Rakyat Saudi sedang girang atas kehadiran bioskop pertama di negara mereka, setelah dilarang sejak tahun 1980an. Kehadiran bioskop di kota Ka’bah itu menandai keseriusan Muhammad Bin Salman (MBS) menggalang misi reformasi.
Reformasi itu sendiri merupakan bagian dari upaya membangun pundi-pundi finansial Saudi menuju visi 2030, setelah sektor minyak diragukan menjadi penopang perekonomian Saudi di masa-masa akan datang.
Bahkan rencananya Saudi akan membangun tidak kurang 40 bioskop di 15 kota untuk lima tahun mendatang. Diperkirakan industri bioskop ini akan menggenjot pemasukan hingga 24 milliar dollar AS dan membuka lapangan pekerjaan bagi 3.000 lebih rakyat Saudi.
Film Hollywood, Black Panther, didaulat menjadi film pertama yang diputar pada sesi peluncuran bioskop tersebut. Ada apa dengan Black Panther?
Film yang dinakhodai oleh Ryan Coogler ini terbilang sukses menarik antusiasme masyarakat dunia. Dengan mengambil latar budaya dan sosial masyarakat Wakanda, –konon katanya daerah ini memiliki tampilan geografis yang eksotis dan memukau, film ini berhasil melenakan penontonnya.
Walaupun narasi yang diangkat di film ini sangat sederhana, tapi muatan filosofis dan ideologisnya sangat kental. Spirit revolusi yang mengakar kuat dalam diri seorang T’Challa (raja Wakanda) mendorong dirinya untuk membuat perubahan besar bagi Wakanda. Sebuah perubahan yang akan mengangkat martabat negerinya, dan lebih progresif dari pemerintahan ayahnya, T’Chaka.
Spirit ini pulalah yang sedang diperagakan MBS. Sejak pertangahan 2017 hingga kini, MBS tak henti-hentinya mengotak-atik format pemerintahan menuju Saudi yang lebih demokratis dan terbuka. Ambisi MBS ini memaksanya bertolak belakang terhadap jalan pikiran para pendahulu negerinya.
Selanjutnya, pemilihan sebuah daerah terpencil di Afrika Selatan yang bernama Wakanda itu sebagai lokasi utama pembuatan film, merupakan representatif dari dunia ketiga. Kekayaan budaya, etnis, dan alamnya benar-benar menyitrakan kemegahan dan kebesaran dunia ketiga. Apalagi sebagian besar pemeran filmnya adalah berkulit hitam. Seolah ada sebuah pesan yang ingin diperdengarkan ke seluruh warga dunia, “kami bermartabat”.
Karena dilemanya selama ini, Benua Afrika khususnya, selalu bertekuk lutut di kaki penguasa negara-negara superior. Fakta yang dimuat di film ini mengindikasikan keselarasan misi Saudi yang berorientasi menjadi negara adidaya dan berdikari, terutama di zona Timur Tengah. Sebab realitanya, kekayaan alam dan minyak yang dimiliki tetap saja tidak membuat Saudi beranjak dari hegemoni dan intervensi Barat, bilkhusus Amerika.
Pemberdayaan dan efektivitas peranan perempuan yang merupakan salah satu wacana reformasi Saudi turut terwakilkan dalam film yang diproduseri oleh Marvel Studios tersebut. Dapat dilihat betapa signifikannya peran perempuan dari tokoh Nakia (kekasih T’Challa), Ramonda (Ibu T’Challa), dan adiknya, Shuri dalam menuntaskan ragam kemelut yang terjadi.
Bahkan, Shuri sempat menunjukkan sisi maskulinnya lewat bahasa yang bernada mengancam, “Jangan banyak gerak, dasar penjajah”. Ungkapan yang ditujukan kepada K. Ross yang notabene berkulit putih itu terkesan begitu sarkas dan menggigit, juga sarat kadar feminisme. Intinya, dimaksudkan agar peran ketiga tokoh perempuan dalam film itu dapat membius kaum perempuan Saudi untuk turut berpartisipasi aktif menunaikan visi Saudi 2030.
Beberapa asumsi di atas kemungkinan besar menjadi motif jatuhnya pilihan terhadap “Black Panther” sebagai film perdana di “hari bersejarah” bagi rakyat Saudi tersebut. Jika selama ini mereka harus terbang ke Bahrain atau UEA hanya sekadar untuk nonton bioskop, sekarang tidak lagi. Terakhir, harapan kita bersama tentunya, semoga bioskop di Saudi tidak menjadi lahan kencan bagi muda mudi yang sedang kasmaran. Apalagi kencannya pakai surban. Bid’ah Dhalālah.
One Comment