Studi tentang Al-Qur’an belakangan ini mengalami berbagai dinamika dan pertumbuhan yang cukup signifikan. Usaha untuk terus menggali makna-makna yang termuat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, secara terus menerus menghadapi berbagai dinamika dan perbicangan yang tidak ada habisnya.
Salah satu hal yang menarik dari studi Al-Qur’an untuk dibicarakan hari ini adalah merebaknya kelompok kontekstualis di abad modern dewasa ini. Sebuah kelompok yang memiliki penekanan yang tinggi akan pemahaman ayat dengan mempertimbangkan konteks saat ayat pertama kali diturunkan.
Penting untuk diketahui bahwa: pada dasarnya upaya kontekstualisasi Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah umat Islam. Pada masa-masa awal kerasulan, para sahabat nabi pun, sesungguhnya juga banyak melakukan hal tersebut sebagaimana diceritakan di berbagai riwayat.
Salah satunya dapat dijumpai pada shahih bukhari misalnya, dikisahkan dalam sebuah riwayat hadis yang cukup populer, suatu ketika Rasulullah mengirim para sahabatnya untuk pergi menuju bani Quraidzah dan memerintahkan untuk mendirikan salat ashar di sana.
Kemudian singkat cerita, mereka belum sampai di dareah bani Quraidzah, tetapi waktu ashar akan segera selesai. Dengan keadaan seperti ini, para sahabat pun terpecah menjadi dua barisan, barisan yang pertama, yakni mereka yang kekeuh mematuhi akan perintah Rasul dengan meneruskan perjalan agar nantinya mereka salat ashar di bani Quraidzah (sekalipun waktu sudah menunjukan waktu maghrib), dan barisan yang kedua, yakni mereka yang berhenti di perjalanan dan menyegerakan salat ashar di sana, sekalipun belum sampai di daerah bani Quraidzah.
Riwayat di atas mendapat pemaparan dari sarjana Islam terkemuka Jasser Auda yang melihat adanya alasan dari masing-masing setiap pihak. Bagi para sahabat yang berada di barisan pertama, mereka meneruskan perjalanan karena memahami bahwa perintah nabi untuk melaksanakan salat di bani Quraidzah adalah mutlak adanya, salat ashar tetap di Bani Quraidzah, sekalipun waktu sudah maghrib kita baru sampai di sana.
Berbeda dengan para sahabat yang pertama, sahabat di barisan kedua, mereka menghentikan perjalanan karena memahami maksud nabi makna tersirat perintah salat di bani quraidzah adalah ‘segera bergegas untuk berangkat kesana’ dan bukan menunda waktu salat ashar. Ilustrasi di atas dalam bahasa lain yang cukup sederhana, para sahabat barisan kedua ini memperhatikan secara rinci konteks kalimat (shiyaqul kalam) atau dalam bahasa Jasser Auda di sebut maqsid yang melingkupi perintah nabi tersebut.
Baca Juga: Penafsiran Al-Qur’an Setelah Rasulullah Wafat |
Upaya kontekstualisasi lain yang dilakukan sahabat dapat dijumpai pada kebijakan Umar di masa pemerintahannya. Banyak contoh mengenai ini, ada sekian riwayat mengatakan bahwa–dalam beberapa kasus–Umar terkadang memiliki interpretasi yang berbeda dengan para sahabat lain dalam memahami nash-nash Al-Qur’an ataupun sunnah Nabi.
Kasus yang cukup populer ialah apa yang dilakukan Umar terkait pembagian harta rampasan perang (ghanimah) bagi kaum muslimin. Tatkala para sahabat meminta Umar untuk mendistribusikan tanah yang sudah ditaklukan di Mesir dan Irak sebagai bagian dari jatah ghanimah yang berhak mereka ambil, justru Umar menolak untuk membagikan ghanimah tersebut ke seluruh daerah dan kota.
Argumen Umar dalam membantah mereka ini berdasarkan QS al-Hasyr ayat 7, yang mana dalam hal ini, ayat ini memiliki nilai utama mengisahkan agar tidak menjadikan orang kaya mendominasi harta kekayaan.
“….supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS al-Hasyr:7)
Terkait apakah penolakan ghanimah Umar tersebut bisa kita jadikan signifikansi telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Ada sebagian diantara para fuqaha pro kontra mengenai hal ini, terutama mengingat Umar merupakan sahabat nabi, dan otoritas pendapat sahabat nabi memiliki posisi tersendiri dalam penentuan hukum Islam.
Contoh lain daripada upaya kontekstualisasi Umar adalah kebijakan beliau terkait zakat kuda. Di masa pemerintahannya, Umar memutuskan untuk memasukan hewan kuda dalam kategori kekayaan yang wajib di zakati. Padahal dalam hal ini, secara umum kita tahu bahwa hewan-hewan yang disebut oleh nabi untuk wajib dizakati hanyalah unta, sapi, domba dan kambing dan tidak dengan kuda.
Rasionalisasi Umar dalam hal ini adalah bahwa di masa kekhalifahannya, kuda secara signifikan sudah melebihi nilai unta pada zamannya. Dengan kata lain, Umar memahami bahwa tujuan atau maksud utama perintah zakat dalam Al-Qur’an adalah bantuan sosial yang harus dibayar dari orang yang memiliki kekayaan lebih kepada orang-orang miskin, terutama kebutuhan-kebutuhan yang hendak diinginkan oleh mereka; dengan mengesampingkan tipe tipe kekayaan baku yang disebutkan di dalam sunnah.
Terkait akan hal ini, memang diskusi mengenai perkembangan bentuk-bentuk baku barang zakat dalam fiqh tradisional sedang hangat-hangatnya untuk dibicarakan. Sarjana muslim kontemporer Yusuf Qardhawi merupakan sosok yang cukup masyhur dalam hal kaitannya studi zakat seperti ini. Menurut pemaparan beliau, pada dasarnya zakat bisa ditujukan kepada setiap harta manapun yang berkembang.
“Zakat ditunjukan kepada setiap harta yang berkembang … tujuan zakat adalah membantu orang miskin dan melayani kemaslahatan publik, akan sedikit kemungkinannya bahwa sang pembuat syariat (al-syari’) bertujuan mewajibkan zakat kepada peternak yang memiliki lima unta tetapi membebaskan pembisnis yang mendapat penghasilan sehari setara dengan hasil peternak itu selama bertahun-tahun”.
Akhirul kalam, pada dasarnya upaya kontekstualisasi selalu di mulai dari pemahaman secara menyeluruh terhadap nilai-nilai utama yang terdapat didalam nash, baik itu Al-Qur’an maupun hadis, begitupun yang dilakukan Umar dalam hal ini. Namun juga penting untuk dicatat bahwa Umar tidak juga melakukan pendekatan kontekstualisasi berbasis nilai atau maqashid dalam segala ayat maupun hadis. Adakalanya beliaupun melaksanakan segala perintah-perintah agama dengan sepenuhnya patuh pada apa yang tertulis secara dzahir didalam ayat-ayat ataupun hadis.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Umar ditanya “Mengapa kita masih tawaf mengelilingi ka’bah dengan bahu terbuka, padahal islam sudah menang di Mekkah?”. Cerita dibalik pertanyaan ini adalah sebagai berikut. Setelah ‘penaklukan kota Mekkah’, penduduk Mekkah mengklaim bahwa kesehatan Nabi Saw dan para sahabatnya menurun setelah lama tinggal di Madinah.
Maka nabi memerintahkan para sahabat bertawaf di Ka’bah untuk menunjukan kekuatan; Tatkala Umar menerima pertanyaan seperti itu, beliau justru tidak melakukan pendekatan berbasis maqashid pada perintah nabi ini, Umar dengan tegas justru menjawab “kita tidak akan berhenti melakukan apa pun yang sudah pernah kita lakukan pada masa nabi”.
Apa yang bisa kita pahami dari sikap Umar ini dalam pemaparan sarjana kontemporer Jasser Auda, ini menandakan bahwa Umar tahu secara betul dan dapat membedakan mana bagian dari agama yang termasuk perkara ibadah dan mana yang masuk perkara muamalah (sosial kemasyarakatan). Sebuah pembedaan yang penting sekali dibicarakan dalam kaitannya menangkap pemahaman terhadap maqashid atau maksud utama ayat-ayat Al-Qur’an.
Baca Juga: Al-Qur’an dalam Dua Dimensi |
Hal ini, menjadi relevan apa yang diungkapkan Imam as-Syartibi (790 H/1388 M) dalam ungkapannya yang populer di penggalan kitabnya al muwafaqat. “Pengamalan literal adalah metodologi baku pada urusan ibadah, sedangkan pertimbangan maqashid adalah metodologi baku pada urusan muamalah”.
Wallahualam bisawab
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment