. Habib Abdullah, melalui karya-karyanya, berusaha menyadarkan manusia tentang arti penting hubungan ulama dan penguasa. Dr. Musthafa Hasan al-Badawi dalam bukunya yang bertajuk “al-Imam al-Haddad Mujaddid al-Qarn ats-Tsani Asyara al-Hijry. Menjelaskan dengan baik mengenai risalah Habib Abdullah mengenai hubungan agama dan masyarakat.
Salah satu benang merah yang bisa dijadikan gambaran mengenai kehidupan zaman sekarang dalam buku tersebut, adalah perkataannya tentang fitnah. Seperti diketahui bahwa sebelum dan sesudah pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres). Kehidupan masyarakat Indonesia seakan tidak pernah berhenti disuguhi mengenai berita-berita tentang kebohongan atau hoax. Seakan berita-berita bohong itu sudah menjadi bagian keseharian dari masyarakat zaman sekarang. Fenomena ini sesuai seperti perkataan Habib Abdullah.
Sebagaimana perkataannya, bahwa “engkau jangan menyangka bahwa fitnah pada zaman ini akan berhenti, tidak, bahkan jika engkau melihat fitnah berhenti maka fitnah itu seperti api di bawah abu, tidak mati, tetapi tertutupi karena manusia dikuasai cinta dunia, harta, dan tahta. Barang siapa yang cinta kepada harta dan tahta, maka ia tidak tergolong kecuali masuk dalam fitnah sehingga dirinya terbebas darinya. Barang siapa tidak takut api dan tidak takut celaan, maka jangan anggap ia sebagai manusia.”
Ketinggian pemahaman Habib Abdullah akan realitas masyarakat di atas menggambarkan bagaimana sosok Habib Abdullah dengan wejangan-wejangannya mampu mengorek moralitas manusia yang mengalami dekadensi moral. Lebih jauh, perihal hubungan ulama dan penguasa Habib Abdullah berkata, “tidak akan rusak sebuah masyarakat pada agama mereka kecuali para ulama, hal ini setelah rusaknya agama para ulama mereka. Dan juga tidak akan rusak sebuah masyarakat di dunia kecuali para penguasa, hal ini setelah rusaknya dunia mereka. Maka dengan rusaknya ulama, agama akan rusak dan dengan rusaknya para penguasa, dunia pun akan rusak.”
Ulama yang dimaksud oleh Habib Abdullah adalah ulama yang su’ (buruk). Di mana seorang yang ‘alim berbicara kecuali untuk mengambil muka orang lain dan tidaklah orang bodoh yang mendengarkannya karena semuanya tenggelam dalam mencari dunia.’ Namun demikian, di antara masyarakat itu ada saja orang-orang yang memanfaatkan agama sebagai kepentingan politik yang kerap dipolitisasi dengan membabi buta misalnya, adalah fatwa yang diperlakukan sebagai kebenaran mutlak. Padahal persoalan yang dibahas sebatas masalah politik praktis.
Secara tersurat, makna dari apa yang dikatakan oleh Habib Abdullah di atas bagaikan sebuah batu bata yang ditempatkan pada tempatnya yang benar dan tidak mentaati arahan yang menyebabkan kerusuhan yang menyeluruh sebagaimana yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, bagi para pengkaji keislaman tentu tidak bisa menafikan pemikiran Al-Imam Al-Habib Abdullah bin ‘Alawi Al-Haddad. Tidak berlebihan jika namanya dalam ranah pemikiran dan sufisme Islam sejajar dengan Syekh Abdul Qodir al-Jailani, Jalaluddin Rumi, dan Al-Ghazali.
0 Comments