Mari buktikan bahwa salib bisa dirasuki jin kafir. Sehingga memperdaya seseorang ketika melihatnya, seperti pertanyaan yang ditujukan ke Ustad Abdul Somad (UAS) dalam video yang viral itu. Baik, sisihkan dulu ucapan UAS.
Di sini saya ingin mengawali dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kontemplatif agar kita melihat kasus pelik ini dengan hati dan pandangan yang agak jembar.
Pertama, jika benar ada jin nonmuslim, apa tujuannya memperdaya manusia lewat salib? Bila dilihat dari sisi iman Kristen, bisakah ‘menggigil hati’ dimaknai sebagai hidayah atau kuasa Yesus? Jika iya, maka jawaban UAS terdengar sangat fatal. Bagaimana tidak, ‘hidayah’ Yesus disangka tipu daya jin kafir. Wajar kalau ada umat Kristiani, bahkan sebagian umat Islam yang naik pitam.
Berikutnya, jika benar jin (atau jin jahat yang biasa disebut setan) menyelundup dalam salib, bagaimana ini dijelaskan? Mampukah jalan rukiah, yang biasa dipakai untuk mengusir jin, membuktikan?
Ataukah melalui eksorsisme, yang dipercaya sebagai trik mengusir jin terlawas? Umat Kristiani biasanya melakukan eksorsisme dengan mendasarkan ‘Kuasa Kristus’.
Atau menguliknya dengan cara yang agak ilmiah, meminjam teori Einstein tentang Hukum Kekalan Energi, seluruh energi di alam semesta statis alias tetap, tidak bisa dilenyapkan maupun dihilangkan. Hatta, energi itu hanya beralih wahana, yang kemudian populer disebut hantu, mambang, dedemit, dan sejenisnya. Jamak diketahui mereka-mereka itu sebagai jin jahat. Barangkali energi tersebut menyatu dalam patung, seperti diungkap UAS. Barangkali lho ya.
Nah, kembali ke topik, bagaimana memastikan keberadaan jin dalam salib? Dan bagaimana mungkin salib yang telah disakralkan umat Kristiani dirasuki jin jahat?
Sulit memang menjelaskan ini, selain menyangkut soal teologis, juga berbalut mistis. Namun yang pasti, jika hujjah sebuah agama dipakai untuk menilai benar salah norma agama tertentu, maka hanya akan menuai polemik. Apalagi disoundingkan di muka umum. Terjadilah seperti sekarang ini, dan mungkin akan melebar kemana-mana.
Namun, setidaknya para pemimpin ormas, pemuka agama, dan lembaga negara mesti cerdas untuk menjernihkan keadaan, berharap potensi pertikaian dapat diredam. Sebab, bagaimanapun pucuk persoalan bermuara dari regulasi hukum yang begitu elastis dan inkonsisten, juga cenderung politis. Siapa pun bisa jadi tumbal (dipidanakan) atas tuduhan penistaan agama dan mudah sekali dijerat UU ITE. Adegan saling lapor pun disuplai sebagai tontonan publik. Betapa cekaknya ‘nilai’ kita.
Kita sama-sama tak ingin tentunya aksi balas lapor melibatkan pemuka agama: pendeta melapor ustad, ustad melapor pendeta, dan seterusnya. Remuk marwah agama. Bukan begitu?
Kita tahu betul, persoalan yang dihadapi negara saat ini merupakan warisan dari kisah masa lalu, yang sampai hari ini terus dipendam. Bahkan tidak terlihat inisiatif dari para elite untuk membentangkan kembali perbincangan terkait relasi agama dan negara secara serius dan mendalam.
Prof. Salim Haji Said di antara tokoh yang getol melontarkan wacana ini di berbagai forum. Baginya, hal ini disebabkan ketidakpahaman elite terhadap sejarah Indonesia. Atau jangan-jangan, baik elite negara atau agama, sengaja tutup mata. Maka, jangan heran pembiaran persoalan tersebut akan menuai gesekan-gesekan antaragama dan golongan.
Sehingga, semangat keindonesiaan kita selalu dikalahkan oleh ego sektoral dan ambisi agama. Jadilah kita bangsa, laiknya eceng gondok (pucuk nampak akar tak jejak).
Waduh, mulai gak jelas omongan gua. Baiklah, back to laptop.
Terhitung dari 16 Agustus, sejak video tersebut diviralkan, yang entah apa motif si penyebar mengungkit video yang tak jelas tanggal dan tempatnya itu, telah bermunculan banyak opini dan komentar. Kebanyakan menyudutkan UAS, hingga berujung pelaporan oleh beberapa pihak.
Saya melihat kasus UAS kali ini semacam dilema yang dialami kebanyakan juru dakwah. Ketika berhadapan dengan jamaah, para dai akan dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang takterduga, yang kadang keluar dari rel keilmuannya. Mujur kalau jawabannya mewakili kearifan, kalau tidak, alih-alih mispersepsi dan kegaduhan yang mengemuka. Ini terjadi pada banyak pemuka agama. Sebenarnya ini berpunca dari persepsi para pengikut atau jamaah yang cenderung memosisikan juru dakwah sebagai jubir Tuhan, yang mengetahui segala hal.
Terkait kasus UAS, apa sebaiknya jawaban atas pertanyaan jamaah tersebut?
Saya tidak ingin menjawab, rasanya UAS lebih mafhum. Namun yang ingin saya katakan, sangat jarang saya melihat juru dakwah yang menjawab ‘tidak tahu’, semua pertanyaan dilibas tanpa jeda. Dan maaf, kadang-kadang didapati jawaban yang keluar konteks dan tidak relevan. Daripada seperti itu lebih baik menjawab ‘tidak tahu’ atau menunda jawaban. Lagian tidak akan menurunkan wibawa, malahan menunjukkan kebijaksanaan si dai.
Apa pun itu, ada satu hal yang membuat saya tertegun lama. Saat membaca komen-komen netijen (Muslim) yang barangkali merasa bersalah benar, sampai mengungkapkan permohonan maaf kepada umat Kristiani atas ucapan UAS. Begitu pula komen dari umat Kristiani yang rata-rata menunjukkan kebijaksanaan dan keluasan. Seketika kecemasan akan perpecahan dan clash antar umat beragama dalam bayangan saya meredup. Takkan mungkin, batin saya, rakyat Indonesia terusik oleh hal remeh-temeh seperti itu. Ada hal yang lebih penting: merawat kebhinnekaan.
0 Comments