Tidur Ketika Puasa Ibadah?

Sebagian orang, melegitimasi tidur sebagai ibadah dengan berdasar pada hadis. Maka kemudian gejala tersebut menjadikan sebagian orang malas untuk beraktifitas.2 min


6
5 shares, 6 points
Sumber foto: sehatfresh.com

Momentum bulan Ramadan pada umumnya merupakan momentum yang ditunggu-tunggu bagi setiap individu umat Islam. Setiap amal ibadah yang dilakukan oleh setiap individu umat Islam pada bulan Ramadan akan mendapatkan pahala yang berlipat. Maka biasanya, umat Islam pada bulan Ramadhan akan lebih giat beribadah dari bulan-bulan sebelumnya. Mulai dari memperbanyak bacaan al-Qur’an, melaksanakan salat berjamaah setiap waktu di masjid, melaksanakan salat tarawih dan lain sebagainya.

Ibadah yang khusus dari bulan Ramadan adalah puasa. Ibadah puasa merupakan ibadah menahan diri untuk tidak makan, minum, serta segala hal yang membatalkannya, mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan puasa sebulan penuh selama bulan Ramadan, terkecuali beberapa orang yang dikecualikan, seperti; orang yang sakit, orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang sedang hamil, orang yang sudah tua renta dan lain sebagainya.

Dalam realita kehidupan, tidak sedikit orang yang kuat untuk menahan rasa lapar dan haus. Maka biasanya, untuk dapat menahan rasa lapar dan haus sampai dengan waktu buka tiba, orang-orang tersebut memilih untuk tidur. Dengan tidur, rasa lapar dan haus hilang, karena hilangnya kesadaran. Di samping untuk menahan lapar, sebagian orang, melegitimasi tidur sebagai ibadah dengan berdasar pada hadis. Maka kemudian gejala tersebut meluas dan menjadikan sebagian orang malas untuk beraktifitas di siang hari.

Memang hadis tersebut sangat masyur di kalangan masyarakat, dan juga di kalangan para mubaligh-mubaligh, namun apakah benar hanya dengan tidur menjadi ibadah?. Salah satu tokoh Islam Indonesia, Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A meneliti  hadis tersebut dan lantas menghasilkan kesimpulan bahwa hadist tersebut bermasalah.

Dalam bukunya yang berjudul “Hadis-Hadis Bermasalah” dikatakan bahwa hadis tersebut tidak tercantum di kitab-kitab hadis populer. Ia mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman, kemudian dinukil oleh Imam as-Suyuti dalam kitabnya al-Jami al-Shagir dengan redaksi sebagai berikut:

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.”

Lanjutnya, ia menukil pendapat Imam as-Suyuti yang menyebutkan bahwa kualitas hadis tersebut adalah dha’if (lemah). Lantas ia mengomentari bahwa pernyataan tersebut dapat menimbulkan masalah bagi orang yang tidak mengetahui ilmu hadis, sebab hadis dha’if itu secara umum masih bisa dipertimbangkan untuk diamalkan.

 Lantas kemudian, ia memaparkan salah satu pendapat ulama yang mengkritik Imam as-Suyuti, yaitu al-Minawi. Al-minawi menyatakan bahwa Imam as-Suyuti itu memberikan kesan seolah  Imam ai-Baihaqi menilai Hadis tersebut dha’if, namun sebenarnya Imam Baihaqi telah menjelaskan terdapat beberapa rawi yang ia komentari, hanya saja tidak dinukil oleh Imam as-Suyuti.

Menurut Imam ai-Baihaqi,  dalam sanad Hadis tersebut terdapat nama-nama seperti Ma’ruf bin Hisan, seorang rawi yang dha’if, dan Sulaiman bin Amr ai-Nakha’i, seorang rawi yang lebih dha’if daripada Ma’ruf. Bahkan menurut Kritikus Hadis al-Iraqi, Sulaiman adalah seorang pendusta. Tidak hanya sampai di situ, ulama lain seperti  Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ai-Nakha’i adalah pemalsu hadist, kemudian Imam Bukhari menyatakan bahwa ia matruk (semi palsu hadisnya).

 Imam lbnu Adiy menuturkan, “Para ulama sepakat bahwa Sulaiman bin Amr adalah seorang pemalsu Hadis.” Serta masih banyak ulama lain yang dipaparkan yang mengkritik Sulaiman bin Amr ai-Nakha’i dalam bukunya.  Maka dari berbagai ulama yang berpendapat tentang adanya salah satu rawi yang suka memalsukan hadis, Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A mengambil kesimpulan bahwa hadist itu maudhu (palsu).[1]

Maka, hadis tersebut tidak dapat dijadikan legitimasi lagi untuk dalih ibadah tidur ketika puasa, umumnya pada bulan Ramadhan yang menjadikan sebagian orang malas beraktifitas pada siang hari. Memang benar orang yang berpuasa meskipun tidur mendapatkan pahala, tetapi pahala itu dari puasanya bukan dari tidurnya.

Terlepas dari itu semua, ketika memang tidur itu kemudian ditujukan untuk mengistirahatkan saja, yang lantas diniatkan agar ibadah pada malam hari lebih intensif, bukan untuk bermalas-malasan sampai tidur sepanjang hari, maka akan menjadi tidur yang positif. Setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah maudhu (palsu), maka dalam menjalankan aktiftas khususnya yang bermanfaat di siang hari pada bulan Ramadhan harus lebih bersemangat lagi dan tidak tertarik oleh hawa untuk tidur yang bermalas-malasan.

[1] Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 162-164


Like it? Share with your friends!

6
5 shares, 6 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
3
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
9
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
7
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Haikal Fadhil Anam
Penulis merupakan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals