Sejak kasus pertama positif covid-19 di Indonesia diumumkan secara resmi oleh Presiden Jokowi pada Senin 2 Maret 2020 lalu, masyarakat Indonesia akhirnya mulai “panik” setelah sebelumnya sesumbar dengan mengatakan “corona takut masuk Indonesia”, “orang Indonesia kebal”, “corona minder dengan beragam penyakit (aneh) yang sejak lama sudah ada di Indonesia”, dan narasi-narasi serupa dengan beragam Ekspresi.
Belum genap sebulan, kasus positif covid-19 di Indonesia melonjak signifikan. Narasi yang semula bernada “menantang” kini justru menjadi seolah boomerang. Berdasarkan data terbaru yang disiarkan oleh TVRI pada Senin 30 Maret 2020, jumlah orang yang terkonfirmasi positif terjangkit virus corona sudah mencapai angka 1.414 , 75 dinyatakan sembuh, dan 122 meninggal dunia.
Baca juga: Covid-19, Prof. Iwan, dan Para Ulama Korban Wabah Penyakit
Namun, di tengah-tengah kondisi darurat ini masih ada saja sementara orang yang sempat-sempatnya saling menyalahkan, saling mengutuk, mementingkan diri sendiri, memborong masker dan hand sanitizer, meraup keuntungan besar, berteori konspirasi sampai cocoklogi, bahkan narasi “rezim ini zalim” pun kembali muncul.
Pihak pemerintah sejak awal sudah melakukan langkah preventif meskipun agak terlambat. Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan membatasi interaksi sosial atau social/physical distancing, yang salah satu poinnya adalah menutup rumah ibadah dan mengimbau masyarakat muslim untuk sementara tidak mengadakan salat jamaah dan salat Jumat di masjid melainkan di rumah saja.
Sejak imbauan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah dan kemudian didukung dengan adanya fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) masyarakat muslim Indonesia terpola menjadi dua kelompok, pro dan kontra.
Baca juga: Ijtihad Kolektif di Akar Rumput yang Mendebarkan
Para cendekia dan tokoh agama Islam menerima positif serta mendukung keberlakuan fatwa tersebut terutama untuk wilayah-wilayah yang sudah berzona merah. Meskipun demikian, tidak sedikit juga umat Islam yang kontra terhadap imbauan dan fatwa tersebut dengan beragam argumentasi yang cenderung simplikatif.
Ironinya, suara-suara kontra tersebut datang dari orang-orang yang tidak otoritatif dalam persoalan agama. Bahkan yang lebih membingungkan lagi, justru tidak sedikit juga orang-orang yang memiliki akses memahami Al-Qur’an, hadis Nabi, sejarah dan kaidah hukum Islam, lebih senang mengikuti pandangan-pandangan simplistis tersebut dibanding membuka kembali kitab-kitab tafsir, hadis, sirah, fiqh, ushul fiqh, dan kitab-kitab kuning lainnya, di mana fatwa di atas bersumber.
Baca juga: Hubungan Sesama Manusia pada masa Wabah Virus Corona dalam Perspektif Hadis
Jika ditilik ke belakang, sejarah wabah tha’un yang pernah terjadi di masa Khalifah ‘Umar bin Khattab juga mempola masyarakat muslim kepada dua kelompok. Kelompok pertama lebih mengedepankan kewaspadaan dan kehati-hatian sehingga mereka membatalkan perjalanan ke desa di mana wabah tha’un sedang merebak. Dengan bijak Umar berkata, “kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain” ketika ditanya Abu Ubaydah bin Jarrah “apakah kamu hendak lari dari takdir Allah?” Mengikuti pendapat Abu Ubaydah yang mengatakan “terkena wabah atau tidak itu sudah ditakdirkan Allah” maka kelompok kedua pun memilih tetap melanjutkan perjalanan ke wilayah yang tersebar wabah tha’un tersebut.
Sejarah di atas menunjukkan bahwa perbedaan pendapat adalah suatu hal yang lumrah dan tentunya setiap pilihan ada konsekuensi dan tanggung jawab masing-masing tanpa harus mencela pendapat yang berbeda. Namun dalam kasus Umar, pendapatnya lebih “menyelamatkan” tapi bukan berarti ia tidak takut kepada Allah, bukan juga tidak tawakkal dan lari dari takdir.
Baca juga: Refleksi Isra Miraj di Tengah Pandemi Covid-19
Kebijaksanaan Umar bin Khattab ini penting untuk disosialisasikan sebagai argumen bahwa kebijakan pemerintah dan fatwa MUI terkait imbauan untuk tidak salat jamaah dan Jum’at di masjid bukanlah sebuah upaya menjauhkan umat Islam dari rumah Allah apalagi meninggalkan syariat Islam sebagaimana tuduhan sekelompok orang.
Upaya menghindari penyebaran virus dengan membatasi aktifitas di luar rumah sebagaimana anjuran Presiden, bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah, bukan berarti takut terhadap virus tersebut sebagaimana anggapan orang-orang yang menolak mematuhi imbauan tersebut.
Tidak sedikit dari mereka berargumen “kami tidak takut corona cuma takut kepada Allah semata”, tetapi di sisi lain mereka mengatakan “kalau kami tidak keluar rumah untuk bekerja lantas bagaimana anak-istri kami bisa makan?” Prinsip keimanan seperti ini cukup membingungkan. Karena kalau begitu, “bukankah Allah telah mentakdirkan rezeki kita masing-masing?” Jadi, “takut Allah apa takut kelaparan?”
Baca juga: Wabah Corona dan Imaji Religiositas yang Timpang
Tentu, ini juga tidak bertendensi membela orang-orang “kaya” yang mematuhi imbauan “di rumah aja” tanpa khawatir pendapatan mereka berkurang. Justru mereka mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk membantu beban orang-orang yang sama sekali tidak bisa bekerja dari rumah karena sangat bergantung pada pendapatan sehari-hari demi nafkah anak dan istri. Sehingga dengan demikian, setidaknya mereka para pekerja harian dapat mengurangi aktifitas di luar rumah dan menerapkan social/physical distancing.
Intinya adalah saat ini bukan lagi waktunya untuk saling menyalahkan dan saling mengadu argumen melainkan saling tolong menolong agar musibah ini cepat berlalu dan kehidupan kembali normal.[]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukai nya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment