Pembusukan peradaban terjadi ketika sebuah peradaban kehilangan titik keseimbangannya. Titik keseimbangan peradaban tersebut berada di tengah, antara dua kutub ektrem: materi-spirit. Karena itu, kedua kutub ekstrem tersebut mencerminkan kodrat manusia: tubuh dan jiwa. Peradaban yang hanya berpihak pada salah satu kutub itu, maka terjadi reduksi terhadap kemanusiaan. Efek lanjutannya, akan lahir praktek-praktek dehumanisasi.
Abad modern yang yang lahir dari rahim budaya Eropa menekankan dimensi lahir, kulit luar manusia. Penekanan tersebut menciptakan eksistensi manusia modern dimana manusia modern mengalami dahaga eksistensi. Kehausan eksistensi tersebut dikarenakan manusia modern kehilangan perspektif tentang dirinya yang utuh, holistik, yang berjiwa sekaligus berjasad. Pemuasan pada satu sisi saja, jasad, mengakibatkan jiwa merana, ringkih, dan sakit.
Manusia modern yang rapuh itu hanya dapat diobati dengan mengembalikan totalitas. Dalam konteks ini, filsafat mengambil peran penting. Filsafat memang tidak menghasilkan roti, tetapi filsafat bekerja masuk, bak siluman, ke ruang paling dalam di sudut-sudut diri manusia; menyuntikkan kesadaran tentang hakekat diri, dari mana berasal dan kemana akan menuju.
Salah satu penyebab umat Islam enggan mendalami filsafat adalah peradaban modern Barat yang mendasarkan diri pada basis filosofis. Akan tetapi faktanya peradaban tersebut membuat manusianya menjadi individualis dan mengabaikan moral. Sehingga tidak berlebihan bila pengembangan budaya Barat merupakan hasil kerja filsafat yang “keliru”.
Untuk menggambarkan bagaimana krisis peradaban Barat modern, Roger Garaudy mengatakan bahwa peradaban Barat mengalami krisis bukan sekadar karena faktor-faktor insidental-temporer, seperti pelanggaran moral, politik dan teknik semata. Lebih dari itu, faktor penyebab krisis itu berhulu pada faktor inti, struktural, pijakan filsafatnya dalam memandang eksistensi (wujud) dan manusia.
Kembali menurut Garaudy, sejak kebangkitan Eropa, Barat Modern dikuasai filsafat atau ideologi yang membatasi pandangannya terhadap Tuhan, manusia dan alam.
Ada tiga hal mendasar yang dapat disoroti dalam fenomena tersebut; Pertama, filsafat yang mengingkari transendensi Tuhan dan nilai-nilai absolut. Artinya keimanan kepada Yang Transenden dan pijakan nilai mutlak disingkirkan dari pola peradaban Barat kontemporer. Peradaban ini melihat manusia adalah ukuran segala sesuatu.
Dengan demikian konsep tersebut mengajak manusia jauh dari Tuhan dan nilai absolut seraya menuhankan manusia sebagai penguasa alam. Kedaulatan dan kekuasaan yang minus Tuhan itulah yang menjelma menjadi kekerasan, perang antar kelompok, dan munculnya paganisme baru.
Kedua, filsafat yag menekankan individualisme dalam relasi antar manusia (sosial). Individu diyakini cukup dengan dirinya sendiri dan orang lain dipandang sebagai ancaman bagi kebebasan eksistensinya. Indivudualisme mengubah dunia menjadi hutan belantara dimana kepentingan saling bertentangan, membawa pertarungan mematikan antar individu, demi kepentingan individual atau nasional seraya menutup mata dari yang lain yang dipandang sebagai pembatas, penolak lawan atau musuh.
Ketiga, filsafat yang memandang alam sebagai hak milik khusus dan mutlak manusia untuk menggunakannya, bahkan menyalahgunakannya. Di saat yang sama individu kehilangan solidaritas dan tanggung jawab. Manusia terkotak-kotak dalam lembaga-lembaga dan kelompok tertentu.
Hikmah dan Filsafat Islam
Menengok fenomena krisis peradaban dari Barat tersebut, perlu mencari gugus pemikiran filsafat yang mampu menjadi pilar pembangunan budaya yang lebih humanis. Salah satu tawaran yang sangat mungkin adalah menengok kembali khazanah filsafat yang dikembangkan di dunia Islam.
Dalam tradisi intelektual Islam, filsafat dihubungkan dengan hikmah ilahiyah. Namun seringkali studi filsafat diabaikan dalam konstelasi studi ilmu-ilmu keislaman. Sebab banyak umat Islam yang masih menganggap filsafat bertentangan dengan agama. Padahal harmoni antara keduanya menunjukkan kebenaran tunggal yang dibawa oleh para nabi.
Istilah falsafah atau filsafat masuk ke dalam bahasa Arab melalui penerjemahan teks Yunani pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M. Lalu, bagaimana filsafat dimaknai oleh para filosof Muslim?
Kita mulai dari Al-Kindi yang berpendapat bahwa, “Filsafat adalah tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak filosof dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran.” Sedangkan al-Farabi melihat bahwa, filsafat adalah induk semua ilmu, yang mengkaji segala yang ada.
Ibn Sina agak berbeda. Menurutnya, “Al-hikmah (yang dipahaminya sama dengan filsafat) adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwar) atas segala hal dan pembenaran (tashdiq) realitas-realitas teoritis, dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia.”
Bagi Suhrawardi dan filosof muslim sesudahnya, hikmah dipandang bersifat ilahiyah yang harus direalisasikan secara utuh, bukan hanya secara mental. Sebelum muncul Aristotelianisme, filsafat bermakna hikmah, yang mencakup pelepasan diri dari tubuh dan pendakian ke dunia cahaya, seperti tampak dalam pemikiran Plato. Jadi, tradisi hikmah menggabungkan dan mensyaratkan kesempurnaan daya rasional dengan kesucian jiwa.
Jadi, dalam tradisi Islam, filsafat berhubungan dengan dua hal. Pertama upaya menemukan kebenaran tentang hakikat segala sesuatu. Kedua, usaha menggabungkan pengetahuan mental dengan kesucian dan kesempurnaan wujud. Dua hal inilah yang mampu menyeimbangkan kebutuhan manusia. Materi dan spiritual. Tanpa adanya dua hal tersebut, keseimbangan manusia tidak dapat terwujud. Sehingga yang ada adalah manusia yang sangat mementingkan hal duniawi. Atau sebaliknya, hanya memikirkan hal-hal yang bersifat ukhrawi.
Baca tulisan-tulisan Rizal Mubit lainnya: Kumpulan tulisan Rizal Mubit, S.HI., M.Ag.
Mantap sekali tulisannya. Saya gak nyangka ternyata Mas Mubit juga nulis di artikula. Ma’afkan saya yang baru terlambat untuk tahu. 🙏